film The Babadook (dok. Causeway Films/The Babadook)
Masih merujuk Millar & Lee, film horor dengan trope duka cita ternyata punya efek yang gak main-main buat pihak yang sedang berduka. Mengingat duka cita adalah pengalaman yang spesifik alias amat personal, film bisa membuat penyintasnya merasa tak sendiri. Ini juga diamini Alexandra Dos Santos, kolumnis Literary Hub yang merasa kalau novel horor The Haunting of Hill House karya Shirley Jackson membantunya memproses kematian ibunya. Ini karena ia merasa banyak kesamaan antara dirinya dengan si lakon di novel itu, Eleanor yang juga berduka atas kematian sang ibu.
Lebih jauh, riset Millar & Lee juga menemukan kalau film bisa membantu penontonnya melakukan konfrontasi terhadap perasaan-perasaan negatif. Film menawarkan struktur dan kohesi dalam bentuk cerita/narasi yang bisa membantu seseorang meregulasi emosinya. Memang gak semua film menawarkan akhir yang melegakan, tetapi lewat cerita yang tertata itu kita ikut merasakan emosi si protagonis. Pihak berduka biasanya kesulitan mendapatkan kata atau gambaran dari apa yang mereka rasakan, bahkan gak sedikit yang sampai mati rasa. Di sinilah film horor duka cita menawarkan gambaran konkret yang dimaksud.
Monster di film The Babadook (2014) misalnya sering disebut sebagai metafora dari duka cita yang menghantui ibu dan anak selama beberapa waktu. Sampai pada akhirnya mereka bisa berdamai dengan “monster” itu. Sementara, Antichrist (2009), Talk To Me (2023) dan Bring Her Back (2025) menggambarkan dampak fatal dari perasaan duka cita yang mengalahkan akal sehat. Sementara, Nope (2022) dan The Haunting of Bly Manor (2020) memperlihatkan proses seseorang melanjutkan hidup setelah kematian orang yang paling mereka cintai.
Menarik juga melihat tren yang berkembang dalam produksi film horor modern. Ketika hantu menyeramkan bukan lagi momok buat manusia masa kini, ketakutan dan ketidaknyamanan bisa diciptakan dari hal lain yang lebih relevan dengan kenyataan.