Tokoh laki-laki dalam film identik dengan nilai-nilai maskulinitas, seperti kuat, pemberani, serba bisa, pengambil keputusan yang andal, punya jiwa kepemimpinan, dan lain sebagainya. Nilai-nilai maskulin seperti itu yang akhirnya menciptakan kesan bahwa mereka tidak memiliki sisi rentan atau setidaknya tidak boleh menampakkannya di depan publik.
Hal ini yang kemudian membuat kita memandang laki-laki yang berempati dan menunjukkan afeksi sebagai sesuatu yang aneh atau ganjil. Ini tentu berbahaya dan bisa jadi racun dalam masyarakat. Muncullah istilah-istilah baru seperti maskulinitas beracun (toxic masculinity) hingga kerentanan maskulinitas (fragile masculinity). Keduanya akan menciptakan ideologi dan keyakinan yang merugikan laki-laki dan perempuan sekaligus.
Para pakar kemudian menciptakan lawan dari dua istilah tadi, yakni maskulinitas positif atau maskulinitas yang sehat. Wilson, dkk dalam jurnal berjudul Operationalizing Positive Masculinity: A Theoretical Synthesis and School-Based Framework to Engage Boys and Young Men, maskulinitas positif terwujud apabila laki-laki didorong untuk bisa terkoneksi dengan orang lain, termotivasi untuk berkontribusi positif di masyarakat, dan tetap mempertahankan keautentikannya.
Artinya, laki-laki bisa memanfaatkan kualitas maskulin (kuat, berjiwa pemimpin, dan berani, tanpa melupakan kualitas yang lebih sering melekat pada perempuan (feminin), yaitu berempati, peduli, dan penuh kasih. Laki-laki juga didorong untuk jadi dirinya sendiri tanpa harus mengubah dirinya agar bisa masuk ke kotak kategori maskulin.
Maskulinitas positif bukan hal yang lumrah pada masa lalu. Namun, seiring berjalannya waktu dan meningkatnya kesadaran orang akan kontribusi baiknya di masyarakat, maskulinitas positif pun mulai dipromosikan. Termasuk dalam produk-produk budaya pop dengan audiens luas seperti sejumlah film dan serial berikut.