Konflik di Palestina-Israel kembali memanas Oktober 2023 ini setelah Hamas melakukan Operasi Badai Al Aqsa. Melansir Al Jazeera ini dilakukan sebagai bentuk protes atas perlakuan tak adil dan intimidasi yang dilakukan otoritas Israel terhadap etnik Arab Palestina selama bertahun-tahun di Gaza dan semua wilayah yang sudah dikuasai Israel secara umum.
Amnesty International dan Human Rights Watch menggunakan istilah apartheid untuk menamai kebijakan diskriminatif tersebut. Sama dengan yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan Namibia pada 1940--1990-an. Meski catatan kasusnya sudah dirangkum oleh banyak organisasi HAM, tak banyak yang mengangkat masalah ini dalam karya fiksi. Padahal, karya sastra atau fiksi juga punya perannya sendiri dalam mengangkat diskursus soal isu tertentu.
Menurut beberapa riset yang dibahas Christine Seifert dalam tulisannya di Harvard Business Review berjudul "The Case for Reading Fiction", membaca fiksi bisa meningkatkan empati, memahami orang lain, dan mendorong berpikir kritis. Lebih spesifik yang membaca fiksi cenderung tidak mengutamakan cognitive closure (kebutuhan untuk mendapatkan simpulan definitif). Hal yang secara tidak langsung mendorong orang untuk lebih kreatif, berpikir dengan kepala dingin, dan bijak. Kualitas-kualitas yang berkaitan erat dengan kepemilikan intelegensi emosional (EQ) tinggi.
Bila membaca berita soal konflik politik apartheid Israel-Palestina justru membuatmu skeptis dengan netralitas media, coba temukan perspektif baru dari novel berjudul Minor Detail karya Adania Shibli. Apa saja yang dibahas di dalamnya? Seberapa perlu kamu membacanya. Ini beberapa cuplikan ulasannya.