Taxi Driver (dok. Columbia Pictures/Taxi Driver)
Lahir pada tahun 1940-an, tidak berlebihan rasanya jika menyebut film noir sebagai refleksi dari masa kelam yang menggelayuti dunia pasca Perang Dunia II berakhir. Ketidakpastian dan depresi yang melanda kala itu menjadi inspirasi bagi para pegiat seni termasuk penulis dan pembuat film.
Keterbatasan biaya akibat krisis ekonomi bukan menjadi penghalang bagi para sineas untuk mengadaptasi karya fiksi kriminal realistis dan sarat akan sinisme. Dengan sentuhan German Expressionism–gerakan seni yang menonjolkan pergolakan batin dan ketakutan melalui visualisasi ekspresif dan menyimpang dari pakem pembuatan film yang ada–yang dibawa oleh imigran Eropa, film noir menjelma sebagai hiburan yang menarik.
Pada akhir tahun 1950-an, ketika warna merambah masuk dalam industri film, pegiat film noir mulai bereksperimen dengan palet warna. Penggunaan chiaroscuro lighting atau teknik pencahayaan berkontras tinggi untuk menciptakan ilusi subjek terlihat lebih terang dari latarnya pun mulai ditinggalkan. Fokusnya pun ikut berkembang dan mulai menyoroti hal lain seperti balas dendam, paranoia, dan isu lainnya.
Dibumbui dengan aksi kekerasan dan adegan intim eksplisit yang sebelumnya dilarang karena ketatnya aturan dari lembaga sensor pada tahun 1940-an, terlahirlah genre neo-noir dan menemukan popularitasnya pada tahun 1970-an.
Lalu pada akhir tahun 1970-an, sutradara Martin Scorsese dan Michael Mann melalui film Taxi Driver (1976) dan Thief (1981) mempopulerkan neon noir. Hampir serupa dengan saudaranya, neon noir tetap menyuguhkan aksi kriminal brutal dan karakter ambigu sebagai hidangan utamanya. Yang membuatnya berbeda adalah penggunaan warna neon yang mendominasi set serta score musik elektronik yang menggelegar.