Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
novel White Nights versi Penguin Little Black Classics. (penguinrandomhouse.ca)

Pada pertengahan 2024, penerbit Penguin merilis kembali novel-novel klasik terbaik dunia dalam edisi khusus bertajuk Penguin Little Black Classics. Dengan sampul hitam sederhananya, novel-novel klasik pendek itu berhasil mencuri perhatian. Terutama satu buku dari penulis Rusia Fyodor Dostoyevsky yang berjudul White Nights. 

Berjumlah kurang dari 100 halaman, novela ini menjelma jadi sensasi di media sosial. Tepatnya, setelah beberapa influencer buku merekomendasikannya pada komunitas mereka. Padahal novel itu terbit pada 1848 alias lebih dari 150 tahun yang lalu. Apa yang bikin isinya masih terasa relevan sampai sekarang?

1. Bahas arti cinta dan kesepian sekaligus

novel White Nights (penguinrandomhouse.ca)

White Nights pada dasarnya adalah sebuah fenomena alam yang jadi ciri khas kota St. Petersburg. Pada bulan Mei–Juni tiap tahunnya, matahari tidak pernah benar-benar tenggelam sempurna di kota itu, menciptakan malam yang terang. Sesuai judulnya, novel ini berlatarkan St. Petersburg dan dinarasikan seorang pemuda tanpa nama dengan kata ganti orang pertama.

Kesepian adalah perasaan pertama yang muncul sejak awal cerita. Hingga satu hari ia bertemu dengan perempuan bernama Nastenka yang memahami dan mengalami sendiri apa yang ia rasakan. Bedanya, mereka punya alasan dan backstory yang berbeda hingga mengalami kesepian dan kesedihan tersebut. Kalau si narator memang tak punya banyak koneksi sosial dan terisolasi oleh rutinitasnya, Nastenka kesepian karena tak kunjung dapat kabar dari tunangannya yang pergi ke Moskow untuk menyelesaikan satu urusan. Masalahnya, si narator jatuh cinta pada Nastenka, meski si pujaan hatinya itu sudah mewanti-wanti bahwa ia tidak sedang melajang. 

Secara umum, novel ini adalah deskripsi estetik friendzone dan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Namun, novel ini juga bisa diartikan sebagai eksplorasi rasa kesepian dan rindu. Di sisi lain, Dostoyevsky menyajikan pula ikatan berharga yang terbentuk antara si narator dan Nastenka. Cara mereka memperlakukan satu sama lain dengan penuh hormat dan afeksi sebagai teman, bisa dibilang sesuatu yang unik dan berkesan. 

2. Polanya mirip dengan viralnya A Little Life beberapa tahun lalu

novel A Little Life (penguinrandomhouse.com)

Viralnya White Nights mengingatkan kita pada fenomena yang pernah terjadi pada novel A Little Life karya Hanya Yanagihara. Sama-sama menyiksa pembaca dengan nasib malang para karakternya, tetapi di satu sisi memanjakan pembaca dengan koneksi empat sahabat yang tak terpatahkan. Dari dua kasus novel viral ini, sepertinya sebagian besar pembaca buku memang terpikat pada bacaan yang mampu membuat mereka merasakan berbagai hal sekaligus.

Bedanya, White Nights adalah novel pendek yang bahkan bisa diselesaikan sebagian orang dalam satu kali duduk. Bandingannya A Little Life yang mencapai 800 halaman. Itu jelas bikin White Nights lebih menarik untuk pemula. Apalagi ia bisa dipakai pula sebagai media berkenalan dengan sastra klasik Rusia yang terkenal superior dari segi plot, makna tersirat, pengembangan karakter, dan kerumitan bahasanya. 

3. Elemen main character syndrome ikut jadi daya tarik

ilustrasi seseorang membaca novel (Pexels/Beyzanur K.)

Satu alasan menarik lain yang disebut influencer buku Mausami Avira seperti dikutip The Guardian adalah keberadaan main character syndrome yang beresonansi dengan banyak orang. Ini memang terlihat jelas pada halaman-halaman awal sebelum si narator bertemu Nastenka. Saat kita mengikuti pergumulan batinnya, ia memang punya kecenderungan merasa dirinya lebih baik dari kebanyakan orang. Padahal, tentu itu hanya ilusi belaka yang akhirnya membuatnya merasa kesepian. 

Main character syndrome ini belakangan marak terjadi, terutama sejak disrupsi media sosial. Sejak media sosial jadi bagian integral dalam hidup kita, manusia jadi lebih mudah meromantisasi masalah hidup, mencari pembenaran atas keputusan, serta mengalienasi diri dari kemalangan yang terjadi pada mereka. Itu sama persis dengan yang dilakukan narator White Nights, sekaligus mengonfirmasi mengapa novel ini begitu relevan buat banyak orang. 

Siapa sangka novel klasik yang terbit hampir 2 abad lalu bisa jadi sensasi di internet. Fyodor Dostoyevsky sendiri mungkin tak pernah menyangka tulisannya punya relevansi setajam ini, bahkan melampaui waktu. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team