Film dengan genre fantasi dan laga yang berjudul Maleficent telah menarik perhatian masyarakat. Pasalnya, film yang diadaptasi dari cerita Sleeping Beauty mengangkat sisi lain dari peri jahat yang mengutuk Aurora. Maleficent juga berbeda dari sederetan film yang diproduksi oleh Disney karena film ini memiliki nilai moral yang sangat relevan dalam kehidupan masyarakat.
Jika penonton selalu disuguhkan oleh kisah cinta sejati antara pangeran dan puteri, maka Maleficent mengangkat kasih sayang antara sosok ibu dan anak yang melebihi segalanya. Kesuksesan film Maleficent yang tayang pada tahun 2014 membuat Disney memproduksi serial kelanjutan dari film tersebut, yakni Maleficent: Mistress of Evil. Film ini tayang di Indonesia sejak Rabu (16/10/2019).
Maleficent: Mistress of Evil hadir sebagai film yang tak terduga. Siapa sangka kisah fairytale yang sering dianggap sederhana ternyata dikemas dalam konflik yang luar biasa. Tanpa disadari, film yang disutradarai oleh Joachim Ronning ini merepresentasikan kondisi politik yang sering terjadi pada suatu bangsa.
Artikel ini menguraikan 6 hal dari representasi dunia politik pada film Maleficent: Mistress of Evil. Politik berkaitan erat pada pembentukan kekuasaan di masyarakat, pengambilan keputusan untuk kepentingan umum, dan lain sebagainya. Dalam praktik kesehariannya, politik menciptakan konflik antarmanusia. Begitu juga dengan beberapa konflik politik yang menjadi permasalahan dalam film Maleficent: Mistress of Evil.