Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Cuplikan adegan film Afterburn
Cuplikan adegan film Afterburn (dok. Saban Films/Afterburn)

Intinya sih...

  • Afterburn (2025) menampilkan aksi dengan ledakan besar ala film Michael Bay, dengan Dave Bautista sebagai tokoh utama yang tampil garang.

  • Plot generik dan visual yang kurang memuaskan membuat Afterburn terasa hambar, ditambah lagi dengan penampilan cast berbakat yang tidak optimal.

  • Rekomendasi menonton Afterburn bergantung pada ekspektasi masing-masing penonton, namun film ini gagal menghadirkan world building yang masuk akal dan cerita yang solid.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setelah bermain di In the Lost Land (2025) bersama Milla Jovovich, aktor Dave Bautista kembali hadir lewat film aksi-distopia terbaru berjudul Afterburn (2025). Film garapan sutradara J. J. Perry ini awalnya digadang-gadang jadi salah satu tontonan yang bisa menghibur penggemar film laga.

Lalu, apakah Afterburn berhasil memenuhi ekspektasi penonton yang rindu tontonan aksi menegangkan? Atau, justru jatuh sebagai film generik yang gagal memanfaatkan potensi cast papan atasnya? Berikut ulasan lengkapnya!

1. Sajikan aksi dengan banyak ledakan seperti film Michael Bay

Cuplikan adegan film Afterburn (dok. Saban Films/Afterburn)

Salah satu kekuatan terbesar Afterburn terletak pada adegan aksinya. Sejak awal, film ini sudah dijejali dengan baku tembak, ledakan besar, dan adegan kejar-kejaran yang intens. J. J. Perry, yang sebelumnya menggarap Day Shift (2022), tampak ingin membuktikan bahwa ia mampu menghadirkan tontonan dengan gaya visual yang mengingatkan kita pada film-film Michael Bay.

Dave Bautista tampil cukup garang sebagai tokoh utama di tengah dunia distopia. Dengan tubuh kekarnya, ia berhasil menyalurkan energi maskulin yang membuat penonton tetap menaruh perhatian di layar. Bahkan, ketika cerita mulai terasa datar, momen aksi yang penuh adrenalin sesekali menyelamatkan ritme film. Penambahan musik rock juga membuat beberapa adegan terasa lebih hidup.

Meski begitu, daya tarik tersebut tidak konsisten. Ledakan dan aksi memang banyak. Namun tanpa fondasi cerita yang kuat, semua itu hanya jadi parade visual sesaat. Penonton yang terbiasa menonton film laga kelas atas mungkin akan merasakan bahwa aksi ini sekadar tempelan untuk menutupi kekosongan narasi.

2. Plot generik dan visual yang terlalu "hambar"

Cuplikan adegan film Afterburn (dok. Saban Films/Afterburn)

Sayang, Afterburn menyimpan kelemahan mendasar: cerita yang generik. Narasi film terasa seperti campuran setengah matang antara Mad Max, Death Race, dan film petualangan post-apokaliptik serupa tanpa keunikan yang membedakan. Alih-alih menciptakan dunia distopia yang imersif, film justru dipenuhi eksposisi bertele-tele dan kontinuitas yang berantakan.

Visual film pun tak mampu menopang ceritanya. Dengan bujet hampir 60 juta dolar Amerika, hasil akhirnya justru tampak murahan. Gurun gersang yang harusnya megah terasa seperti dibuat dengan CGI yang buruk. Adegan kota yang seharusnya menghidupkan latar distopia malah terlihat datar dan kurang detail. Bahkan, pencahayaan film yang terlalu kelabu membuatnya monoton.

Hal lain yang lebih disayangkan adalah deretan cast berbakat seperti Samuel L. Jackson dan Daniel Bernhardt yang tidak mendapat porsi optimal. Mereka sekadar numpang lewat tanpa benar-benar menghidupkan cerita. Bukannya menambah kedalaman, kehadiran mereka justru mempertegas kesan bahwa Afterburn adalah proyek ambisius yang gagal mencapai potensinya.

3. Apakah Afterburn (2025) recommended untuk ditonton?

Cuplikan adegan film Afterburn (dok. Saban Films/Afterburn)

Pertanyaan terbesar yang muncul setelah menonton film ini adalah: apakah layak ditonton? Jawabannya bergantung pada ekspektasi masing-masing. Jika kamu hanya ingin melihat Dave Bautista meledakkan banyak hal dan menonton aksi tanpa terlalu peduli plot, film ini mungkin cukup menghibur. Setidaknya, beberapa momen laga bisa jadi guilty pleasure di akhir pekan.

Namun, bagi mereka yang berharap lebih, terutama dunia distopia yang detail atau cerita yang solid, Afterburn jelas akan mengecewakan. Film ini gagal menghadirkan world building yang masuk akal dan tidak pernah benar-benar menggali isu besar yang coba ditawarkan cerita aslinya. Sebagian besar penonton mungkin akan pulang dengan rasa bosan alih-alih puas.

Pada akhirnya, Afterburn adalah film aksi yang terasa setengah hati: seru di permukaan, tapi kosong di dalam. Film ini sudah tayang di bioskop Indonesia mulai 17 September 2025.

Editorial Team