Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Review Film Angkara Murka, Rural Horor Berbalut Kritik Sosial

Angkara Murka (dok. Forka Films/Angkara Murka)
Intinya sih...
  • Film Angkara Murka debut sutradara Eden Junjung, menggabungkan teror mistis dengan kritik sosial tajam.
  • Cerita berpusat pada Ambar yang mencari suaminya di lereng Gunung Merapi, dengan sinematografi menangkap keindahan dan kengerian lanskap rural.
  • Film ini menyoroti isu eksploitasi pekerja tambang, perbudakan modern, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan gender secara subtil melalui konflik antar karakter.

Angkara Murka (2025) menandai debut sutradara Eden Junjung, sekaligus menjadi film horor pertama Forka Films yang sukses dengan Yuni (2021) dan Gadis Kretek (2023). Tayang mulai Rabu, 22 Mei 2025, film ini menggabungkan teror mistis dengan kritik sosial yang tajam.

Sepanjang film, kita akan ikut merasakan suasana horor rural yang membangkitkan perasaan tidak nyaman. Lalu, apa saja kelebihan dan kekurangannya? Mari simak review film ini di bawah!

 

1. Kisahkan karakter perempuan di tengah dunia lelaki

Angkara Murka (dok. Forka Films/Angkara Murka)

Film ini berpusat pada Ambar (Raihaanun), ibu muda yang mencari suaminya, Jarot (Aksara Dena), yang hilang misterius di tambang pasir di lereng Gunung Merapi. Bersama mandornya, Lukman (Simhala Avadana), ia pun berusaha melawan teror tak terlihat di sana.

Sembari mencari suaminya, Ambar harus bertahan hidup di tengah lingkungan tambang yang penuh tekanan. Penampilan Raihaanun menakjubkan, dengan akting minimalis dan nyaris tanpa emosi. Ia berhasil menonjolkan ketangguhan Ambar dalam dunia patriarki yang keras. 

Uniknya, karakter seperti Ambar, Lukman, hingga Raden Broto (Whani Darmawan) juga digambarkan dengan nuansa abu-abu. Hal ini menambah lapisan misterius yang memperkuat ketegangan psikologis, membuat kita terus mempertanyakan motif mereka.

2. Sajikan nuansa rural horror yang mencekam

Angkara Murka (dok. Forka Films/Angkara Murka)

Berlatar di lereng Gunung Merapi, Eden Junjung sukses hadirkan sinematografi yang menangkap keindahan sekaligus kengerian lanskap rural. Lokasi tambang pasir yang sunyi dan kabut pegunungan memperkuat rasa isolasi, membuat setiap adegan terasa penuh ancaman.

Dipadukan dengan scoring mencekam, film ini berhasil membuat kita cemas tanpa jumpscare murahan. Ketegangan dibangun secara perlahan melalui ritme lambat dan detail visual, seperti bayangan samar atau suara-suara aneh yang membuat kita merasa terus diawasi.

3. Angkat isu sosial-lingkungan yang relevan

Angkara Murka (dok. Forka Films/Angkara Murka)

Di balik horor mistisnya, Angkara Murka turut menyoroti isu-isu penting seperti eksploitasi pekerja tambang, perbudakan modern, dan kerusakan lingkungan akibat penambangan. Film ini juga menggali ketimpangan gender, dengan Ambar sebagai representasinya.

Berada di tengah dunia lelaki, Ambar selalu dipandang sebelah mata sehingga harus berjuang melawan stigma dan bahaya sendirian. Kritik sosial ini disampaikan secara subtil melalui konflik antar karakter dan plot yang mencerminkan keserakahan manusia.

Lebih dari sekadar film horor, Angkara Murka adalah cerminan realitas sosial yang masih relevan hingga saat ini. Kesimpulannya, film ini adalah perpaduan teror atmosferik dan kritik sosial yang menggigit. Wajib ditonton bagimu yang menyukai film horor psikologis.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Shandy Pradana
Indra Zakaria
Shandy Pradana
EditorShandy Pradana
Follow Us