Review Film Hanya Namamu dalam Doaku, Bukan Melodrama Lebay

- Film Hanya Namamu dalam Doaku membawa kisah penderita ALS dalam balutan drama keluarga
- Akting memukau dari para cast, menampilkan karakter yang tidak sempurna tapi terasa sangat manusiawi
- Kritik terhadap toxic masculinity, mengingatkan bahwa pria pun berhak rentan dan mencari dukungan emosional tanpa perasaan takut akan dihakimi
Sinemaku Pictures kembali hadir dengan drama keluarga terbaru berjudul Hanya Namamu dalam Doaku. Film garapan Reka Wijaya ini membawa isu yang jarang disentuh di layar lebar Indonesia, yakni ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), sebuah penyakit neurodegeneratif yang perlahan melumpuhkan penderitanya. Alih-alih menjadikannya film medis, Reka memilih jalur yang lebih intim dengan menyoroti dinamika rumah tangga.
Hasilnya adalah tontonan yang sederhana tapi penuh makna, sebuah kisah yang membiarkan kita larut dalam kehangatan keluarga hingga gejolak emosional yang menguras air mata. Apakah film ini layak ditonton? Berikut ulasan lengkapnya!
1. Bawa kisah penderita ALS dalam balutan drama keluarga

Daripada menjadi film yang kaku dan penuh jargon medis, Hanya Namamu dalam Doaku justru lebih menyoroti kehidupan sehari-hari penderitanya. Lewat kisah Arga dan keluarganya, kita dibawa ke dalam sebuah pertanyaan besar, apa yang akan kamu lakukan jika ternyata dokter memvonis ALS? Apakah kamu akan memberi tahu keluargamu?
Naskahnya tidak berusaha menggurui, melainkan menggambarkan detail-detail kecil yang terasa nyata. Mulai dari istri yang bingung dengan perubahan suaminya, hingga retakan dalam rumah tangga yang muncul dari prasangka. Bahkan elemen yang berpotensi klise, seperti isu perselingkuhan yang dijadikan refleksi betapa rapuhnya manusia di tengah kondisi sulit.
Hasilnya, film ini berhasil memadukan kisah sedih, konflik keluarga, hingga cinta yang tulus dalam satu bingkai yang jujur.
2. Akting memukau dari para cast

Tak bisa dipungkiri, akting adalah kekuatan utama film ini. Nirina Zubir dan Vino G. Bastian tampil menawan dengan range emosi yang luar biasa. Mereka sukses membawakan karakter yang tidak sempurna, penuh luka, tapi terasa sangat manusiawi. Naysila Mirdad menambah lapisan emosional dengan performa yang menyentuh hati tanpa jatuh pada melodrama.
Sementara Ge Pamungkas dan Dinda Kanya Dewi sebagai pemeran pendukung memberi warna tersendiri, membuat dunia rumah tangga Arga dan Hanggini terasa hidup dan otentik. Chemistry antar pemain membuat kisah ini bukan hanya soal penyakit ALS, tapi tentang sosok manusia yang berjuang mencari arti cinta dan penerimaan dari orang-orang di sekitarnya.
3. Kritik terhadap toxic masculinity

Hal menarik lainnya adalah bagaimana film ini memperlihatkan betapa sulitnya seorang pria untuk menceritakan masalahnya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh toxic masculinity dan konstruksi sosial yang menuntut pria untuk selalu kuat dan mandiri. Norma ini mendorong laki-laki untuk menekan emosi, menghindari menunjukkan kelemahan, bahkan terkadang menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
Karakter Arga (Vino G. Bastian) adalah representasi dari sisi buruk maskulinitas tersebut. Ia kerap menanggung beban berat sendirian tanpa bisa terbuka kepada orang terdekatnya. Melalui tokoh Arga, Hanya Namamu dalam Doaku mengingatkan bahwa pria pun berhak rentan, berhak menceritakan lukanya, dan berhak mencari dukungan emosional tanpa perasaan takut akan dihakimi.
Film ini secara halus menyindir realitas yang sering kita temui di sekitar, membuka ruang refleksi bahwa kerentanan bukanlah kelemahan, melainkan sisi manusiawi yang layak untuk dipahami.
4. Apakah Hanya Namamu dalam Doaku layak ditonton?

Hanya Namamu dalam Doaku bukanlah film untukmu yang mencari drama dengan konflik eksplosif atau adegan penuh teriakan. Alih-alih, film ini lebih memilih kesunyian yang lirih dan perlahan menusuk hati. Estetika visualnya lembut, dengan pencahayaan hangat dan komposisi intim, yang semakin memperkuat nuansa emosional film. Apakah film ini sempurna? Tentu tidak.
Beberapa penonton mungkin merasa frustrasi dengan pendekatan naskah yang terlalu menahan diri, terutama dalam menggali detail medis tentang penyakit ALS. Namun justru itulah daya tarik film ini: bukan tentang penyakitnya, melainkan tentang manusia di balik penyakit itu. Siapkan tisu, ajak keluarga atau sahabat terdekat, dan biarkan film ini menyentuh sisi paling rapuh dalam dirimu.