Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bawakan folklore yang dibalut dengan sejarah.jpeg
Orang Ikan (dok. Gorylah Pictures/Orang Ikan)

Intinya sih...

  • Orang Ikan menghadirkan aksi kejar-kejaran di tengah lanskap indah dengan ketegangan yang dibangun melalui scoring mencekam karya Akihiko Matsumoto.

  • Film ini memadukan mitologi Melayu dengan latar Perang Dunia II, menampilkan dinamika hubungan antara tentara Jepang dan Inggris yang terdampar di pulau misterius.

  • Orang Ikan direkomendasikan untuk penggemar film monster klasik dan mereka yang menghargai pendekatan praktis tanpa CGI berlebihan, meskipun memiliki kekurangan dalam penyuntingan dan ritme cerita.

Orang Ikan (2025), film horor aksi produksi lintas negara oleh Gorylah Pictures, Zhao Wei Films, dan Infinite Studio, menghadirkan pengalaman sinematik yang menggabungkan mitologi Melayu dengan latar Perang Dunia II. Disutradarai Mike Wiluan, film berdurasi 85 menit ini mengambil inspirasi dari Creature from the Black Lagoon (1954) dan menyuguhkan suasana pulau terpencil di Indonesia.

Meski beranggaran rendah, film ini sukses menawarkan teror mencekam dan dinamika karakter yang memikat, meskipun tidak luput dari beberapa kekurangan. Lalu, apakah film ini layak untuk ditonton? Mari simak ulasan lengkapnya berikut!

1. Sajikan aksi kejar-kejaran di tengah lanskap yang indah

Orang Ikan (dok. Gorylah Pictures/Orang Ikan)

Orang Ikan menghadirkan aksi kejar-kejaran yang menjadi ciri khas film monster seperti Predator (1987), lengkap dengan ketegangan yang dibangun melalui scoring mencekam karya Akihiko Matsumoto. Adegan pengejaran di hutan dan wilayah perairan terasa intens, didukung sinematografi dinamis oleh Asep Kalila yang menangkap keindahan sekaligus kengerian di Curug Sodong, Sukabumi.

Salah satu momen ikonik adalah ketika Orang Ikan berdiri di atas tebing, menegaskan posisinya sebagai penguasa pulau. Pengambilan gambar yang apik ini turut didukung oleh visual effect dari Fajrul Fadillah. Meski minim CGI pada adegan di pulau, kostum buatan Allan B. Holt dan gerakan animatronik Alan Maxson membuat kehadiran makhluk ini terasa alami dan menyeramkan.

2. Bawakan folklore dengan balutan sejarah dan tema kemanusiaan

Orang Ikan (dok. Gorylah Pictures/Orang Ikan)

Film ini mengangkat mitologi Melayu tentang makhluk amfibi yang konon terlihat oleh tentara Jepang pada tahun 40-an, lalu memadukannya dengan latar Perang Dunia II. Cerita berfokus pada tentara Jepang, Saito (Dean Fujioka), dan Bronson (Callum Woodhouse), tawanan perang Inggris, yang terdampar di pulau misterius.

Dinamika hubungan mereka mencerminkan konflik sejarah yang seringkali diawali "prasangka" buruk. Awalnya saling mencoba membunuh sama lain, Saito dan Bronson pun menyadari bahwa satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan bekerja sama. Saat proses bonding, ada adegan lucu yang mengocok perut penonton, yaitu saat Saito memanggil "Blonson." Sampai akhirnya, hubungan mereka berkembang menjadi semacam bromance.

Adegan pertarungan antara Saito dan Bronson, yang kemudian melawan si makhluk, juga terasa brutal. Beberapa adegan yang memperlihatkan kebuasan Orang Ikan mungkin nampak sadis, meski hal itu wajar bagi makhluk yang seperti hewan liar ini. Toh, film ini memang dikhususkan untuk penonton 17 tahun ke atas (D17+). Jadi, perhatikan lagi sebelum kamu menontonnya.

3. Apakah Orang Ikan recommended untuk ditonton?

Orang Ikan (dok. Gorylah Pictures/Orang Ikan)

Orang Ikan akan memuaskan penggemar film monster klasik dan mereka yang menghargai pendekatan praktis tanpa CGI berlebihan. Kelebihannya terletak pada desain kostum makhluk yang mengerikan: tinggi besar, bersisik kasar, dan bergigi tajam. Akting meyakinkan dari Dean Fujioka dan Callum Woodhouse pun sukses menghidupkan ketegangan dan emosi karakter. Sebagai penonton, kita juga ingin segera lolos dari jangkauan Orang Ikan.

Sinematografi yang indah, dengan latar belakang air terjun bertingkat, hutan rimbun, dan sungai yang mengalir deras juga menjadi daya tarik, menonjolkan keindahan pulau sekaligus terornya. Sayang, penyuntingan film ini kurang rapi. Dominasi close-up dan potongan adegan yang terlalu cepat saat konfrontasi, baik dengan Orang Ikan maupun manusia lain, menghalangi kita untuk menikmati adegan aksi sepenuhnya.

Tak hanya itu, ritme cerita yang kadang tersendat dan narasi yang terasa tipis dengan akhir yang emosional membuat film ini kurang memuaskan. Meski tidak sebagus pendahulunya, film ini berhasil menghadirkan mitologi lokal, kisah sejarah, dan elemen sinematik monster di tengah surga yang tersembunyi. Sangat cocok bagi penikmat horor monster dengan nuansa nostalgia dan latar belakang Indonesia.

Editorial Team