Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
The Girl with the Needle (dok. MUBI/The Girl with the Needle)

Sejak dipastikan jadi salah satu nomine Oscar 2025 untuk kategori Film Fitur Internasional Terbaik, popularitas The Girl with the Needle (20240 ikut terdongkrak. Bukan sembarang nomine, Film Denmark garapan Magnus von Horn (The Here After, Sweat) itu berhasil suguhkan kengerian dan kesengsaraan dengan cara yang tak biasa. 

Judul dan trailernya benar-benar menipu. Kamu juga tak akan menemukan banyak adegan kekerasan eksplisit, tetapi kengeriannya tetap bisa menembus layar dan merasuk ke benakmu.

Bagaimana trik von Horn meramu film thriller minim gore yang efektif? Ikuti review film The Girl with the Needle beriku ini.

1. Trope 1: horornya jadi perempuan kelas pekerja di Denmark pasca Perang Dunia I

The Girl with the Needle (dok. MUBI/The Girl with the Needle)

The Girl with the Needle dipasarkan sebagai film yang terinspirasi kasus kriminal nyata yang pernah menggemparkan Denmark pada 1910-an. Namun, bukan si pelaku atau korban yang dipilih Magnus von Horn sebagai lakonnya. Ia memilih perspektif Karoline (Vic Carmen Sonne), perempuan muda yang harus bertahan hidup sendiri setelah suaminya yang dikirim ke Perang Dunia I tak ada kabar. 

Film bahkan dibuka dengan kemalangan bertubi-tubi yang harus dihadapi Karoline. Ia digusur dari apartemennya karena gagal bayar. Terancam jadi gelandangan, Karoline terselamatkan sebuah kos murah dan pekerjaannya di sebuah pabrik tekstil. Namun, gaji sebagai buruh lepas ternyata tak banyak membantu memperbaiki nasibnya.

Ia yang masih kesulitan membayar sewa terpaksa mengajukan tunjangan untuk janda. Sayang, tanpa sertifikat kematian suaminya, opsi ini tak memungkinkan. Pada fase ini, von Horn secara strategis menunjukkan fakta sulit jadi perempuan yang hidup pada awal abad ke-20. Tak heran, bila saat itu menikah dianggap sebagai salah satu cara paling masuk akal untuk bertahan hidup. 

2. Trope 2: bertubi-tubi bertemu dan terperdaya orang yang salah

The Girl with the Needle (dok. MUBI/The Girl with the Needle)

Menariknya, von Horn sempat memberi penonton dan Karoline harapan lewat pertemuannya dengan beberapa "orang baik." Kedua tokoh pendukung ini awalnya memang menaruh simpati pada Karoline, memberinya secercah harapan di tengah ketidakpastian dan kesengsaraan tak berujung. Namun, di sinilah von Horn menempatkan trope kedua yang gak kalah horor. 

Orang-orang yang memberi Karoline sedikit harapan tadi ternyata tak setulus yang kita kira. Antara oportunis dan egois, keduanya menjelma jadi sumber kemalangan berikutnya untuk Karoline. Tak hanya gagal bayar tunggakan sewa, Karoline menemukan dirinya hamil dan kehilangan pekerjaan yang jadi sumber penghidupan tunggalnya. 

Sepertinya, Magnus von Horn meramu film ini dengan pendekatan miserabilism. Hampir tak ada ruang bagi sang lakon untuk bernapas lega dan merasakan kenyamanan. Semua dicerabutnya dengan cukup cepat dan tak bersisa. 

3. Trope 3: jalan pintas atas kemiskinan dan ketidakadilan

potret di balik layar film The Girl with the Needle (dok. MUBI/The Girl with the Needle)

Salah satu orang yang jadi sumber kemalangan Karoline adalah si pembunuh berantai yang terinspirasi dari sosok nyata bernama Dagmar Overbye (Trine Dyrholm). Perempuan paruh baya itu diceritakan memberi Karoline kesempatan untuk menata hidupnya. Ia memberi perempuan muda itu pekerjaan dan rumah untuk tinggal sampai sebuah fakta mencengangkan terbongkar. Overbye seperti kita tahu adalah pembunuh berantai yang membunuh puluhan bayi di Denmark pada rentang tahun 1910—1920.

Hebatnya, ini adalah fase ketika von Horn memperkenalkan trope thriller ketiga, jalan pintas atas kemiskinan dan minimnya akses kesehatan pada masa itu. Overbye dalam pembelaannya berdalih melakukan itu semua untuk menuntaskan masalah orang-orang yang tak menginginkan anak karena alasan finansial.

Film secara tak langsung sedang mendemonstrasikan bagaimana kemiskinan struktural terjadi. Minimnya akses terhadap alat dan metode kontrasepsi misalnya, sampai krisis ekonomi akibat Perang Dunia I pada akhirnya mencekik orang-orang dari kelas terbawah. 

Lewat tiga trope tadi, The Girl with the Needle berhasil menawarkan ketegangan dan ketidaknyamanan tanpa perlu adegan gore berlebih. Meski bergenre thriller, penonton sepakat adegan kekerasan dalam film ini masih di level sedang. Nyatanya, ketidakadilan dan kemunafikan masih jadi momok terburuk dalam hidup manusia. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team