Mengapa Film Horor Slow-Burn Kurang Diminati oleh Penonton?

Minimnya penyelesaian kerap membuat audiens tak puas

Horor slow-burn, dengan pendekatannya yang berbeda dari horor konvensional, telah menciptakan sebuah niche tersendiri dalam industri perfilman. Siksa Kubur (2024) muncul sebagai contoh terkini dari genre tersebut. Film ini menawarkan pengalaman yang tak hanya mengandalkan ketakutan instan, tetapi juga membangun suasana dan karakter lewat kisah seorang wanita yang ingin membuktikan kebenaran tentang ajaran agamanya.

Sayangnya, penerimaan penonton terhadap film karya Joko Anwar tersebut terbagi. Sebagian memuji Siksa Kubur karena pendekatannya yang segar dan berbeda dari film horor lokal pada umumnya. Sementara sebagian lainnya mengkritik pacing film yang lambat dan bertele-tele, merasa bahwa film ini gagal dalam memberikan kepuasan yang biasanya ditawarkan oleh film horor konvensional.

Namun, Siksa Kubur bukanlah satu-satunya kasus di mana film horor slow-burn menghadapi reaksi yang polarisasi. Fenomena ini menandakan adanya perbedaan yang lebih luas dalam preferensi penonton terhadap genre horor.

Apa yang menjadi penyebab ketidak sukaan sebagian penonton terhadap film horor slow-burn? Apakah ini berkaitan dengan ritme cerita yang dianggap lambat, ataukah faktor lain seperti pengembangan karakter dan ketidakpastian dalam resolusi cerita? Artikel ini akan menyelami berbagai aspek tersebut untuk memahami alasan di balik preferensi penonton dan dampaknya terhadap penerimaan film horor slow-burn di industri perfilman.

Baca Juga: 8 Film Horor Thailand Tayang di Netflix, Ada Death Whisperer

1. Karakter kompleks vs. karakter sederhana

Mengapa Film Horor Slow-Burn Kurang Diminati oleh Penonton?adegan dalam film Midsommar (dok. A24/Midsommar)

Dalam film horor slow-burn, karakter-karakter yang dihadirkan sering kali dirancang dengan lapisan kepribadian yang kompleks dan misterius. Berbeda dengan film horor konvensional yang cenderung menampilkan karakter yang langsung terbaca motivasi dan latar belakangnya, karakter dalam film horor slow-burn membutuhkan waktu untuk berkembang dan sering kali meninggalkan penonton dalam ketidakpastian. Hal ini menciptakan rasa ingin tahu yang mendalam dan memaksa penonton untuk lebih terlibat secara emosional dan intelektual dalam mengikuti alur cerita.

Sebagai contoh, karakter Dani dalam Midsommar (2019), yang merupakan salah satu film horor slow-burn terkenal, menampilkan perjalanan emosional seorang wanita yang berduka. Dari awal film, penonton dibawa untuk memahami keadaan psikologis Dani yang rapuh, yang kemudian berkembang menjadi cerita tentang pencarian identitas dan penerimaan diri. Karakter Dani tak hanya berfungsi sebagai pemandu cerita, tetapi juga sebagai simbol transformasi yang dialami oleh setiap individu dalam menghadapi trauma.

Ketika dibandingkan dengan karakter film horor konvensional, karakter dalam film horor slow-burn seperti Dani sering kali kurang "diterima" oleh penonton umum karena memerlukan investasi waktu dan pemikiran yang lebih dalam untuk bisa mengapresiasi kompleksitasnya. Sementara itu, karakter dalam film horor konvensional biasanya lebih langsung dalam menampilkan konflik, membuatnya lebih mudah dicerna oleh penonton yang menginginkan hiburan cepat tanpa perlu terlalu banyak berpikir.

2. Membangun ketegangan secara berlarut-larut, efektifkah?

Mengapa Film Horor Slow-Burn Kurang Diminati oleh Penonton?adegan dalam film The Witch (dok. A24/The Witch)

Film horor slow-burn sering kali mengandalkan pembangunan ketegangan yang berlarut-larut untuk menarik penonton ke dalam cerita. Sebagai contoh, The Witch (2015) mengambil pendekatan yang sangat terukur dalam membangun atmosfer horor. Dari awal, film ini menetapkan nada yang suram dan tak nyaman melalui penggunaan sinematografi yang gelap dan musik yang menyeramkan.

Namun, pendekatan ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, pembangunan ketegangan yang berlarut-larut dapat menciptakan pengalaman yang sangat memuaskan bagi penonton yang sabar dan mencari kedalaman cerita serta karakter. Mereka menikmati proses perlahan dalam mengungkap misteri dan menemukan makna tersembunyi di balik simbolisme yang disajikan.

Di sisi lain, bagi sebagian penonton, pendekatan ini dapat terasa membosankan dan melelahkan. Tanpa adanya momen jump scare, mereka mungkin merasa kurang terlibat atau bahkan kehilangan minat sebelum ketegangan mencapai puncaknya.

Baca Juga: 10 Film Horor Klasik Paling Underrated, Seram meski dengan Efek Minim

3. Andalkan dialog, film horor slow-burn cenderung mengorbankan pacing

Mengapa Film Horor Slow-Burn Kurang Diminati oleh Penonton?adegan dalam film Insidious (dok. Stage 6 Films/Insidious)

Dialog sering kali menjadi elemen kunci dalam membangun cerita dan karakter dalam film horor slow-burn. Namun, penggunaan dialog yang berat dan mendalam bisa mengorbankan pacing dari film tersebut.

Misalnya, film horor slow-burn yang mengedepankan percakapan filosofis atau eksplorasi psikologis karakter cenderung memiliki alur yang lebih lambat. Ini memungkinkan penonton untuk merenungkan makna di balik kata-kata dan interaksi karakter, tetapi juga dapat mengurangi ketegangan yang biasanya diharapkan dalam genre horor. Akibatnya, beberapa penonton mungkin merasa terputus dari ritme cerita yang mereka anggap terlalu bertele-tele.

Sebaliknya, film horor konvensional biasanya memiliki dialog yang lebih sederhana dan langsung, yang mendukung pacing yang cepat dan menjaga atensi penonton. Insidious (2010) merupakan contoh menarik dari bagaimana dialog sederhana dapat digunakan untuk membangun ketegangan yang efektif. Alih-alih menggunakan dialog yang berbelit-belit, Insidious mengandalkan interaksi karakter yang relatif simpel untuk memajukan cerita, sementara ketegangan dibangun melalui elemen visual, musik, dan timing yang tepat.

4. Resolusi cerita yang penuh dengan ketidakpastian

Mengapa Film Horor Slow-Burn Kurang Diminati oleh Penonton?adegan dalam film Siksa Kubur (dok. Come and See Pictures/Siksa Kubur)

Bagian ini mengandung sedikit spoiler bagi yang belum menonton Siksa Kubur

Sebagai film horor slow-burn, Siksa Kubur (2024) menawarkan sebuah akhir yang memprovokasi pemikiran. Di akhir cerita, penonton disajikan dengan konklusi yang tak eksplisit, meninggalkan ruang untuk interpretasi. Ending yang terbuka ini memicu audiens untuk merenungkan berbagai kemungkinan yang terjadi pada Sita (Faradina Mufti) setelah mendengar suara misterius yang bertanya, "Man Rabbuka?"

Beranjak dari Siksa Kubur, kita melihat bahwa film horor slow-burn sering kali meninggalkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, berbeda dengan film horor konvensional yang cenderung memberikan penyelesaian yang jelas. Film horor konvensional biasanya mengarah pada klimaks yang menegangkan dengan resolusi yang menentukan nasib baik dan buruk. Sementara itu, film horor slow-burn seperti Siksa Kubur memilih untuk memelihara misteri dan ketidakpastian.

Mengingat karakteristik ini, resolusi terbuka dalam film horor slow-burn memiliki kelebihannya sendiri, terutama dalam mendorong penonton untuk terlibat secara aktif dalam penciptaan makna. Namun, pendekatan ini juga memiliki kekurangannya, seperti bagi penonton yang mencari kejelasan. Resolusi terbuka dapat meninggalkan sebagian penonton dengan rasa tidak puas karena kurangnya penyelesaian, sementara penonton lain mungkin tertarik untuk mendiskusikan akhir ceritanya yang ambigu.

5. Perbedaan pandangan antara kritikus dan penonton

Mengapa Film Horor Slow-Burn Kurang Diminati oleh Penonton?adegan dalam film Halloween Kills (dok. Universal Pictures/Halloween Kills)

Terakhir, tetapi tak kalah signifikan adalah dinamika penerimaan antara kritikus dan penonton. Kritikus film, yang cenderung menilai berdasarkan aspek teknis dan naratif, kerap memberikan pujian tinggi terhadap film-film yang mengedepankan pengembangan karakter yang mendalam dan ketegangan yang membangun secara bertahap.

Namun, penonton yang mencari ketegangan instan mungkin tak sejalan dengan pendekatan slow-burn yang memerlukan kesabaran lebih. Akibatnya, film horor slow-burn sering kali mendapatkan apresiasi yang tinggi dalam lingkaran kritikus namun menghadapi tantangan untuk memuaskan ekspektasi penonton umum yang beragam.

Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat pada Hereditary (2018) yang mendapatkan pujian luas dari kritikus karena eksplorasi psikologis dan ketegangan yang dibangun dengan cermat, namun mendapat respons yang terbelah dari penonton. Di sisi lain, film horor konvensional seperti Halloween Kills (2021), yang tak mendapatkan skor tinggi dari kritikus karena dianggap kurang inovatif, tetap menikmati popularitas di kalangan penonton karena kesenangan dan ketegangan yang ditawarkan. Hal ini menciptakan diskursus yang menarik dalam komunitas pencinta film.

Pada akhirnya, film horor—entah itu yang mengambil pendekatan slow-burn atau yang bergerak dengan ritme cepat ala konvensional—selalu berhasil memenuhi rasa ingin tahu penonton. Kedua aliran ini membuktikan bahwa sensasi ketegangan dan misteri dapat dinikmati melalui beragam jalur, dan setiap metode memiliki keistimewaannya tersendiri di kancah perfilman.

Kamu sendiri gimana? Lebih terpikat oleh salah satu atau justru menemukan keseruan dari keduanya, nih?

Baca Juga: 10 Film Horor Klasik Paling Underrated, Seram meski dengan Efek Minim

Satria Wibawa Photo Verified Writer Satria Wibawa

Movie and series enthusiast. Please, visit my IG: @satriaphile90 or my Letterboxd: @satriaphile to see my other reviews. Gracias!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Diana Hasna

Berita Terkini Lainnya