Challengers, Lebih dari Sekadar Tenis dan Cinta Segitiga

Guadagnino bawa genre sports romance ke level selanjutnya!

Dari sekian banyak sineas asal Italia yang hijrah ke Hollywood, Luca Guadagnino menonjol sebagai maestro yang karyanya selalu dinanti. Dari kisah cinta sesama jenis yang memilukan dalam Call Me by Your Name (2017) hingga tabu kanibalisme dalam Bones and All (2022), Guadagnino selalu berhasil menciptakan narasi yang kuat dan mengundang emosi.

Kini, lewat Challengers (2024), ia membawa penonton ke sebuah latar yang mungkin terdengar familier, yakni dunia tenis profesional. Meski terdengar akrab di telinga, Challengers bukan sekadar film tentang tenis. Film ini juga menyajikan kisah cinta segitiga yang rumit dan penuh intrik, sehingga menjadikannya karya paling “ngepop” dari sang sineas sejauh ini.

Namun, muncul pertanyaan, apakah tema yang cukup sering ditemukan dalam film mainstream itu bisa disulap menjadi sesuatu yang segar atau malah sebaliknya? Untuk mengetahui jawabannya, mari kita simak review film Challengers yang telah penulis jabarkan di bawah ini. Namun, harap berhati-hati, karena ada minor spoiler yang mungkin akan menggelitik rasa penasaranmu!

Baca Juga: 5 Fakta Challengers, Film Terbaru Zendaya dan Josh O'Connor

1. Premis sederhanan, amun dikemas secara berkelas

Challengers, Lebih dari Sekadar Tenis dan Cinta SegitigaMike Faist dan Zendaya dalam film Challengers (dok. Warner Bros. Pictures/Challengers)

Sekilas, Challengers mungkin tampak seperti kisah cinta berlatar dunia tenis profesional yang glamor. Tengok saja premisnya, yang mengisahkan persaingan dan romansa antara para atlet, tampak langsung dan sederhana. Namun, benarkah Challengers sesederhana itu?

Di balik kesederhanaannya, siapa sangka Challengers menyimpan cerita tentang ambisi, pengkhianatan, dan pencarian identitas. Intrik antara mantan pemain tenis yang menjadi pelatih, Tashi (Zendaya), dan suaminya, Art (Mike Faist), atlet yang berkali-kali menelan kekalahan, mengungkapkan lebih dari sekadar perjuangan untuk kembali ke puncak. Ketika mantan sahabat sekaligus rival, Patrick (Josh O'Connor), memasuki arena dengan luka masa lalu dan persaingan yang belum terselesaikan, keduanya terlibat dalam permainan strategi yang kompleks.

Luca Guadagnino, yang menyadari kompleksitas di balik kesederhanaan skenario Justin Kuritzkes, tak serta merta mengemas Challengers ke dalam formula naratif arus utama. Ibarat bola tenis yang memantul tanpa henti, penonton diajak mengikuti perjalanan emosional para karakter melalui cerita non-linier antara masa lalu dan masa kini.

Pendekatan yang tak biasa ini bukannya tanpa tujuan. Ia ingin menantang persepsi penonton tentang waktu dan memori. Guadagnino menggunakan alur cerita yang melompat-lompat untuk mengeksplorasi bagaimana keputusan masa lalu dapat membentuk masa depan—dan dalam hal ini, ia berhasil dengan gemilang!

2. Bak pertandingan tenis, sinematografi dan musiknya turut memacu adrenalin

Challengers, Lebih dari Sekadar Tenis dan Cinta SegitigaJosh O'Connor dalam film Challengers (dok. Warner Bros. Pictures/Challengers)

Selain penceritaan yang non-linier, elemen musik juga dimanfaatkan Luca Guadagnino untuk memperkaya narasi Challengers. Untuk menggarap skoring film ini, sang sutradara mempercayakan kepada Trent Reznor dan Atticus Ross, yang tergabung dalam band legendaris Nine Inch Nails. Sebelum ini, mereka juga telah berkolaborasi dengan Guadagnino dalam Bones and All (2022).

Dalam Challengers, Reznor dan Ross menyajikan skor musik yang beragam, dari dentuman elektronika yang menggelegar dalam “Challengers” hingga nuansa downtempo dalam “Final Set”. Musik elektronika yang dinamis menambah intensitas adegan pertandingan, sementara trek dengan tempo yang lebih lambat memberikan kontras emosional pada momen-momen introspektif. Efek gabungan ini menciptakan lanskap audio yang memperkuat pengalaman sinematik penonton.

Di sisi lain, sinematografi garapan Sayombhu Mukdeeprom (Suspiria) memainkan peran penting dalam menangkap esensi olahraga tenis. Kamera ditempatkan pada sudut-sudut yang tak biasa, memberikan perspektif unik kepada penonton. Dalam sebuah kesempatan, Mukdeeprom menempatkan penonton di bangku audiens, memerhatikan setiap gerakan pemain dengan detail yang memukau, sementara di kesempatan lain, kamera bergerak liar bak bola tenis, menginjeksi penonton dengan adrenalin khas turnamen olahraga.

Baca Juga: Sinopsis Challengers, Film 18+ Zendaya yang Udah Tayang di Indonesia

3. Trio pemeran utamanya beri penampilan memukau, calon Oscar?

Challengers, Lebih dari Sekadar Tenis dan Cinta SegitigaMike Faist , Zendaya, dan Josh O’Connor dalam film Challengers (dok. Warner Bros. Pictures/Challengers)

Lewat Challengers, Luca Guadagnino sekali lagi membuktikan bahwa ia adalah sutradara yang cermat dalam memilih pemerannya. Zendaya, Mike Faist, dan Josh O'Connor adalah trio yang sempurna. Baik dalam adegan yang membutuhkan percakapan kasual maupun momen-momen intens yang menuntut ketangguhan fisik dan kedalaman emosional, masing-masing membawa keunikan mereka ke dalam karakter yang berkembang sepanjang berbagai fase waktu.

Chemistry antara Mike Faist dan Josh O’Connor adalah perwujudan dari persahabatan yang berubah menjadi rivalitas dengan cara subtil. Meski membawakan karakter yang bertolak belakang; Patrick (O'Connor) yang berjiwa bebas dan Art (Faist) yang kaku dan terkontrol, keduanya sama-sama menyiratkan kerentanan akan masa lalu yang belum bisa mereka lepaskan. Konflik internal ini menciptakan kontras yang menarik terhadap kedua karakter tersebut.

Zendaya, dalam peran Tashi, memberikan performa yang kompleks dan berlapis. Sebagai prodigy tenis yang harus mengubur mimpinya karena insiden tragis, ia bertransformasi menjadi pelatih yang "mengendalikan" permainan melalui Art, seolah-olah suaminya adalah perpanjangan dari dirinya sendiri di lapangan. Performa Zendaya bukan hanya salah satu yang terbaik dalam kariernya, tetapi juga berpotensi menelurkan nominasi Best Actress pertamanya di Oscar 2025.

4. Endingnya yang ambigu membuka ruang interpretasi

Challengers, Lebih dari Sekadar Tenis dan Cinta SegitigaJosh O’Connor dan Zendaya dalam film Challengers (dok. Warner Bros. Pictures/Challengers)

Bagian ini mengandung minor spoiler bagi yang belum menonton Challengers

Sebelum dirilis, Challengers menarik perhatian dan kontroversi, terutama karena adegan yang menggambarkan hubungan intim antara ketiga karakternya. Meski adegan ini menarik banyak perhatian, film ini menawarkan lebih dari sekadar sensasi seksual. Challengers, seperti semua karya Guadagnino sebelumnya, merupakan karya yang memerlukan analisis lebih mendalam terhadap lapisan-lapisannya untuk memahami pesan yang ingin disampaikan.

Visi artistik sang sutradara dalam memasukkan pesan simbolik mencapai puncaknya di adegan akhir. Setelah pertandingan yang menegangkan, Challengers memperlihatkan dua protagonis berpelukan di tengah lapangan tenis sementara karakter lain bersorak di tribun. Pelukan dan sorakan tersebut bisa melambangkan banyak hal.

Entah itu emosi yang terpendam, momen pelepasan dari masa lalu, atau penemuan kembali gairah salah satu karakternya terhadap tenis. Atau bisa juga menjadi titik balik dimana ketiga karakter tersebut menemukan solusi atas konflik mereka.

Pertanyaan-pertanyaan ini sengaja dibiarkan menggantung. Mungkin hanya mereka yang terlibat dalam cerita tersebut yang mengetahui maknanya. Atau mungkin jawabannya terletak pada interpretasi pribadi kita sebagai penonton.

Walau Challengers menyajikan istilah-istilah dalam dunia tenis yang mungkin asing bagi penonton awam, hal itu tak mengurangi kenikmatan menonton. Guadagnino dengan cerdas menyelipkan penjelasan yang mudah dipahami, memastikan bahwa setiap penonton dapat terlibat penuh dalam drama dan emosi yang disajikan.

Sulit bagi penulis untuk menemukan kekurangan dalam film ini, yang dengan berani dapat disebut sebagai salah satu film sports romance terbaik yang pernah dibuat. Untuk kamu yang penasaran dan ingin menyaksikan karya luar biasa ini, Challengers telah tayang di bioskop Indonesia sejak Jumat (26/4/2024).

Baca Juga: 8 Rekomendasi Film Sport Romance Mirip Challengers, Bikin Baper!

Satria Wibawa Photo Verified Writer Satria Wibawa

Movie and series enthusiast. Please, visit my IG: @satriaphile90 or my Letterboxd: @satriaphile to see my other reviews. Gracias!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Naufal Al Rahman

Berita Terkini Lainnya