Insidious: The Red Door, ketika The Further Kehilangan Terornya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jika kamu bertanya apa franchise film horor terpopuler saat ini, tanpa ragu penulis akan menjawab Insidious. Meski tiga film terakhirnya mendapat ulasan buruk dari kritikus (berbanding terbalik dengan perolehan box office), seri film buatan Leigh Whannell dan James Wan ini begitu dinanti oleh pencinta horor berkat kehadiran jumpscare yang menggedor jantung.
Lima tahun berlalu sejak Insidious: The Last Key (2018), Blumhouse Productions, selaku salah satu rumah produksi, kembali menelurkan film kelimanya, Insidious: The Red Door (2023). Tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (12/7/2023), film debut penyutradaraan Patrick Wilson ini sayangnya hanya mampu meraih skor 39 persen di Rotten Tomatoes.
Menjadi film keempat Insidious dengan rating terendah, benarkah Insidious: The Red Door seburuk seperti yang dikatakan kritikus? Daripada penasaran, simak kelebihan dan kekurangannya dalam review film Insidious: The Red Door di bawah ini.
1. Soroti kehidupan keluarga Lambert setelah insiden di film kedua
Setelah diajak merasakan teror yang dialami keluarga Brenner dan melihat kelamnya masa lalu Elise (Lin Shaye) dalam Insidious: Chapter 3 (2015) dan Insidious: The Last Key (2018), tentu kamu bertanya-tanya, apa yang terjadi pada keluarga Lambert dalam jeda waktu tersebut? Lewat adegan pembuka yang menampilkan pemakaman Lorraine (Barbara Hershey), Insidious: The Red Door menjawab rasa penasaran penonton.
Sembilan tahun setelah Insidious: Chapter 2 (2013), keluarga Lambert tak lagi bersama seperti dahulu. Josh (Patrick Wilson) dan Renai (Rose Byrne) telah bercerai, sementara Dalton (Ty Simpkins), yang dulu sangat dekat dengan sang ayah, berbalik menjauhinya.
Atas usulan Renai, Josh akhirnya mengantar Dalton ke universitas guna merekatkan kembali hubungan mereka sebagai ayah dan anak. Namun, apa yang seharusnya membaik malah menjadi buruk seiring Dalton mengingat apa yang semestinya tak boleh diingat, termasuk kemampuannya menjelajah The Further.
Di sisi lain, Josh pun diteror hantu pria misterius yang berhubungan dengan masa kecilnya. Dapatkah keduanya bersatu kembali dan mengalahkan "iblis" dari masa lalu untuk terakhir kalinya?
2. Patrick Wilson dan Ty Simpkins sukses hidupkan hubungan ayah-anak yang problematik
Harus diakui, keputusan Scott Teems (Halloween Kills, Firestarter), selaku penulis naskah, untuk memberikan twist pada hubungan Josh dan Dalton adalah langkah yang berani. Bagi yang mengikuti perjuangan mereka di film pertama dan kedua, dijamin bakal merasa emosional ketika melihat hubungan keduanya yang tak akur di Insidious: The Red Door.
Problematika tersebut semakin terasa nyata berkat penampilan meyakinkan dari kedua aktornya, yakni Patrick Wilson dan Ty Simpkins. Simpkins mampu menghidupkan sosok Dalton yang introver dan terobsesi dengan seni, sementara Wilson menimbulkan kesan kalau Josh adalah ayah yang sedang tidak baik-baik saja, baik secara fisik dan mental.
Selain keduanya, penampilan aktris pendatang baru, Sinclair Daniel, sebagai Chris, teman baru Dalton di universitas, pun mencuri perhatian lewat tingkah dan celetukannya yang menggelitik. Sayangnya, meski unggul dalam segi akting, Insidious: The Red Door tak terhindar dari setumpuk kelemahan.
Editor’s picks
Baca Juga: 5 Alasan Kudu Nonton Insidious: The Red Door, Seram dan Ngagetin!
3. Sejumlah jumpscare tak memorable meski dikemas secara kreatif
Bicara soal kelemahan, salah satu yang cukup mengganggu adalah perihal jumpscare. Meski selaku sutradara, apalagi berstatus debut, Patrick Wilson mampu membangun suasana tanpa harus mengandalkan false alarm, ia terlihat begitu canggung saat menangani eksekusi.
Padahal, sejumlah adegan mempunyai konsep yang kreatif, seperti teror di mesin MRI serta sekuen yang melibatkan jendela dan foto. Namun, kapan dan dari mana munculnya hantu cenderung mudah ditebak dan gagal membuat merinding (coba bandingkan dengan adegan "Don't You Dare" di Insidious: Chapter 2!).
Tak bisa dimungkiri, menurunnya kualitas jumpscare berpengaruh pada tingkat keseraman para hantu, khususnya Lipstick-Face Demon (Joseph Bishara). Tak hanya minim urgensi, kehadiran mereka pun tak ubahnya seperti penampakan di video prank alih-alih ancaman.
4. Banyak yang bisa digali, tapi naskahnya memilih bermain aman
Walaupun Scott Teems cukup berani mengangkat tema keluarga disfungsional, khususnya hubungan ayah dan anak, nyatanya naskahnya gagal menggali hal yang paling krusial dalam seri film Insidious, yakni The Further. Bahkan, The Further dalam Insidious: The Last Key masih jauh lebih menyeramkan dibandingkan The Further di film ini.
Padahal, sebagai film yang dimaksudkan untuk menyelesaikan hal-hal yang belum terselesaikan di film pertama, Teems bisa saja memilih untuk mengulas sedikit tentang asal-usul Lipstick-Face Demon—seperti yang dilakukan Leigh Whannell, selaku penulis naskah, di Insidious: Chapter 2 lewat latar belakang Bride in Black alias Parker Crane.
Namun, ia malah memilih bermain aman dengan konsep yang sudah-sudah, yakni masuk ke The Further, bertemu hantu jahat, dan berusaha keluar dari sana. Yap, sangat membosankan!
Jumpscare yang medioker, alur cerita yang mudah ditebak, dan, yang lebih parah, atmosfer yang tak menyeramkan, adalah beberapa alasan mengapa kamu harus menyimpan uang alih-alih membeli tiket Insidious: The Last Door.
Namun, jika kamu penasaran dengan akting Patrick Wilson dan Ty Simpkins, film ini masih layak kamu tonton, kok. Asal, turunkan ekspektasi, ya!
Baca Juga: Panduan Menonton Insidious: The Red Door yang Tayang Mulai Hari Ini
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.