Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Superman Menjadi Sebenar-benarnya Film Superhero!

poster film Superman. (dok. DC Studios/Superman)
Intinya sih...
  • Superman (2025) tayang di bioskop Indonesia dan membuka babak baru DC Universe.
  • Sutradara James Gunn memilih jalur berbeda tanpa origin story, dengan alur cerita yang intens dan isu-isu sosial yang relevan.
  • David Corenswet sukses memerankan Superman dengan kedalaman emosional, sementara Nicholas Hoult brilian sebagai Lex Luthor.

Superman (2025) resmi tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (9/7/2025) dan langsung mencuri perhatian para pencinta film superhero. Selain menjadi comeback sang manusia baja, film ini juga resmi membuka babak baru DC Universe (DCU) lewat Chapter One: Gods and Monsters yang digagas oleh sang sutradara, James Gunn.

Respons penonton dan kritikus pun terbilang positif. Di Rotten Tomatoes, Superman meraih skor Tomatometer 83 persen dan Popcornmeter 96 persen yang menandakan apresiasi seimbang antara kualitas sinematik dan kepuasan penonton. Dengan pencapaian tersebut, film ini berhasil melampaui pendahulunya, seperti Man of Steel (2013) dan Superman Returns (2006).

Namun, apakah Superman benar-benar seperkasa itu? Yuk, simak review film Superman di bawah ini sebelum kamu memutuskan untuk ikut "terbang" bersama sang pahlawan legendaris di bioskop kesayangan!

1. Bukan origin story, Superman langsung tancap gas!

adegan dalam film Superman. (dok. DC Studios/Superman)

Film superhero biasanya membuka cerita dengan satu formula klasik, yaitu origin story. Sang pahlawan sering kali harus melewati masa kecil yang tragis, pubertas penuh kekuatan super, hingga akhirnya memakai jubah dan menyelamatkan dunia. Dua belas tahun lalu, Man of Steel (2013) garapan Zack Snyder juga memakai rumus ini.

Namun, James Gunn memilih jalur berbeda dalam Superman. Ia melewati semua tetek bengek yang bahkan penonton awam sudah hafal di luar kepala. Alih-alih, Gunn langsung menempatkan Clark Kent (David Corenswet) di tahun-tahun awal kariernya sebagai jurnalis Daily Planet, berkencan dengan Lois Lane (Rachel Brosnahan), dan beraksi rutin sebagai Superman di tengah kota Metropolis dibantu Green Lantern (Nathan Fillion), Mr. Terrific (Edi Gathegi), dan Hawkgirl (Isabela Merced) yang tergabung dalam Justice Gang.

Alur ceritanya bahkan dimulai dengan intensitas tinggi. Dalam adegan pembuka, Superman tampil babak belur diseret anjingnya, Krypto, usai dihajar Ultraman, makhluk super bikinan musuh bebuyutannya, Lex Luthor (Nicholas Hoult). Kekuatan Ultraman saja belum cukup, karena Luthor punya rencana yang jauh lebih kejam: membalikkan opini publik agar membenci sang penyelamat dari Krypton.

Aksi heroik Superman menyelamatkan negara kecil bernama Jarhanpur dari invasi Boravia, sekutu Amerika Serikat, dimanfaatkan Luthor untuk memutar balik narasi. Ditambah ketika sang villain membocorkan fakta penting yang membuat Superman mempertanyakan tujuannya, citra sang metahuman terkuat pun makin tercoreng. Bisakah Superman tetap jadi simbol kebaikan yang dunia butuhkan di tengah situasi pelik ini?

2. Gak asal ba bi bu, naskah garapan Gunn punya kedalaman isu

adegan dalam film Superman. (dok. DC Studios/Superman)

Di balik kecepatan alurnya yang setara dengan kecepatan Superman sendiri, James Gunn jelas tak asal menjejalkan adegan aksi dan dialog berapi-api. Ia tahu persis bagaimana memadukan keseruan komik dengan kritik sosial yang relevan, tanpa terasa menggurui. Cerita pun mengalir seperti peluru, tapi tetap menyisakan ruang untuk isu-isu penting yang bikin penonton berpikir.

Seperti yang disinggung di atas, konflik antara Boravia dan Jarhanpur menyuntikkan nuansa politik yang tidak bisa diabaikan. Keduanya memang negara fiktif, tapi kemiripannya dengan konflik dunia nyata—sebut saja Israel dan Palestina—terasa begitu kentara. Dengan keterlibatan Superman di dalamnya, film ini mempertanyakan sejauh mana pahlawan bisa bertindak saat nyawa manusia menjadi taruhannya.

Tak berhenti di sana, Gunn juga menyentil keras fenomena propaganda media sosial yang dikemas dalam balutan satire campy khas komik Superman jadul. Lewat penampakan pasukan monyet "internet" bikinan Lex Luthor, isu buzzer dan ujaran kebencian disindir habis-habisan. Apakah ini juga ditujukan pada fans fanatik Snyder yang kerap menyerang proyek ini sejak awal diumumkan? Bisa jadi.

Romansa antara Clark Kent dan Lois Lane juga mendapat porsi yang lebih matang dan menyenangkan. Chemistry mereka terasa kuat, terutama saat terlibat adu argumen soal moralitas di awal film yang jadi salah satu highlight. Didukung akting on point Rachel Brosnahan, Lois tak sekadar jadi love interest, tapi juga partner intelektual yang menantang pandangan idealistik Clark soal dunia.

Satu-satunya kelemahan mungkin datang dari hubungan Clark dengan orangtua angkatnya, Jonathan dan Martha Kent (Pruitt  Taylor Vince dan Neva Howell). Dibanding film-film sebelumnya, di sini memang tak banyak ruang untuk eksplorasi emosi antara mereka. Namun, mengingat film ini menekankan bahwa keputusan Clark menjadi Superman lahir dari nilai-nilai yang ia yakini sendiri sebagai manusia, bukan karena dorongan siapa pun, keputusan itu tetap terasa masuk akal.

3. Akting jempolan bikin karakternya makin hidup

adegan dalam film Superman. (dok. DC Studios/Superman)

Banyak penggemar sempat meragukan kemampuan David Corenswet memerankan Superman, meski secara fisik ia terlihat sangat meyakinkan. Maklum saja, bayang-bayang Henry Cavill masih begitu melekat dan dianggap sebagai sosok Superman ideal oleh banyak orang. Namun, semua keraguan itu langsung pupus ketika Corenswet tampil total dan memukau sejak menit pertama.

Sebagai Clark Kent alias Superman, ia menanamkan rasa kemanusiaan yang dalam ke karakternya. Superman versinya belum sepenuhnya matang secara emosional, tapi ini justru membuat perjuangannya terasa lebih relevan dengan kondisi manusia modern. Ia bukan sosok sempurna yang tak tersentuh, melainkan pahlawan yang belajar mencintai dunia yang belum sepenuhnya menerima dirinya.

Di sisi berlawanan, Nicholas Hoult tampil total sebagai Lex Luthor. Karakternya pintar, licik, dan dipenuhi kebencian terhadap Superman, sampai-sampai menganggapnya bukan manusia. Di balik kegeniusannya, Lex Luthor versi Hoult justru jadi potret sisi terburuk umat manusia: arogan, dingin, dan penuh rasa takut akan kekuatan yang tak bisa ia kendalikan.

Para pemeran pendukung juga tampil tak kalah mencuri perhatian. Edi Gathegi sukses menjadikan Mr. Terrific—karakter yang selama ini kurang dikenal—sebagai sosok yang karismatik dan keren. Sementara Skyler Gisondo sebagai Jimmy Olsen, rekan kerja Clark dan Lois, dengan energi quirky dan timing komedi yang tepat, memberikan humor segar tanpa mengganggu alur cerita yang intens.

4. Lantas, layakkah Superman jadi pembuka Gods and Monsters?

adegan dalam film Superman. (dok. DC Studios/Superman)

Tentu saja jawabannya iya, tanpa keraguan sedikit pun. Superman adalah fondasi yang solid untuk membangun semesta Gods and Monsters, karena film ini tahu persis siapa tokoh sentralnya dan apa yang ingin disampaikannya. Dari segi aksi, James Gunn paham betul cara menyalurkan ketegangan dan kehebohan dengan gaya khasnya, tapi tetap setia pada esensi sang Man of Tomorrow.

Pertarungan udara melawan Ultraman hingga aksi seru melawan kaiju menghadirkan momen-momen eyegasm yang sulit dilupakan. Bahkan klimaksnya bisa dibilang se-chaotic Man of Steel, tapi dengan pendekatan visual dan emosional yang terasa lebih matang dan seimbang. Gunn juga mulai membangun fondasi dunia barunya lewat pengenalan istilah seperti metahuman dan pocket universe, dua konsep yang sebelumnya hanya disentuh sekilas dalam film-film DCEU.

Namun, yang paling membedakan Superman versi Gunn adalah visualnya yang tampil cerah, penuh warna, dan tak malu-malu menunjukkan sisi idealistik tokohnya. Hal ini tentu selaras dengan nilai-nilai harapan yang menjadi jantung karakter Superman sejak awal kemunculannya. Sebagai awal baru DC, Superman jelas telah dibangun James Gunn dengan hati, visi, dan semangat yang nyaris hilang dari film superhero selama beberapa tahun terakhir.

Jika film pertamanya saja sudah berhasil menghadirkan kualitas setinggi ini, wajar saja jika ekspektasi terhadap film-film selanjutnya di Chapter One: Gods and Monsters, seperti Supergirl (2026) bakal melambung tinggi. Sebagai pemanasan, segera sisihkan waktumu untuk menyaksikan Superman di bioskop terdekat, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us