Gangubai Kathiawadi (dok. Netflix/Gangubai Kathiawadi)
Namun, sejak akhir 2000-an hingga sekarang, terjadi perbaikan yang signifikan di industri film India. Paham kalau komersialisasi tak bisa dihindari, mereka menciptakan kombinasi yang sempurna antara daya tarik sinematik dengan pesan sosial ala film neorealis. Hasilnya bisa kita nikmati sekarang lewat beberapa film sekaliber Taare Zameen Par (2007), 3 Idiots (2009), Barfi (2012), Aligarh (2015), Pink (2016), The White Tiger (2021), Gangubai Kathiawadi (2022), dan Jawan (2023).
Semua film tadi mendapuk nama-nama besar yang pernah merajai puncak kejayaan Bollywood pada 1990-an, sebut saja Shah Rukh Khan, Aamir Khan, Aamitabh Bachan, dan Ranbir Kapoor. Beberapa nama baru juga muncul seperti Rajkummar Rao dan Alia Bhatt. Desain produksi mereka pun tak main-main, benar-benar bisa menciptakan latar megah tanpa mengorbankan plotnya yang tajam.
Dengan dibukanya keran investasi luar negeri, kamu juga bisa melihat berbagai hasil kolaborasi Bollywood dengan sineas negara lain termasuk Hollywood. Seperti Life of Pi (2012), Slumdog Millionaire (2009), dan Lion (2016). Terbaru film dokumenter berjudul To Kill a Tiger (2023) yang dapat nominasi Oscar 2024. Geliat film independen mereka juga tak kalah menarik buat dilihat.
Dengan keberadaan layanan streaming, film-film indie pun dapat kesempatan untuk meraup audiens seluas mungkin setelah tayang perdana di festival. Beberapa yang prestasinya mentereng antara lain The Lunchbox (2013), Court (2014), dan Manto (2018).
Meski sinema Indonesia sudah mulai menuju ke arah yang sama lewat beberapa perilisan film dengan komentar sosial, India bisa dibilang jauh lebih progresif. Mereka tak puas berkutat pada masalah sosial, tetapi tak ragu menyoal isu politik. Salah satunya kritik pedas buat aparat mereka yang terkenal korup tanpa khawatir dituntut atas pencemaran nama baik.