Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
poster film Wicked. (dok. Universal Pictures/Wicked)

Apa yang kamu ketahui tentang The Wizard of Oz? Apakah Elphaba, Penyihir Jahat dari Barat yang gemar meneror? Glinda, si Penyihir Baik yang selalu menolong? Atau Oz, sang penyihir bijaksana yang memimpin negeri itu? Bagaimana jika konsep yang kamu yakini selama ini ternyata salah?

Wicked (2024), yang tayang perdana di bioskop Indonesia sejak Rabu (20/11/2024), membongkar habis narasi yang selama ini kita pahami. Disutradarai Jon M. Chu, adaptasi musikal Broadway dan novel karya Gregory Maguire ini memberikan nuansa sinematik yang memukau, mulai dari visual hingga akting para pemainnya, seperti Cynthia Erivo dan Ariana Grande. Para kritikus pun memberikan pujian tinggi dan menyebutnya sebagai film ambisius yang mampu menyegarkan cerita The Wizard of Oz.

Ingin tahu lebih dalam bagaimana Wicked merevolusi kisah legendaris ini? Simak review film Wicked di bawah ini dan temukan sisi lain dari Negeri Oz yang belum pernah kamu lihat!

1. Tunjukkan sisi lain Elphaba dan Glinda yang jarang diketahui

adegan dalam film Wicked. (dok. Universal Pictures/Wicked)

Bagi yang telah membaca Wicked: The Life and Times of the Wicked Witch of the West karya Gregory Maguire atau setidaknya menonton versi musikalnya, pasti sudah tahu apa yang ingin dituturkan oleh film garapan Jon M. Chu ini. Namun, bagi penonton awam, menyaksikan Wicked adalah pengalaman yang menyegarkan. Alih-alih menghadirkan kedua penyihir ikonik, Glinda dan Elphaba, sebagai hero dan villain, film ini menggali lebih dalam hubungan kompleks keduanya sebelum mereka menjadi Penyihir Baik dari Utara dan Penyihir Jahat dari Barat.

Semua berawal dari Universitas Shiz, perguruan tinggi terkemuka di Negeri Oz, tempat keduanya bertemu. Bakat sihir Elphaba Thropp (Cynthia Erivo), perempuan berkulit hijau yang selalu mendapat cemoohan sepanjang hidupnya, menarik perhatian Madam Morrible (Michelle Yeoh), dekan Shiz. Sementara itu, Galinda Upland (Ariana Grande)—perubahan namanya menjadi Glinda akan dijelaskan dalam film ini—, sang gadis populer, iri dengan pencapaian Elphaba dan selalu berusaha mengoloknya.

Sisi lain dari Elphaba dan Glinda inilah yang menjadi highlight dalam Wicked. Label Elphaba si jahat dan Glinda si baik, yang selama ini disematkan kepada keduanya, ditiadakan. Sebagai gantinya, penonton diajak untuk melihat persaingan, konflik romansa mereka dengan pangeran bernama Fiyero (Jonathan Bailey), hingga bagaimana keduanya bisa menjadi sahabat meskipun awalnya saling membenci.

Selain dinamika yang menarik tersebut, tentu saja Wicked juga memiliki segudang kelebihan lain yang patut untuk dibahas!

2. Wicked menjadi panggung Erivo dan Grande untuk bersinar

adegan dalam film Wicked. (dok. Universal Pictures/Wicked)

Tentu saja, keberhasilan menampilkan sisi lain dari Elphaba dan Glinda di atas takkan terwujud tanpa penampilan memukau dari kedua aktris utamanya, Cynthia Erivo dan Ariana Grande. Sebagai sutradara, Jon M. Chu tampaknya tahu benar kalau menyia-nyiakan potensi mereka adalah sebuah dosa besar. Sang sineas pun memaksimalkan apa yang dimiliki keduanya: drama yang menjadi kekuatan Erivo dan komedi yang mengalir alami dari Grande (ingat sitkom-sitkom sukses yang dibintanginya di awal karier?).

Sebagai Glinda, Grande mampu menghadirkan tawa di setiap kehadirannya. Pelantun tembang “we can’t be friends (wait for your love)” ini jago mengekspresikan berbagai kalimat menggelitik secara natural, serta menampilkan gestur-gestur konyol yang over-the-top, tapi tetap terlihat elegan. Sebagai bonus, Grande juga memperdengarkan sisi lain vokalnya di sini.

Di sisi lain, Erivo bak terlahir memerankan Elphaba. Aktris peraih dua nominasi Oscar ini menampilkan sosok Penyihir Jahat dari Barat yang mampu melahirkan simpati penonton tanpa meminta belas kasihan yang berlebihan, dan terlihat kuat, tapi rapuh di dalam. Dengan akting yang kompleks tersebut, tak heran jika ia dijagokan untuk mengisi slot nominasi Best Actress di Oscar 2025!

3. Hadirkan momen musikal epik yang dibalut visual fantastis

adegan dalam film Wicked. (dok. Universal Pictures/Wicked)

Jika ada yang menjadi catatan dari Wicked, itu adalah durasi yang terlalu panjang—berdurasi 160 menit, 10 menit lebih panjang dari versi Broadway-nya. Winnie Holzman dan Dana Fox, sebagai penulis naskah, memilih untuk tidak memotong bagian-bagian tertentu, sehingga hampir setiap adegan identik dengan versi musikalnya, dengan tambahan beberapa adegan untuk memperkuat latar belakang Elphaba. Namun, siapa yang peduli ketika Jon M. Chu mampu menampilkan visual epik yang tak bisa diwujudkan dalam versi musikalnya?

Chu, yang berpengalaman dengan film tari dan musikal seperti Step Up 3D (2010) dan In the Heights (2021), paham bagaimana mengemas adegan yang mampu membuat hati penonton berdebar-debar. Dari nomor pembuka "No One Mourns the Wicked," yang mengingatkan pada kelegendarisan The Wizard of Oz versi 1939, pameran tata kamera dalam "Dancing Through Life," sampai "Defying Gravity," yang menjadi simbol perlawanan Elphaba dan kehebatan CGI, semuanya menjadi bukti nyata.

Menariknya, selain dalam adegan spektakuler, kepiawaian Chu juga terlihat dalam adegan-adegan minimalis yang menyentuh hati. Salah satunya adalah ketika Elphaba dan Glinda berbaikan dan menari bersama di Ozdust Ballroom. Nuansa dan dampak yang dihadirkan hampir mirip dengan adegan pernikahan di Crazy Rich Asians (2018), film garapan Chu sebelumnya.

4. Meski penuh warna, Wicked mengusung tema yang cukup kelam

adegan dalam film Wicked. (dok. Universal Pictures/Wicked)

Terakhir, tetapi tak kalah menarik untuk dibahas, adalah subteks-subteks penting yang terdapat dalam naskahnya. Di balik visual yang penuh warna, kemeriahan tarian dan musik, serta persahabatan hangat antara Elphaba dan Glinda, siapa sangka Wicked juga menyajikan tema yang cukup berat untuk sebuah film dengan rating semua umur?

Salah satu tema yang tampak sejak awal adalah rasisme. Elphaba, yang terlahir dengan kulit hijau, sering mendapat diskriminasi dari orang-orang di sekelilingnya, baik dari orang tua maupun murid-murid lain di universitas. Puncaknya adalah ketika ia menjadi sasaran propaganda dari salah satu karakter paling berpengaruh di Negeri Oz dan berubah menjadi musuh publik.

Selain itu, isu kebebasan berpendapat dan hak asasi juga menjadi pokok bahasan yang menggigit di sini. Ada subplot di mana para binatang ditangkap dan dipaksa untuk tidak berbicara lagi. Selain memang terdapat dalam novelnya, bukankah isu-isu yang diusung oleh Wicked di atas sangat relevan dengan dunia nyata?

Wicked adalah sebuah mahakarya yang berhasil menyatukan keindahan visual, musikalitas yang memukau, dan pesan yang mendalam. Bagi para penggemar musikal, film ini adalah sebuah persembahan yang wajib ditonton. Namun, bagi siapa saja yang menyukai film dengan cerita yang kuat dan karakter yang kompleks, Wicked juga akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team