TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Jarang Diketahui, Ini 5 Fakta Kelam di balik Industri Pakaian

#IDNTimesHype Bikin miris!

ilustrasi pakaian (pexels.com/Polina Tankilevitch)

Industri pakaian memiliki dampak besar pada manusia dan planet, dan fast fashion memberikan dampak yang paling besar dan terus berkembang. Entah kamu memperhatikan tren mode atau tidak, tapi pada intinya kita semua memakai pakaian setiap hari. Industri pakaian bernilai miliaran dolar.

Dengan meningkatnya permintaan untuk pakaian dengan harga yang sangat murah di seluruh dunia, mustahil untuk bisa menyediakan pakaian dalam jumlah yang melimpah seperti saat ini tanpa mengalami beberapa masalah besar.

Di balik murahnya pakaian yang kita kenakan saat ini, ada fakta kelam yang menyertainya. Di bawah ini akan kita selami industri ini lebih dalam.

1. Siklus produksi yang mencemari air dan tanah

ilustrasi tekstil (pexels.com/Pixabay)

Membahas tentang aspek keberlanjutan, penting untuk mengetahui bagaimana suatu brand menghindari atau membuang produk limbah dalam proses produksi. Sedihnya, menurut laporan The New York Times, sebagian besar brand mode tidak membersihkan dan menggunakan kembali air dari fasilitas produksi.

Artinya, semua limbah dari proses produksi langsung dibuang ke luar, yang berdampak pada tercemarnya air dan tanah. Ini tentunya bukan sesuatu yang kita semua inginkan.

Baca Juga: 11 Sejarah Kelam di Balik Hal-Hal Umum di Sekitar Kita

2. Mayoritas merek fast fashion tidak menjaga kesetaraan gender di tempat produksi

ilustrasi menjahit pakaian (pexels.com/cottonbro)

Mayoritas perusahaan fast fashion menempatkan fasilitas produksi mereka di negara berkembang. Menurut Ethical Fashion Guide, sekitar 68 persen atau 80 juta pekerja dalam rantai pasokan fashion sebagian besar adalah perempuan, tetapi mayoritas pemberi kerja tidak memberikan perhatian untuk menjaga kesetaraan gender di tempat kerja. Fast fashion bukan hanya memiliki masalah keberlanjutan, tetapi juga memiliki masalah feminis utama.

Hal serupa juga dilaporkan Human Rights Watch, di mana tingginya permintaan mendorong produsen untuk mempekerjakan karyawan mereka tanpa batas. Dalam satu kasus, seorang pekerja perempuan harus berhenti bekerja karena mimisan yang tidak berhenti. Alih-alih mendapatkan kesempatan untuk istirahat, ia justru dipecat karena dianggap akan mengganggu kecepatan produksi. Perempuan hamil juga lebih mungkin dipecat atau diturunkan gajinya. Dorongan untuk terus lembur juga memaksa para perempuan untuk jarang pulang dan menemui keluarga.

3. Pakaian menjadi salah satu penyumbang limbah lingkungan terbesar

ilustrasi limbah pakaian (pexels.com/cottonbro)

Berdasarkan data Council for Textile Recycling, setiap tahunnya Amerika Serikat menghasilkan limbah pakaian sebanyak 11 miliar kg. Dari jumlah tersebut, hanya 15 persen yang disumbangkan ke toko barang bekas dan amal, sisanya berakhir di tempat pembuangan sampah. Alasannya, orang-orang memilih untuk membeli pakaian murah tapi berkualitas rendah. Sehingga, orang-orang ini cukup sering membeli dan membuang pakaian.

Bahkan, organisasi seperti Goodwill mendapatkan lebih banyak donasi daripada orang yang menerima donasi. Solusi untuk hal ini, konsumen harus mulai melirik pakaian di toko pakaian bekas atau produsen menjual pakaian dengan harga mahal tapi awet untuk menekan keinginan berbelanja konsumen.

4. Identik dengan perdagangan manusia

ilustrasi perdagangan manusia (pexels.com/Karolina Grabowska)

Pada tahun 2015, perusahaan pakaian Patagonia melakukan pengamatan secara mendalam kehidupan orang-orang yang membuat pakaian mereka di luar negeri. Dan, hasil temuannya sangat mengejutkan. Pekerja garmen di Taiwan menghasilkan sangat sedikit uang, selain itu calo tenaga kerja biasanya berjanji kepada pekerja migran bahwa mereka dapat membantu mereka mencari pekerjaan asalkan para pekerja migran ini mau membayar hingga 7 ribu dolar atau Rp101 juta sebagai imbalan atas pekerjaan mereka. Dibutuhkan waktu dua tahun bagi seorang pekerja untuk menghasilkan uang sejumlah itu untuk membayar calo, padahal masa kerja mereka hanya berlangsung selama tiga tahun.

Jelas bahwa ribuan hingga jutaan orang yang bekerja untuk pabrik garmen menjadi korban perdagangan manusia, dan masalah ini berlanjut hingga hari ini. Untungnya, Patagonia menulis di situs mereka bahwa mereka siap dan bersedia memberikan bantuan kepada perusahaan pakaian lain mana pun yang bersedia melalui penyelidikan mereka sendiri terhadap perdagangan manusia.

Baca Juga: 5 Fakta Kelam Kebun Binatang Manusia, Hiburan 'Gila' pada Zaman Dulu

Verified Writer

Eka Ami

https://mycollection.shop/allaboutshopee0101

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya