Cerita Watu Nganten Blora, Larangan Dua Warga Desa Nikah

Cerita Watu Nganten Blora kerap disebut sebagai cerita rakyat turun-temurun. Menurut masyarakat Blora, Jawa Tengah, Watu Nganten dianggap sakral sampai saat ini. Watu Nganten sendiri berarti "batu pengantin".
Bahkan, warga setempat seperti memberikan perlindungan bagi batu tersebut layaknya melindungi seseorang dari panas dan hujan dengan membangun cungkup di batu sakral.
Watu Nganten di Blora berbeda dengan Watu Nganten di tempat lainnya. Misalnya, tempat wisata Watu Nganten berada di Kabupaten Magelang sedangkan Watu Nganten ada di Pintu Gerbang Situs Candi Watugenuk.
Lalu, apa itu Watu Nganten Blora dan cerita di baliknya? Yuk, simak selengkapnya di IDN Times!
1. Berbentuk batu dekat pohon besar
Seperti namanya, Watu Nganten Blora adalah batu berukuran besar yang berada di samping pohon beringin besar. Dilansir channel YouTube Jelajah Misteri, terdapat cungkup dari genting dan pilar kayu yang dibuatkan warga.
Watu Nganten Blora ini tepatnya berada di pinggir pemakaman umum daerah Dukuh Ngelobener, Kelurahan Jepon, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora.
Gak hanya dibuatkan atap, ada juga 5 kendi yang diletakkan di sekitar batu pengantin. Tiga di antaranya berada di atas batu kumbung. Sementara itu, 2 kendi lainnya berada di bawah dekat dengan batunya.
2. Buang hajat di tempat yang terkenal angker
Meski mirip dengan cerita rakyat malin kundang yang berubah jadi batu karena durhaka kepada ibunya, sebaliknya, pasangan suami-istri dikutuk jadi Watu Nganten karena buang hajat sembarangan.
Sebenarnya tidak ada informasi pasti mengenai kebenaran kisah Watu Nganten ini. Namun, cerita ini dikisahkan terjadi sudah sangat lama, bisa jadi saat Kabupaten Blora belum muncul dan masih berbentuk hutan belantara.
Cerita Watu Nganten adalah kisah pasangan suami-istri yang baru saja menikah, sang suami berasal dari Dukuh Ngelobener, Jepon, Blora, sedangkan istrinya dari Desa Brumbung, Kecamatan Jepon, Blora. Saat itu, keduanya sedang dalam perjalanan dari rumah sang istri untuk melakukan acara ngunduh mantu di rumah orang tua sang suami. Di sinilah kisah menyedihkan keduanya dimulai.
Saat di perjalanan tersebut, sang suami berniat untuk membuang hajat. Namun, ia malah melakukan di tempat yang tak seharusnya. Konon, sang suami buang hajat di tempat yang terkenal angker dan tanpa permisi. Oleh karena itu, "si penunggu" tempat sang suami buang hajat menjadi marah dan mengutuk pasangan ini menjadi batu.
Setelah keduanya berubah menjadi batu, kuda yang ditunggangi sejoli tersebut meneruskan perjalanannya hingga sampai ke rumah orang tuanya. Tentu saja orang tua dan keluarganya merasa bingung karena hanya kudanya yang sampai, tanpa anaknya.
Diceritakan bahwa kuda tersebut akhirnya menuntun orang tuanya ke tempat sejoli tersebut berubah menjadi batu. Namun, bukan menemui anaknya, orang tuanya justru hanya menemukan batu yang berhimpitan tepat di depan pohon beringin besar.
3. Jadi simbol larangan menikah antar dua warga desa
Cerita watu nganten menjadi kisah turun-temurun terkenal dari Blora. Dengan adanya cerita tersebut, Watu Nganten Blora saat ini juga dianggap sebagai tempat sakral untuk menghormati para leluhur.
Bahkan, hingga kini tempat Watu Nganten berada kerap dijadikan spot untuk menggelar pernikahan yang bersamaan dengan digelarnya acara sedekah bumi.
Meski memiliki nama yang terkesan positif dan dijadikan tempat untuk menggelar hajatan, cerita Watu Nganten justru menyisakan mitos dalam pernikahan. Sejak cerita Watu Nganten menyebar, ada pantangan untuk tidak boleh menikahkan masyarakat Dukuh Ngelobener dengan masyarakat Desa Berumbung.
Siapa sangka, seonggok batu bisa memunculkan kepercayaan turun temurun yang begitu kuat di kalangan masyarakat? Apalagi, mitos larangan tersebut masih kerap dipercaya oleh warga. Unik banget, ya!
Penulis: Fanny Haristianti