5 Negara yang Terjebak dalam Perang Sipil Berkepanjangan 

#IDNTimesHype Sampai sekarang masih berlangsung

Perang sipil atau perang internal dalam satu negara adalah salah satu perang paling kompleks dan susah ditangani. Perang macam ini merupakan masalah internal satu negara yang tak bisa dengan mudah diintervensi organisasi internasional seperti PBB.

Padahal dampaknya bisa merembet ke berbagai aspek, seperti kemanusiaan, ekonomi, hingga gelombang imigrasi yang melibatkan negara tetangga hingga sampai ke skala global seperti sekarang. 

Ada beberapa negara di dunia yang masih terjebak dalam perang sipil berkepanjangan. Apa saja? Simak ulasannya di bawah ini. 

1. Kolombia 

5 Negara yang Terjebak dalam Perang Sipil Berkepanjangan Bendera ELN (twitter.com/WRadioColombia)

Perang sipil di Kolombia pertama kali merebak di tahun 1948 saat terjadi pertentangan kelas dan ideologi antara kelompok liberal dengan konservatif. Konflik ini tereskalasi menjadi pembunuhan para tokoh-tokoh politik penting dari kedua kubu dan disebut sebagai masa-masa La Violencia. Masa ini berakhir di tahun 60an saat kedua kubu menandatangani perjanjian damai. 

Ternyata selama masa itu, lahirlah kelompok-kelompok sayap kiri, beberapa yang paling prominen adalah FARC, EPL, dan ELN. Saat dialog damai, kelompok ini tidak dianggap dan tidak didengar suaranya. Mereka akhirnya menginisiasi aksi-aksi pemberontakan bahkan melibatkan kekerasan, pemerasan, dan penculikan. Pemerintah Kolombia yang didukung para pengusaha dibantu Amerika Serikat berusaha menyingkirkan kelompok-kelompok ini dengan melakukan kekerasan balik. 

Pemerintah berhasil menyepakati perjanjian damai dengan FARC. Namun, EPL, ELN dan beberapa kelompok militan lain yang tidak diundang dalam dialog damai masih aktif bergerak secara gerilya hingga sekarang. Mereka terus melakukan regenerasi dan terlibat dalam bisnis-bisnis kriminal seperti distribusi dan produksi kokain untuk membiayai gerakan mereka.

2. Afghanistan 

5 Negara yang Terjebak dalam Perang Sipil Berkepanjangan Pasukan Taliban (twitter.com/Zalmay_Afg)

Afghanistan dinyatakan sebagai negara berdaulat sejak 1921 dan dikenal sebagai negara monarki. Hingga, di tahun 1950an Mohammed Daoud Khan menduduki posisi Perdana Menteri. Khan adalah sosok yang menyukai nilai-nilai komunisme dan dekat dengan Uni Soviet.

Ia membuat beberapa kebijakan progresif, di antaranya memberikan hak dan kebebasan lebih pada perempuan. Khan berhasil menyingkirkan Raja Mohammed Zahir Shah dan menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan. Ia mengganti sistem monarki menjadi republik dan mendeklarasikan diri sebagai Presiden di tahun 1973. 

Di balik kebijakan progresifnya, Khan memiliki banyak musuh politik.Tak hanya dari kelompok konservatif, tetapi juga anggota partai Komunis yang tak suka dengan pengaruh Soviet yang terlalu besar di Afghanistan. 

Khan tersingkir dan perebutan kekuasaan pun terjadi di Afghanistan, melibatkan kelompok-kelompok militer berbasis etnis. Salah satunya Taliban yang hingga kini masih memperjuangkan nilai-nilai agama dan politik yang menurut mereka harus ditegakkan di Afghanistan. Perang ini makin kompleks karena terjadi pertentangan kepentingan antara Taliban yang tidak menoleransi perbedaan etnis dan agama dengan Amerika Serikat yang memaksakan pembentukan negara demokrasi di Afghanistan. 

Baca Juga: Semakin Pudar karena Perang, Ini 5 Kota Bersejarah di Yaman 

3. Myanmar 

5 Negara yang Terjebak dalam Perang Sipil Berkepanjangan Demo tolak kudeta militer di Myanmar (Unsplash/Gayatri Malhotra)

Sejak merdeka dari Inggris di tahun 1948, Myanmar belum menemukan sistem pemerintahan yang bisa memfasilitasi semua etnis yang mendiami wilayah mereka. Di awal kemerdekaan, negara ini pernah mencoba sistem demokrasi perwakilan lewat parlemen. Namun, sejak tahun 60an, junta militer yang dikuasai etnis Burma mengambil alih pemerintahan dan memberlakukan banyak kebijakan yang merugikan dan membahayakan etnis minoritas. 

CNN lewat liputannya di tahun 2015 menemukan bahwa setidaknya ada belasan kelompok militan berbasis etnis minoritas seperti Shan, Rakhine, Kokang, dan lain sebagainya yang melakukan perlawanan secara gerilya. Pemerintah pernah mengundang beberapa kelompok ini untuk membahas kemungkinan damai, tetapi tak semua kelompok diakui. Bahkan beberapa dilabeli teroris oleh pemerintah Myanmar. 

Junta militer Myanmar sempat melemah di tahun 2011 dan seorang politisi sipil bernama Thein Sein ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Puncaknya di tahun 2015, Myanmar melakukan pemilu langsung pertama kali dan memilih Aung Sang Suu Kyi sebagai pemimpin baru. Meski dianggap sebagai angin segar, pemerintah sipil terpilih dianggap gagal mengatasi krisis kemanusiaan yang menyasar etnis minoritas yang tidak diakui sebagai warga negara seperti Rohingya.

Di tahun 2020, Myanmar kembali melaksanakan pemilu langsung. Pemilu dimenangkan  NLD, partai pengusung San Suu Kyi. Namun, partai militer USDP tak terima dan melakukan kudeta di awal 2021 kemarin. Sempat memunculkan gelombang protes, militer berhasil membungkam warga dengan senjatanya. Hingga kini proses peralihan kekuasaan masih berlangsung di Myanmar. 

4. Guatemala 

5 Negara yang Terjebak dalam Perang Sipil Berkepanjangan Civil unrest di Guatemala (Unsplash/Shalom de León)

Lebih dari 200 ribu jiwa terbunuh di Guatemala pada perang sipil 1960-1996. Semua bermula ketika Kolonel Carlos Castillo Armas mengambil alih pemerintah dari Presiden terpilih Jacobo Arbenz. Kudeta yang dibantu CIA itu masuk dalam agenda anti komunis Amerika Serikat. 

Setelah kudeta, kelompok sayap kiri di Guatemala melakukan pembalasan dengan melakukan perlawanan gerilya menyasar militer berkuasa. Berbagai aksi kekerasan brutal dilakukan kedua kubu. Sepanjang tahun 1960-1970an pemerintah Guatemala diminta oleh NGO internasional bertanggungjawab atas hilangnya orang yang dituduh sebagai simpatisan sayap kiri, termasuk warga indigenous

Di tahun 1982, Jenderal Efrain Rios Montt menawarkan perubahan dengan mengubah konstitusi lawas dan membubarkan parlemen yang sudah terbentuk. Ia mencoba membangun sinergi antara warga sipil dengan militer serta telah membuat rancangan konstitusi yang lebih demokratis. Namun, usahanya sempat digagalkan beberapa lawan politiknya.

Baru di awal tahun 90an, beberapa tokoh sipil membawa perubahan nyata di pemerintah Guatemala. Perjanjian damai dengan kelompok militan sayap kiri ditandatangani di tahun 1996. Sayangnya, perang sipil 36 tahun ini menyisakan masalah yang belum selesai di Guatemala. Kemiskinan dan budaya militer masih melekat dan menyisakan organisasi-organisasi kriminal yang susah diberantas. 

5. Somalia 

5 Negara yang Terjebak dalam Perang Sipil Berkepanjangan Tentara pemerintah Somalia berhasil membebaskan wilayah yang dikuasai kelompok Al Shabaab (twitter.com/HassanIstiila)

Sejak kalah dari Ethiopia di Perang Ogaden pada tahun 1977, Somalia mengalami instabilitas politik dan krisis ekonomi. Faksi dan kelompok militan terbentuk untuk menyingkirkan Jenderal Siyad Barre yang berkuasa. Perang sempat terkontrol selama Perang Dingin karena persaingan kepentingan antara dua negara besar Soviet dan Amerika Serikat. Namun, sejak Perang Dingin berakhir dan kedua negara tersebut punya masalah internal yang harus diselesaikan, Somalia terjebak dalam perang sipil berkepanjangan. 

Perang sipil dimulai tahun 1991 dengan peristiwa pembunuhan massal di Mogadishu dengan tujuan menyingkirkan klan Siyad Barre. Amerika Serikat dan PBB sempat menekan kelompok-kelompok militan ini untuk melakukan gencatan senjata di tahun 1993. Namun di pada 1994, peperangan kembali merebak dan sejumlah tentara penjaga keamanan PBB menjadi korban. 

Tiap kelompok seperti SSA, SNA, dan SSDF mulai mengklaim wilayah kekuasaan mereka sebagai negara merdeka. Berbagai dialog coba dilakukan sepanjang tahun 1995-2006, bahkan pemerintah transisi terbentuk di tahun 2002. Belum selesai dengan transisi kekuasaan, sebuah kelompok militan baru justru muncul di tahun 2007. Kelompok Islam ekstrim Al-Shabaab yang dipercaya memiliki ikatan dengan Al-Qaeda justru diam-diam berhasil menguasai wilayah paling subur di Somalia. Al-Shabaab bahkan membuat tentara bentukan Uni Afrika menyerah dan hingga kini masih bersikeras merebut kekuasaan dari pemerintah transisi bentukan PBB. 

Miris. Apapun perangnya, siapapun aktornya, rakyat sipil pasti jadi korban yang paling sengsara. 

Baca Juga: Konflik Tiada Akhir, Ini 3 Perang Besar di Afghanistan

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Tania Stephanie

Berita Terkini Lainnya