6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB 

Rawan konflik di masa depan

Sepanjang sejarah, separatisme adalah hal yang tidak bisa dielakkan. Yevgeny Ryabinin dalam tulisannya yang berjudul 'The Basic Causes of the Contemporary Separatism' menyoroti terbentuknya divisi-divisi berdasar identitas seperti etnisitas dan kultur yang berdampak pada ketimpangan kesempatan ekonomi seringkali menjadi pemicunya.

Namun, penyebabnya bisa pula divisi ideologi yang memberi peluang pada berkembangnya nasionalisme tertentu. Contohnya saja yang terjadi di Suriah dan wilayah Donbas di Ukraina saat ini.

Separatisme seringkali berkembang menjadi deklarasi kemerdekaan. Meskipun tak sedikit yang tidak mendapat pengakuan kedaulatan resmi dari negara-negara tetangga apalagi PBB. Seperti beberapa wilayah di dunia berikut ini. 

1. Corsica

6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB bendera Corsica (instagram.com/casanova.20126)

Merujuk tulisan Thompson yang berjudul 'Settlement and Conflict in Corsica', Corsica adalah sebuah pulau yang dulunya ditemukan oleh orang-orang Phocacea asal Yunani dan dijadikan salah satu basis perdagangan. Mereka kemudian berpindah tangan ke Kekaisaran Romawi sebelum akhirnya jatuh ke Byzantium dan mendapatkan otonomi. Di abad 13-18, wilayah ini berada di bawah otoritas Republik Genoa (salah satu negara di Semenanjung Italia sebelum negara Italia yang bersatu terbentuk). 

Di bawah kekuasaan Genoa, bibit-bibit nasionalisme di Corsica terbentuk. Ini karena Genoa memperlakukan mereka seperti negara jajahan. Konflik antara penduduk asli Corsica dengan Genoa berlangsung sengit hingga akhirnya mereka mendeklarasikan kemerdekaan di tahun 1755 lewat tokoh bernama Pascal Paoli. Genoa yang melemah karena krisis di dalam negeri menjual pulau tersebut pada Prancis lewat Treaty of Versailles di tahun 1768. Prancis kemudian memasukkan Corsica sebagai salah satu provinsi dalam teritorinya sejak tahun 1770.

Gerakan separatis mulai melemah di bawah Prancis. Didorong pula oleh eksodus besar-besaran karena banyak warga Corsica yang mencari penghidupan dan kesempatan lebih besar di kota-kota besar Prancis. Prancis bahkan menutup universitas yang ada di Corsica dan mendorong lebih banyak anak muda pindah ke Prancis. 

Menurut Andereggen dalam jurnal International Social Science Review, sejak abad 20 pergerakan politik di Corsica terbagi menjadi dua. Satu yang percaya bahwa kemajuan ekonomi hanya bisa dilakukan bila Corsica merdeka dan satu yang hanya ingin menuntut otonomi dari pemerintah Prancis. Prancis tidak tinggal diam, sejumlah tokoh penting separatis Corsica ditahan di berbagai penjara di teritori mereka.

2. Donbas

6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB bangunan yang hancur di wilayah Donbass, Ukraina (instagram.com/yamphoto)

Donbas adalah julukan untuk kawasan Donestk Basin yang berada di Ukraina bagian Timur. Sejak terjadi krisis Euromaidan atau demo anti pemerintah Viktor Yanukovych di 2014, wilayah ini turut bergejolak. Merujuk analisa Shveda dan Park dalam Journal of Eurasian Studies yang dipublikasikan tahun 2016, saat itu terjadi divisi yang cukup kentara di Ukraina terutama secara ideologi politik. 

Masyarakat Ukraina Barat dan Tatar Krimea ingin pemerintah Ukraina memiliki identitas sendiri. Sementara, etnik Rusia di Ukraina yang terafiliasi dengan Gereja Ortodoks Rusia dan kebanyakan menghuni wilayah Timur Ukraina merasa bahwa identitas dan warisan Soviet bukanlah hal yang harus dipermasalahkan.

Perbedaan ideologi dan identitas inilah yang kemudian memicu munculnya kelompok separatis dengan dukungan Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk. Di wilayah Donetsk sendiri, mereka bahkan sudah menyatakan kemerdekaan dengan nama resmi Donestk People's Republic. Namun, sejauh ini hanya Rusia yang mengakui keberadaannya. 

Krisis sejak 2014 bak bola salju yang terus bergulir. Ia mendorong kemunculan berbagai kebijakan Ukrainisasi (penggantian nama tempat publik yang dulunya berbau warisan Soviet) hingga terbentuknya kelompok-kelompok nasionalis Ukraina seperti Azov. Hal ini yang kemudian dijadikan justifikasi Rusia untuk melakukan agresinya pada 2022. 

3. Abkhazia

6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB sekelompok orang menuju perbatasan antara Abkhazia dan Georgia (instagram.com/lukas.aubin)

Sebelum Donbas, hal serupa pernah terjadi di wilayah Abkhazia yang merupakan bagian dari teritori Georgia. Merujuk jurnal berjudul 'Abkhazia: Stable Isolation' tulisan Thomas De Waal, konflik menyeruak ketika Uni Soviet akan pecah dan Georgia hendak membentuk negara berdaulat sendiri di tahun 1991. Tokoh-tokoh politik Abkhaz di sisi lain menginginkan otonomi di bawah Uni Soviet.

Perbedaan ideologi tereskalasi menjadi perang di tahun 1992-1993 yang akhirnya berakhir dengan gencatan senjata dan operasi perdamaian oleh Rusia dan PBB. Dulunya penduduk Abkhazia merupakan campuran berbagai etnik, termasuk Turki, Rusia, Yunani, Georgia dan Abkhaz. Namun, semenjak perang mereka hanya dihuni etnik Abkhaz dengan bahasa lokal mereka sendiri.

Sepanjang tahun 1990an, Abkhazia tidak memiliki kejelasan status yang kemudian dimanfaatkan Rusia dengan menawarkan paspor Rusia gratis untuk warga Abkhazia pada tahun 2000an. Hal ini membuat netralitas Rusia sebagai peacekeeper seperti yang didelegasikan PBB dipertanyakan. Pada 2006 situasi politik antara Rusia dan Georgia memanas. Di 2008 kontak senjata tak terelakkan lagi dan terjadilah perang lima hari. 

Atas dukungan militer dan pengakuan Rusia, Abkhazia berhasil mendeklarasikan kemerdakannya secara de facto dari Georgia di tahun tersebut. Namun, hingga sekarang mereka masih terisolasi dari dunia luar. 

Baca Juga: 5 Fenomena Sosial Unik yang Masih Terjadi di Negara-negara Afrika

4. Ossetia Selatan

6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB papan peringatan yang dipasang di perbatasan Georgia dengan Ossetia Selatan (instagram.com/tokmando)

Perang lima hari antara tentara Rusia yang mendukung kelompok separatis dengan pemerintah Georgia di tahun 2008 ternyata tidak hanya terjadi di Abkhazia, tetapi juga wilayah bernama Ossetia Selatan. Sejak 1922, Ossetia Selatan adalah salah satu wilayah otonom di Georgian Soviet Socialist Republic.

Menurut peneliti Sergey Markedonov dalam salah satu bab dalam buku Frozen Conflicts in Europe, sejak tahun 1980an tokoh etnis Ossetia dan pemerintah Georgia memiliki ideologi yang berbeda dan akhirnya tereskalasi menjadi diskriminasi dan penyebaran propaganda. Tokoh Ossetia kemudian khawatir akan adanya diskriminasi lebih besar ketika Georgia merdeka dari Uni Soviet dan menjadi negara berdaulat sendiri. 

Sempat terjadi perundingan untuk menentukan status Ossetia Selatan di dalam teritori Georgia. Namun, upaya diplomasi tidak pula berhasil. Di tahun 1989 kelompok nasionalis Georgia melakukan long march di ibukota Ossetia Selatan, Tskhinvali yang berakhir rusuh dan mengakibatkan korban jiwa. Di tahun 1991 ketegangan memuncak menjadi kontak senjata di Tskhinvali. Warga pun bermigrasi ke Ossetia Utara dan wilayah Kaukasus lain untuk menyelamatkan diri. 

Sempat terjadi kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Rusia pada 1992. Namun, semua berakhir ketika Mikhail Saakashvili terpilih menjadi presiden Georgia di tahun 2004. Kebijakannya membentuk Georgia yang bersatu direspon negatif oleh tokoh-tokoh Ossetia Selatan. Di tahun yang sama terjadilah perang kedua di wilayah tersebut. Rusia tidak berhasil mempertahankan netralitasnya dan akhirnya terjadilah perang skala besar di tahun 2008 di mana Rusia mendukung Ossetia Selatan dan Abkhazia melawan pemerintah Georgia. 

5. Sahara Barat

6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB kamp pengungsian penduduk Sahrawi di Tindouf, Aljazair (instagram.com/lorenalopezdelacalle)

Merujuk artikel Houda Chograni dari lembaga riset independen Arab Center Washington DC, wilayah Sahara Barat dulunya pernah menjadi koloni Spanyol. Namun, di tahun 1975 ia diduduki oleh tentara Maroko dan Mauritania setelah Spanyol meninggalkan wilayah itu. PBB menganggap kedua negara tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan sebagai gantinya PBB mengakui Polisario Front sebagai perwakilan legal dari orang-orang Sahrawi yang mendiami Sahara Barat. 

Sahrawi sendiri adalah orang-orang dari etnis Arab dan Berber yang memiliki budaya campuran Arab dan Afrika. Sementara, Polisario Front adalah kumpulan mahasiswa, penyintas, dan militia Sahrawi. Mereka kemudian mendeklarasikan kemerdekaan di tahun 1976 dengan nama resmi Sahrawi Arab Democratic Republic (SDAR). 

Deklarasi ini diakui oleh Mauritania, tetapi tidak oleh Maroko yang melancarkan aksi pendudukan dan pembangunan pangkalan militer. PBB menjanjikan dilakukannya referendum untuk menentukan nasib orang-orang Sahrawi dan SADR.

Namun, hingga kini referendum masih jadi wacana karena perbedaan pendapat antara Polisario Front dan pemerintah Maroko. Orang Sahrawi sendiri lelah dengan ketidakjelasan status kependudukan mereka serta muak dengan eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh Maroko. 

6. Kashmir 

6 Wilayah Abu-Abu di Dunia, Merdeka Tanpa Pengakuan PBB jembatan rel Chenai yang dibangun India di wilayah Kashmir (instagram.com/kashmir_weather)

Konflik di kawasan Kashmir tak jauh dari ketegangan politik antara Pakistan dan India yang terpupuk sejak penentuan garis oleh pemerintah kolonial Inggris. Setelah melakukan politik adu domba dan segregasi sistemik selama masa penjajahannya, Inggris didukung tokoh Hindu dan Islam pun membagi India menjadi dua bagian yang kini dikenal dengan nama India dan Pakistan. 

Namun, ada satu wilayah yang mereka lupakan dari fokus, Kashmir. Melansir tulisan Tamoghna Halder di Al Jazeera, Kashmir dulunya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mughal, kemudian jatuh ke tangan Kesultanan Afghanistan, Kekaisaran Punjab, dan akhirnya Dinasti Dogras. 

Dari pergantian kekuasaan tersebut, hanya Kekaisaran Punjab atau Sikh yang berhasil meningkatkan kualitas penduduk Kashmir. Kashmir memiliki demografi yang kompleks. Selain menjadi rumah untuk etnis Kashmiri yang memiliki budaya, ciri fisik, dan bahasa sendiri, kawasan itu juga dihuni etnik Pashtun yang secara garis keturunan lebih dekat dengan etnik mayoritas yang mendiami Afghanistan. 

Di bawah kekuasaan Dogra yang loyal pada pemerintah kolonial Inggris, orang-orang Kashmir diperlakukan seperti komoditas. Tak jauh beda dengan Kesultanan Afghanistan di era sebelumnya. Namun, di masa ini pula terjadi diskriminasi terhadap warga muslim dan menguntungkan tokoh serta rakyat Hindu. 

Tak heran bila akhirnya di tahun 1947, salah satu pemimpin Kashmir  menandatangani perjanjian dengan pemerintah India yang menjamin otonomi mereka. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Instrument of Accession of Jammu and Kashmir. Namun, sebagian lainnya tidak merasa terwakili seperti suku Pashtun serta kelompok separatis macam Jammu Kashmir Liberation Front yang kemudian didukung Pakistan. 

Benang merah dari wilayah abu-abu di atas adalah akuisisi wilayah, perbedaan ideologi, serta eksploitasi sumber daya yang tidak diimbangi dengan kompensasi yang sesuai. Kasus-kasus seperti ini tidak terbatas di enam teritori di atas. Banyak negara lain yang menghadapi isu serupa. 

Baca Juga: Duh, Normalisasi di Negara Maju Bisa Mengancam Negara Berkembang

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Tania Stephanie

Berita Terkini Lainnya