5 Budaya Patriarki di Jeju dalam Drama When Life Gives You Tangerines

When Life Gives You Tangerines menjadi serial Netflix yang banyak diperbincangkan oleh para pencinta drakor. Dikemas dalam 16 episode, serial ini menceritakan lika-liku kehidupan pasangan Yang Gwan Sik (Park Bo Gum) dan Oh Ae Sun (IU) sejak mereka kecil hingga tua.
Drama ini menyajikan berbagai konflik percintaan, keluarga, hingga masalah sosial. Salah satunya yaitu budaya patriarki yang masih mengakar di Korea Selatan, khususnya Pulau Jeju pada era 1950-an. Yuk, simak lima budaya patriarki di drakor When Life Gives You Tangerines di bawah ini.
1. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin

Salah satu tindakan dari sistem patriarki yang menjunjung tinggi kedudukan laki-laki adalah larangan perempuan menjadi seorang pemimpin. Perempuan dianggap sebagai sosok lemah yang tidak memiliki kemampuan untuk memimpin suatu kelompok.
Ketika sekolah dasar, Oh Ae Sun terpilih menjadi ketua kelas dengan suara terbanyak. Namun, yang diangkat menjadi ketua kelas justru teman laki-lakinya yang mendapat suara terbanyak kedua. Gurunya bersikukuh bahwa Oh Ae Sun tidak layak menjadi seorang pemimpin meski mendapat suara terbanyak karena ia seorang anak perempuan.
Setelah menjadi ibu, Oh Ae Sun mencalonkan diri menjadi Ketua Organisasi Nelayan Dodong-ri. Ia kembali diremehkan oleh warga karena dirinya seorang wanita. Oh Ae Sun akhirnya terpilih menjadi wakil berpasangan dengan Bu Sang Gil (Choi Dae Hoon). Beberapa waktu kemudian, Oh Ae Sun diangkat menjadi ketua karena Bu Sang Gil terlibat skandal perselingkuhan. Oh Ae Sun berhasil membuktikan bahwa perempuan juga mampu menjadi seorang pemimpin.
2. Perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi

Di tahun 1950-an, perempuan di Jeju dianggap tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi. Meski sudah ada sekolah dasar dan sekolah menengah, para perempuan dengan ekonomi rendah kesulitan untuk melanjutkan pendidikan menuju jenjang perguruan tinggi. Proses belajar di perguruan tinggi dianggap tidak penting karena setelah menikah perempuan hanya berperan mengurus keluarga dan bekerja di pertanian atau perikanan.
Meski berprestasi, Oh Ae Sun juga merelakan mimpinya untuk melanjutkan studi hingga perguruan tinggi. Ia dikeluarkan dari sekolah menengah karena kabur bersama Yang Gwan Sik. Setelah menikah dan punya anak, ia hanya mengurus rumah tangga dan berjualan ikan. Oh Ae Sun bekerja keras agar mimpinya dapat diwujudkan putrinya, Yang Geum Myeong.
3. Perempuan wajib jadi ibu rumah tangga setelah menikah

Pada masa itu, setelah perempuan Jeju menikah, ia diharuskan mengurus suami dan tinggal di rumah mertua, terutama apabila ia menikah dengan putra pertama keluarga. Ia diharuskan fokus mengurus rumah tangga dan membesarkan anak. Para perempuan Jeju boleh bekerja asalkan menjadi haenyeo (penyelam wanita) dan berjualan ikan hasil tangkapan suami.
Meski sudah mengurus suami dan anak dengan baik, Oh Ae Sun selalu dinilai kurang oleh mertuanya. Yang Gwan Sik dan Oh Ae Sun akhirnya memberanikan diri menyewa rumah kontrakan sehingga dapat hidup mandiri. Meskipun hidup serba kekurangan, hubungan mereka tetap harmonis tanpa campur tangan dari orang tua.
4. Perempuan tidak boleh makan satu meja bersama anggota keluarga laki-laki

Etika makan pada era Joseon masih banyak diterapkan di Korea Selatan pada tahun 1950-an. Perempuan bertugas menyiapkan makanan, menata meja, hingga mencuci piring. Sedangkan laki-laki hanya menikmatinya saja.
Etika tersebut juga diterapkan di keluarga Yang Gwan Sik. Di rumah itu terdapat 2 meja makan, yaitu meja makan laki-laki dan meja makan perempuan. Nenek dari pihak ayah Yang Gwan Sik juga tergabung di meja makan laki-laki layaknya ibu suri. Sedangkan para menantu dan anak perempuan makan di meja berbeda dengan makanan yang tidak selengkap meja utama.
Rasa cintanya lebih besar dari etika yang diterapkan keluarga, Yang Gwan Sik menjadi anggota keluarga pertama yang melanggar aturan. Ia memilih bergabung ke meja makan perempuan agar bisa makan bersama ibu, istri, dan putrinya.
5. Perempuan tidak boleh naik kapal nelayan

Pulau Jeju merupakan salah satu daerah penghasil perikanan terbesar di Korea Selatan. Di When Life Gives You Tangerines dijelaskan bahwa mayoritas pria di Pulau Jeju berprofesi sebagai nelayan. Kapal nelayan tersebut berlayar ketika pasang naik dan bersandar ketika pasang surut.
Ketika tahun 1950-an, warga Jeju memercayai mitos bahwa perempuan tidak boleh naik kapal nelayan. Apabila perempuan naik kapal nelayan, maka raja naga, makhluk mitologi yang dipercaya sebagai penguasa lautan akan marah dan mendatangkan bencana. Maka dari itu, perempuan di Jeju hanya diperbolehkan mencari nafkah di lautan dengan cara menyelam sebagai haenyeo.
Oh Ae Sun menjadi perempuan pertama yang melanggar mitos tersebut. Ia bersama anak-anaknya berlayar dengan kapal baru milik Yang Gwan Sik.
Ajaran konfusianisme pada Dinasti Joseon berpengaruh besar pada budaya patriarki yang masih mengakar di Korea Selatan. Hal tersebut menempatkan para perempuan sebagai kelompok yang tidak memiliki kedudukan penting dalam sistem sosial. Oh Ae Sun dan Yang Gwan Sik dalam When Lifes Give You Tangerines menjadi karakter yang berani mendobrak budaya patriarki di lingkungan mereka. Kamu sudah nonton dramanya belum, nih?