6 Film dan Drama yang Bahas Horornya Jadi Perempuan di Korea

Seiring dengan penangkapan Pavel Durov, CEO aplikasi pesan Telegram, publik Korea Selatan sedang gencar menyoroti berbagai penyimpangan yang terjadi karena sistem keamanan custom aplikasi tersebut. Salah satunya kejahatan sextortion (pemerasan berbasis konten seksual korban), pedofilia (kejahatan seksual dengan korban anak di bawah umur), sampai sexually explicit deepfakes (konten seksual yang dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan dan mencatut wajah orang tertentu tanpa persetujuan).
Kebanyakan korban dari penyimpangan-penyimpangan ini di Korea masih didominasi perempuan. Ini sejalan dengan kultur patriarki mereka yang masih mengakar kuat. Dengan keyakinan dan tradisi bahwa laki-laki memegang peranan utama dalam sistem keluarga dan masyarakat mereka, tak sedikit perempuan yang dirugikan. Kekerasan berbasis gender sampai ekspektasi standar kecantikan yang tak masuk akal jadi makanan sehari-hari di Negeri Ginseng.
Buat yang belum sadar, isu-isu diskriminasi terhadap perempuan sebenarnya sudah sering disenggol dalam produk-produk budaya mereka. Termasuk film dan drama Korea yang mungkin sudah kamu nikmati berikut ini. Mereka menggambarkan dengan baik!
1. A Killer Paradox (2024)

A Killer Paradox sebenarnya drama kriminal yang didominasi protagonis laki-laki, tetapi kasus-kasus yang mereka angkat banyak membahas perempuan. Mulai dari kekerasan domestik sampai pelecehan seksual di ranah nyata dan digital.
Kejahatan terhadap perempuan yang marak terjadi di Korsel memang bukan nyawa dari drama ini. Namun, 8 episode mereka bisa jadi jembatan untuk memahami fenomena horor yang harus dihadapi perempuan di sana.
2. Mask Girl (2023)

Mengikuti protagonis perempuan yang jelas-jelas jadi korban standar kecantikan tak masuk akal dan patriarki di Korsel, Mask Girl mencoba menggambarkan betapa misoginisnya tatanan masyarakat di sana.
Drakor 7 episode ini mengikuti Kim Mo Mi yang meski beraspirasi jadi idol terhalang penampilan fisiknya yang tergolong tak menarik untuk selera publik Korea. Ia akhirnya menemukan sebuah cara alternatif untuk melampiaskan bakat terpendamnya. Namun, tanpa ia sadari keputusannya bak bola api yang tak terbendung lagi pergerakannya.
3. Save Me (2017—2019)

Save Me mengikuti sekelompok bocah SMA yang tiba-tiba didekati seorang murid yang meminta bantuan. Awalnya tak mengerti, setelah ditelusuri, sang murid perempuan itu adalah korban kezaliman kelompok agamis menyimpang yang suka memanipulasi dan memeras anggotanya. Sebagai perempuan dan anak kedua di keluarganya, si korban harus menghadapi berbagai hambatan dan kekangan.
4. House of Hummingbird (2018)

Situasi serupa dihadapi protagonis utama film indie Korea, House of Hummingbird. Eun Hee (Park Ji Hu) adalah remaja perempuan yang tumbuh besar pada 1990-an. Hidupnya memang lempeng, tetapi dari kisahnya kita bisa mengamati kecenderungan patriarki di Korea Selatan. Salah satunya favoritisme orangtua terhadap anak laki-laki. Bahkan saat sang kakak laki-laki Eun Hee melakukan kekerasan, orangtua mereka tak melakukan apa pun untuk menghukumnya.
5. Taxi Driver (2021—2023)

Seperti A Killer Paradox, drama aksi Taxi Driver sebenarnya tidak fokus pada diskriminasi terhadap perempuan. Namun, dengan mengangkat kasus-kasus kriminal yang pernah dan sedang terjadi di Korsel sebagai referensi, kamu bisa melihat sendiri berbagai tindak kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan di negeri itu. Bahkan salah satu dari protagonis utamanya jadi korbannya.
6. Sympathy for Lady Vengeance (2005)

Disebut sebagai salah satu film balas dendam terbaik dari Asia, juga gambarkan horornya jadi perempuan di Korea. Sympathy for Lady Vengeance dibuka dengan memperkenalkan penonton kepada Lee Geum Ja (Lee Young Ae), perempuan berwajah malaikat yang divonis bersalah atas kasus penculikan dan pembunuhan seorang bocah laki-laki.
Setelah menjalani hukumannya, ia dibebaskan dan pada saat itu kilas balik kasus tersebut diungkap. Geum Ja ternyata bukan pelaku sebenarnya. Tak hanya salah tangkap, ia sendiri adalah korban sextortion si pelaku yang masih berkeliaran bebas.
Kejahatan dan kekerasan terhadap perempuan memang bukan masalah eksklusif Korea Selatan. Namun, menyeruaknya berbagai grup chat rahasia menyimpang di Telegram, ditambah backlash yang diterima para figur publik bila ketahuan mendukung paham feminisme, sepertinya memang ada tekanan lebih yang harus dirasakan perempuan di negeri itu.