7 Isu Kekerasan Seksual yang Dinormalisasi di Drakor Pro Bono, Miris

Drakor Pro Bono dikenal sebagai drama hukum yang membela mereka yang tidak punya suara. Dalam salah satu kasus yang ditayangkan di episode 5-6, drama ini justru menyingkap kenyataan pahit, yakni betapa kekerasan seksual sering diperlakukan sebagai peristiwa biasa.
Melalui kisah Kaya (Jung Hoe Rin) diperlihatkan jelas bagaimana sistem hukum dan cara orang-orang di sekitarnya membicarakan korban. Lewat kasus ini, Pro Bono memperlihatkan bagaimana kekerasan seksual dinormalisasi, bahkan disingkirkan dari pusat cerita penderitaan korban.
Yuk, simak tujuh ulasan lengkap isu kekerasan seksual yang dinormalisasi di drama Korea ini. Apa saja?
1. Kaya dianggap “genit” karena pakaiannya sering terbuka. Pelecehan bukan dilihat kejahatan, justru masyarakat mengaitkannya dengan moralitas korban

2. Pro Bono menunjukkan bagaimana standar berpakaian dipakai untuk membenarkan kekerasan, seakan tubuh perempuan adalah penyebab utama

3. Kaya meminum kontrasepsi darurat karena takut hamil akibat pemerkosaan, tapi hal ini tidak pernah benar-benar diposisikan sebagai inti penderitaannya

4. Hanya karena Kaya dipaksa kembali ke rumah pelaku penculiknya dan hamil karenanya, peristiwa itu dianggap sebagai hubungan yang resmi

5. Padahal, Kaya adalah anak yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Ia dipaksa kembali karena dianggap aib buat keluarga, miris!

6. Pro Bono menampilkan betapa mudahnya penculikan dan pemerkosaan anak dilegalkan lewat dalih izin orang tua dan norma sosial

7. Fakta bahwa korban tidak menceritakan masa lalunya dianggap sebagai kebohongan dalam pernikahan. Padahal, diamnya korban adalah bentuk bertahan hidup

Melalui kasus ini, Pro Bono tidak hanya menceritakan perjuangan hukum, tetapi juga membuka mata tentang bagaimana kekerasan seksual kerap dinormalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kaya terpaksa menceritakan pengalaman traumatisnya ini di sidang, ia mengatakannya dengan sesak dan tangisan tak terbendung. Itu artinya, bahkan untuk membicarakannya saja pun, Kaya sudah merasa tersakiti. Bagaimana ia bisa menceritakan masa lalunya hanya karena ingin menikah?



















