5 Ironi yang Digambarkan di Film The Great Flood

Film The Great Flood memadukan cerita mengenai bencana alam dengan tema fiksi ilmiah alias sci-fi. Ceritanya membahas Gu An Na (Kim Da Mi) yang mencari anaknya yang hilang saat apartemen mereka mulai tenggelam oleh banjir bandang.
Selain menyajikan plot twist yang mind blowing, film orisinal Netflix ini juga membahas beberapa ironi dari penggambaran situasi bencana dan keputusan para tokohnya. Seperti apa ironi yang digambarkan dalam kisah The Great Flood?
1. AI menjadi satu-satunya harapan manusia hidup pascakiamat

AI (artificial intelligence) atau kecerdasan buatan adalah sistem komputer yang dibuat untuk membantu tugas manusia. Namun, di film The Great Flood, AI sudah berkembang sepenuhnya, dapat berpikir independen, dan memiliki tubuh fisik buatan menyerupai manusia yang dibuat di lab.
Dalam film ini, manusia buatan yang berawal dari AI secara ironis bukan lagi menjadi asisten yang membantu, tapi dianggap sebagai satu-satunya harapan bagi keberlangsungan manusia. Bencana banjir besar digambarkan telah menyebabkan bumi hancur. Tim peneliti yang bekerja di lab luar angkasa lalu menciptakan manusia buatan 'sempurna' untuk dikirim kembali dan tinggal di bumi pascabanjir.
2. Manusia buatan diciptakan sementara yang asli dibiarkan mati

Hal yang menjadi ironi lain dari cerita The Great Flood masih berkaitan dengan manusia buatan. Para peneliti dan pihak Darwin Center yang tahu soal prediksi tabrakan asteroid penyebab banjir besar memilih diam lalu fokus pada eksperimen untuk menyempurnakan manusia artifisial yang mereka buat di lab.
Meski tahu potensi bencana, mereka tidak memberitahu publik hingga banjir besar akhirnya datang. Bencana ini memang tak bisa dicegah, tapi ironisnya, mereka jadi membiarkan orang-orang tewas di banyak tempat akibat banjir yang sudah diprediksi sebelum kejadian. Di sisi lain, mereka malah terpaku untuk menciptakan manusia buatan yang sempurna.
3. Penyempurnaan Mesin Emosi dilakukan dengan memakai memori traumatis

Untuk menjadikan manusia buatan jadi sempurna, mereka harus memiliki emosi. Alasannya karena peneliti baru bisa membuat tubuh fisik mirip orang asli, tapi manusa-manusia buatan ini tak memiliki emosi. Karena itu, tim peneliti membutuhkan Gu An Na untuk menyelesaikan eksperimennya yang dinamakan Mesin Emosi.
Situasi yang jadi ironi adalah peneliti menyelesaikan eksperimen ini dengan memanipulasi dan membuat Gu An Na versi AI terjebak dalam memori traumatis. Kenangan penuh trauma yang dimaksud ialah momen saat Gu An Na berjuang menyelamatkan diri dan putranya saat banjir bandang mulai menenggelamkan gedung apartemen mereka.
4. Jiwa keibuan dibangkitkan dengan membuatnya kehilangan anak

Gu An Na sebagai peneliti diberi misi untuk menciptakan "ibu dan anak" pada manusia buatan yang akan dikirim ke bumi. Sosok anak yang dimaksud adalah Shin Ja In (Kwon Eun Seong). Shin Ja In dibuat di lab saat bayi lalu Gu An Na membesarkan anak itu seperti darah daging sendiri.
Selanjutnya, Gu An Na harus membuat manusia buatan merasakan jiwa keibuan. Ia mengajukan diri menjadi subjek eksperimen ini. Namun, yang jadi ironi, untuk membentuk jiwa keibuan yang diinginkan, ia di dunia simulasi ditempatkan sebagai ibu yang terpisah dari anaknya saat bencana banjir besar.
5. Gu An Na dan Shin Ja In hidup kembali setelah berkali-kali tewas di simulasi

Gu An Na asli sudah meninggal akibat terkena pecahan meteor saat proses evakuasi menuju stasiun luar angkasa. Namun, ia meminta agar dijadikan subjek eksperimen dengan cara memorinya diekstrak. Sementara itu, fisik Shin Ja In dibunuh, lalu memorinya diambil untuk bahan eksperimen.
Selama proses eksperimen, Gu An Na dan Shin Ja In versi manusia buatan ditempatkan dalam dunia simulasi di mana banjir bandang terjadi. Gu An Na punya tujuan untuk mencari Shin Ja In yang hilang, tapi ia berkali-kali mati lalu hidup kembali. Saat akhirnya ia menemukan Shin Ja In, keduanya menghadapi tsunami.
Peristiwa Gu An Na dan Shin Ja In tersapu air di dunia simulasi menandakan akhir dari eksperimen. Penelitian ini dinyatakan usai. Dengan kata lain, tewasnya ibu dan anak ini di dunia virtual membuat mereka dihidupkan di dunia nyata. Mereka kemudian diterbangkan menuju bumi bersama manusia buatan lainnya.
The Great Flood bukan sekadar film tentang bencana atau eksperimen manusia artifisial. Film ini juga menyajikan berbagai ironi yang mengajak penonton untuk merenungkan makna dari menjadi manusia, kehidupan itu sendiri, cinta keluarga, hingga kelestarian planet bumi. Bagaimana menurutmu?


















