Konyol. Itu mungkin citra yang sering menempel pada sekelompok orang yang tergabung dalam fandom. Histeris saat melihat sosok idola, walau hanya dalam bentuk foto, dianggap lebay. Bisa jadi yang meremehkan seperti itu belum pernah dalam posisi mengidolakan seseorang.
Stigma sosial meyakini anggota fandom hanya berisi perempuan, mungkin karena akrab dengan istilah fangirling. Padahal, laki-laki juga tergabung dalam fandom. Fandom sendiri merujuk pada sekelompok orang yang menggemari dan memberikan dukungan pada entitas populer seperti selebritas, seniman, atlet, film, buku, anime, klub olahraga, dan masih banyak lagi. Jadi, kalau ada laki-laki yang mengidolakan klub sepakbola dan atau pemainnya bisa dimasukkan ke dalam fandom. Yakin, pasti dia juga akan heboh saat bertemu dengan atlet favoritnya, gak kalah beda dengan histeris di konser KPop.
Banyak yang bilang menjadi bagian dari fandom telah membantu mereka untuk lebih sehat secara mental. Benarkah demikian? Orang di luar fandom menanggapinya dengan sinis, menyangka opini ini hanyalah sebuah pembelaan demi hobi yang dinilai nggak bermanfaat. Penelitian justru mengatakan hal yang berbeda.