Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi wanita (pexels.com/Ron Lach)
ilustrasi wanita (pexels.com/Ron Lach)

Banyak anak muda sekarang terjebak dalam pola pikir bahwa ia harus selalu bekerja keras 24/7, istirahat berarti malas, perlu sukses di usia semuda mungkin. Hal tersebut yang akhirnya membuatmu mati-matian mendorong diri demi mencapai impian.

Sebenarnya bukan hal yang salah menjadi pribadi yang kerja keras, justru bagus karena akhirnya melatihmu untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Yang buruk adalah, ketika kamu terlalu fokus pada ambisi sampai memaksa diri sendiri sampai tahap ekstrem.

Inilah yang dikenal dengan hustle culture. Terlihat baik, tapi diam-diam budaya ini toksik karena membuatmu mudah lelah, frustrasi, dan tidak puas dengan diri sendiri. Untuk lebih jelas, simak tiga poin di bawah.

1.Berpikir tujuan adalah jalan satu-satunya menuju sukses

ilustrasi wanita (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Seseorang yang terjebak hustle culture selalu berpikir bahwa kesuksesan ditentukan oleh tercapai atau tidaknya tujuan dan ambisimu. Tapi coba evaluasi kembali, apa tujuan yang kamu buat sudah cukup realistis?

Kebanyakan, kita termakan standar media sosial. Seperti harus punya dua digit di usia muda, harus menikah di usia tertentu, harus ini dan itu. Standar serupa yang tanpa disadari kamu bebankan juga ke diri sendiri, tanpa mempertimbangkan fakta bahwa semua orang punya proses dan waktunya sendiri-sendiri.

Akhirnya, kamu sendiri yang akan kewalahan. Saat tujuanmu tidak tercapai, atau saat prosesmu berbeda dengan proses orang lain, kamu akan merasa frustrasi dan mengecap diri sendiri sebagai gagal. Padahal hal itu tidak benar.

2.Hustle culture fokus hanya pada hasil akhir, bukan proses

ilustrasi wanita (pexels.com/cottonbro studio)

Siapa, sih, yang tidak mau sukses? Tentu semua orang ingin mencapainya. Entah sukses secara finansial, emosional, bahkan dalam berelasi. Namun yang sering disalahpahami, ketika kamu begitu terobsesi pada tujuan tanpa menikmati prosesnya.

Hal ini tentu berbahaya, karena kamu jadi berani menghalalkan segala cara demi mencapai tujuanmu. Kamu juga menaruh keberhargaan diri di atas tujuanmu. Ketika itu tidak terwujud, kamu langsung meragukan diri, frustrasi, dan merasa tidak cukup.

Untuk apa kamu mencapai kesuksesan, bila kamu tidak menikmati prosesnya? Untuk apa meraih semua ambisimu, kalau kamu tidak bertumbuh?

3.Hustle culture mengukur keberhasilan berdasarkan hal eksternal

ilustrasi wanita (pexels.com/Nataliya Vaitkevich)

Kamu berpikir bahwa keberhasilan terikat dengan hal-hal eksternal seperti berapa mahal barang yang kamu pakai, berapa banyak pengikutmu, berapa nominal gajimu. Meskipun tentu saja hal itu bisa memotivasi, tapi sadarilah bahwa hal tersebut berada di luar kendalimu.

Ketika kamu mengkaitkan keberhargaan diri dengan angka eksternal, mudah bagimu untuk kecewa dan menyerah. Kamu memandang dirimu sebagai kegagalan, yang tentu saja adalah salah.

Hustle culture bisa memimpin pada burnout, ketika kamu terus memaksa diri untuk produktif tanpa memperhatikan kesehatanmu. Coba evaluasi lagi budaya kerjamu, tidak semua hal yang sibuk itu baik. Jangan sampai, kesibukanmu sekarang malah merusak dirimu di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team