Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pemimpin tim
ilustrasi pemimpin tim (pexels.com/fauxels)

Intinya sih...

  • Kritik tanpa konteks membuat karyawan merasa diabaikan dan kesulitan memperbaiki diri.

  • Mengabaikan pendapat karyawan mengurangi rasa dihargai dan memicu ketidakpercayaan diri.

  • Menunda umpan balik membuat hubungan profesional dingin dan minim interaksi bermakna.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam dunia kerja, komunikasi memegang peran penting bukan hanya untuk menyampaikan instruksi, tetapi juga membangun rasa kepercayaan dan dukungan. Sayangnya, tidak semua gaya komunikasi mampu memberikan dampak positif bagi tim. Ada pola komunikasi yang justru membuat karyawan merasa sendirian menghadapi tantangan, meskipun secara teknis pekerjaan berjalan seperti biasa. Hal ini kerap terjadi secara tidak disadari oleh atasan maupun rekan kerja.

Rasa tidak didukung di tempat kerja dapat menurunkan motivasi, produktivitas, bahkan memicu keinginan karyawan untuk meninggalkan perusahaan. Komunikasi yang kurang tepat bukan hanya berdampak pada kualitas kerja, tetapi juga pada iklim psikologis di lingkungan kantor. Oleh karena itu, memahami pola komunikasi yang salah dan menghindarinya menjadi langkah penting agar hubungan kerja tetap sehat dan saling menguatkan.

1. Memberi kritik tanpa konteks yang jelas

ilustrasi menyampaikan kritik (freepik.com/freepik)

Kritik seharusnya membangun, tetapi jika disampaikan tanpa konteks yang jelas, justru terasa seperti serangan pribadi. Karyawan akan kesulitan memahami bagian mana yang perlu diperbaiki dan mengapa hal itu penting. Tanpa penjelasan yang memadai, kritik berubah menjadi sumber frustrasi. Kondisi ini membuat seseorang merasa bahwa pencapaiannya diabaikan, sementara kesalahannya dibesar-besarkan.

Memberi kritik tanpa konteks juga berpotensi memutus komunikasi jangka panjang. Karyawan yang sering menerima kritik seperti ini cenderung menarik diri dan enggan terbuka soal tantangan yang dihadapi. Akibatnya, peluang untuk menemukan solusi bersama menjadi semakin kecil. Hal ini bisa merusak budaya kerja yang seharusnya mengedepankan keterbukaan dan kolaborasi.

2. Mengabaikan pendapat atau masukan

ilustrasi pemimpin (freepik.com/pch.vector)

Ketika pendapat karyawan diabaikan, rasa dihargai akan menurun drastis. Meski tidak semua masukan dapat diimplementasikan, memberi ruang untuk mendengarkan sudah menjadi bentuk dukungan yang penting. Mengabaikan masukan seolah mengirim pesan bahwa kontribusi mereka tidak bernilai. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menurunkan kepercayaan diri dan motivasi untuk berinovasi.

Budaya kerja yang sehat membutuhkan dua arah komunikasi, bukan hanya satu pihak yang berbicara. Saat karyawan merasa suaranya tidak didengar, mereka akan mulai mengambil jarak secara emosional. Situasi ini dapat memicu munculnya sikap pasif dan kurang terlibat dalam proyek. Bahkan, potensi terbaik yang mereka miliki bisa terkubur karena kurangnya ruang berekspresi.

3. Menunda atau tidak memberi umpan balik

ilustrasi dua orang bekerja di kantor (pexels.com/Kindel Media)

Karyawan membutuhkan umpan balik untuk mengetahui apakah langkah yang diambil sudah tepat. Menunda atau tidak memberikan umpan balik membuat mereka bekerja dengan asumsi dan harapan semu. Ketidakjelasan ini dapat menghambat perkembangan keterampilan dan mengurangi rasa percaya diri. Dalam beberapa kasus, hal ini juga dapat memicu kesalahan yang seharusnya bisa dihindari sejak awal.

Ketiadaan umpan balik membuat hubungan profesional menjadi dingin dan minim interaksi bermakna. Karyawan akan merasa terisolasi, seolah bekerja sendirian tanpa arahan yang memadai. Padahal, umpan balik yang tepat waktu mampu meningkatkan kecepatan belajar, menumbuhkan rasa percaya, dan menguatkan hubungan kerja. Tanpa itu semua, rasa kebersamaan dalam tim akan mudah terkikis.

4. Menggunakan nada atau bahasa yang merendahkan

ilustrasi pemimpin tim (pexels.com/fauxels)

Bahasa yang merendahkan, baik secara sadar maupun tidak, dapat meninggalkan luka emosional yang dalam. Kata-kata yang terdengar sarkastis, nada bicara yang meremehkan, atau komentar yang menyinggung martabat akan membuat karyawan kehilangan rasa hormat pada pembicara. Situasi ini bukan hanya merusak hubungan personal, tetapi juga atmosfer kerja secara keseluruhan.

Ketika bahasa merendahkan menjadi kebiasaan, efeknya bisa meluas hingga memengaruhi kepercayaan antaranggota tim. Karyawan mungkin akan memilih diam daripada berkontribusi, karena takut kembali diperlakukan dengan cara yang sama. Lingkungan kerja yang seharusnya mendorong pertumbuhan justru berubah menjadi ruang yang penuh tekanan dan rasa was-was.

5. Tidak menjelaskan alasan di balik keputusan

ilustrasi berbicara dengan atasan (pexels.com/Kampus Production)

Keputusan yang diambil tanpa penjelasan akan memicu rasa bingung dan spekulasi di kalangan karyawan. Mereka mungkin bertanya-tanya apakah keputusan itu adil atau hanya berdasarkan kepentingan pribadi. Tanpa penjelasan, sulit bagi karyawan untuk memahami arah yang ingin dicapai perusahaan. Rasa keterlibatan pun otomatis menurun.

Memberi alasan di balik keputusan bukan sekadar soal transparansi, tetapi juga penghargaan terhadap orang yang terlibat. Karyawan yang memahami latar belakang sebuah keputusan akan lebih mudah beradaptasi dan mendukungnya. Sebaliknya, tanpa penjelasan, mereka bisa merasa seperti hanya menjadi pelaksana tanpa hak untuk mengerti gambaran besar yang sedang dibangun.

Komunikasi yang mendukung tidak hanya soal berbicara, tetapi juga bagaimana membangun rasa aman dan dihargai. Menghindari pola komunikasi yang membuat karyawan merasa sendirian adalah langkah awal menciptakan lingkungan kerja yang sehat. Dengan keterbukaan, empati, dan rasa saling menghormati, hubungan kerja akan berkembang menjadi lebih produktif dan memuaskan bagi semua pihak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team