Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bekerja (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Ketika kamu diberi kepercayaan untuk menduduki suatu jabatan tentu merasa senang dan bangga. Posisi yang tinggi ini gak bisa ditempati oleh sembarang orang. Atasan yang memercayakannya padamu berarti punya penilaian yang positif atas kemampuan kerjamu. Dari segi penghasilan pun tentu menarik.

Gaji pokokmu naik, belum lagi tunjangan dan fasilitas yang tidak diberikan pada staf biasa. Pun umumnya, sekali kamu menjabat bakal seterusnya berpindah-pindah ke jabatan lain. Jarang sekali dirimu diturunkan kembali menjadi staf biasa, kecuali melakukan kesalahan yang fatal.

Akan tetapi, ada kalanya kamu malah perlu mengundurkan diri dari suatu jabatan. Jangan memaksakan diri untuk memegang posisi yang kurang tepat untukmu atau ada kendala lain yang membuatmu gak mampu mengemban tugas dengan baik. Meski terasa berat, enam alasan di bawah ini pantas buatmu melepaskan jabatan.

1. Masalah kesehatan yang serius

ilustrasi sakit (pexels.com/RDNE Stock project)

Selagi sakitmu hanya memerlukan rehat beberapa hari atau pengobatannya cukup rawat jalan, tentu kamu gak perlu sampai mundur dari jabatan. Bagaimanapun juga, jabatan itu diperoleh dengan susah payah. Bukan tiba-tiba dirimu mendapatkannya seakan-akan punya kedekatan dengan pimpinan.

Namun apabila sakitmu memerlukan perawatan yang lebih intensif selama berbulan-bulan dan kamu gak bisa ke kantor, lebih bijak untuk mengundurkan diri. Jangan menunggu pimpinan mencopotmu dari jabatan itu karena pasti terasa lebih menyakitkan buatmu. Seakan-akan kamu hanya dihargai ketika sehat dan dicampakkan setelah sakit.

Padahal, ketidakhadiranmu di kantor dalam waktu yang terlalu lama tentu memengaruhi kinerja karyawan yang lain. Anak buahmu bakal kesulitan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan persetujuan serta arahan darimu. Sebaliknya, dirimu juga gak mungkin asal menyetujui rencana kerja apa pun yang belum sempat dipelajari dengan baik.

Toh, mundur dari jabatan dan disetujui pimpinan bukan berarti kamu gak bekerja lagi. Ini tergantung kebijakan kantormu. Tapi lebih mudah untuk urusan-urusan kantor berjalan dengan lancar apabila posisimu staf biasa. Fokus dulu pada pengobatanmu. Nanti setelah pulih dirimu dapat kembali menunjukkan prestasi dan berkesempatan menduduki jabatan lain.

2. Ketidakmampuan memenuhi target

ilustrasi lelah bekerja (pexels.com/RDNE Stock project)

Target tidak hanya milik bawahanmu. Sebagai pejabat, kamu pun bekerja dengan sejumlah target. Bahkan tanggung jawabmu lebih besar daripada anak buahmu. Walaupun dirimu butuh beradaptasi dengan jabatan baru, tetap lakukan evaluasi atas pencapaian target.

Kalau pencapaianmu terus saja merah, hanya soal waktu buat pimpinan menggantimu. Tinggal kamu ingin menanti pencopotan itu atau mundur dengan lebih terhormat. Jika orientasimu bukan sekadar kepentingan pribadi, mestinya menyerahkan jabatan pada orang lain bukan hal sulit.

Prestasi kerjamu sebagai staf yang amat baik sejauh ini bukan jaminan kerjamu juga pasti mulus setelah menjabat. Ada perbedaan antara bekerja di bawah arahan atasan dengan menjadi atasan serta membawahi sejumlah orang. Kamu gak bisa membebankan masalah tidak tercapainya berbagai target ke pundak anak buah saja. Dirimu sebagai komandan mereka memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar.

3. Perbedaan visi dan misi yang tajam

ilustrasi lelah bekerja (pexels.com/Arina Krasnikova)

Dengan menduduki jabatan tertentu, kamu masuk ke lingkaran yang lebih tinggi di kantor dan hanya berisi beberapa orang. Mungkin mulanya dirimu melihatnya sebagai hal yang jauh lebih mudah ketimbang berada di antara sesama staf yang jumlahnya lebih banyak. Tetapi justru makin tinggi pohon, makin kencang pula anginnya.

Di titik ini kamu baru mengalami rasanya beda visi dan misi dengan sejumlah pejabat lain bahkan pimpinan kalian. Meski dirimu dan para pejabat itu membawahi orang-orang yang berbeda, kalian gak bisa jalan sendiri-sendiri. Selama kalian bekerja di satu kantor seharusnya tak ada perpecahan visi dan misi. 

Ini menimbulkan konflik yang tajam di antara kalian. Makin repot apabila perbedaan visi misi justru terjadi antara dirimu dengan pimpinan tertinggi. Dulu waktu statusmu staf biasa, kamu sekadar menurut pada kemauan pimpinan. Tetapi seiring dirimu menjabat, kamu memiliki idealisme sendiri yang gak klop dengannya.

Jika dirimu mengeyel dengan visi dan misi pribadi jelas tak akan dapat diterima oleh pimpinan. Namun, kamu mengikutinya saja juga merasa tidak mampu serta gak memberimu kepuasan. Apabila dirimu tidak kuat berada di pusaran konflik terkait visi dan misi lebih baik melepaskan jabatanmu demi bisa bekerja dengan lebih tenang.

4. Budaya negatif yang sulit diperbaiki

ilustrasi di kantor (pexels.com/Anna Tarazevich)

Sebagai pejabat, kamu memang seharusnya bisa mengubah budaya negatif tersebut. Akan tetapi, dalam praktiknya boleh jadi sangat sulit. Terlebih jika hanya dirimu pejabat yang tidak menyukai budaya tersebut. Pejabat-pejabat lainnya malah menikmati serta bisa melakukan apa saja guna menekanmu yang punya pandangan berbeda.

Misalnya, budaya bagi-bagi uang suap proyek. Dulu sebagai anak buah, kamu tidak mengetahuinya. Dirimu berpikir proyek-proyek diperoleh lewat jalan yang semestinya. Namun, ternyata gak seperti itu dan uang suapnya dinikmati kalangan atas di kantormu. 

Staf biasa tahunya cuma mengerjakan tugas dan memperoleh gaji serta bonus sesuai ketentuan. Walaupun jumlahnya tak seberapa dibandingkan uang yang kamu bawa pulang sebagai pejabat, dirimu merasa itu lebih bersih. Ketika melawan seluruh pejabat lain yang bahu-membahu dalam keburukan terlampau berisiko, minimal sebagai staf biasa kamu tak ikut menikmati uang suap.

5. Kasus memalukan yang melibatkanmu

ilustrasi stres (pexels.com/Nicola Barts)

Budaya malu dalam konteks yang tepat mesti terus dihidupkan. Bukan malah makin memalukan kelakuanmu sebagai pejabat, makin dirimu tebal muka. Kasus apa pun yang melibatkanmu dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang pejabat yang baik mestinya membuatmu legawa melepaskan jabatan.

Misalnya, dirimu pernah ikut menikmati uang suap seperti dalam poin sebelumnya. Jumlahnya yang jauh lebih besar ketimbang pendapatanmu yang semestinya membuatmu silau. Tapi saat kasus tersebut terkuak atau kamu menyadari kesalahanmu lebih cepat, mempertanggungjawabkannya secara ketentuan saja gak cukup.

Dirimu juga mesti mengundurkan diri sebab sudah berperilaku tak layak. Gak usah menunggu pimpinan menurunkanmu apalagi kamu melawan keputusan tersebut. Mundurlah dengan jiwa kesatria seperti ketika tanpa ragu dirimu ikut menerima uang suap itu.

6. Hendak mengisi jabatan lain

ilustrasi bekerja (pexels.com/Antoni Shkraba)

Di beberapa tempat, merangkap jabatan memang tidak dilarang. Namun, jauh lebih baik untukmu hanya memegang satu jabatan di suatu waktu. Manfaatnya, kamu dapat lebih fokus dalam melaksanakan tugas. Dirimu juga terhindar dari berbagai konflik kepentingan.

Lagi pula, kian banyak orang yang merangkap jabatan kian sedikit kesempatan buat orang lain. Padahal di kantor atau organisasi bukan cuma kamu yang berhak dan layak menjabat. Kalau perlu selain dirimu menjadi contoh dalam mengambil satu jabatan saja, terus usulkan untuk melarang adanya rangkap jabatan.

Bila aspirasimu terwujud, kepuasan kerja semua orang meningkat karena jabatan tidak hanya diduduki oleh orang-orang yang sama. Mereka termotivasi buat lebih berprestasi guna berkesempatan naik jabatan. Walau banyak tawaran untukmu menjabat, pilih satu saja dan mundurlah dari jabatan lama sebelum menerima jabatan baru.

Di situasi seperti di atas, melepaskan jabatan bukan berarti kamu payah. Kebaikannya lebih besar daripada seandainya dirimu berkeras menjabat. Jangan terlalu takut kehilangan jabatan. Jika kamu memang berkompeten pasti suatu saat nanti bisa menduduki jabatan lagi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team