TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Hal yang Harus Dipikirkan Sebelum Lakukan Quiet Quitting

Pahami betul makna bekerja sesuai kewajiban 

Ilustrasi quiet quitting di tempat kerja (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Pekerja milennial saat ini memang dituntut harus serba bisa. Bahkan tak jarang harus melakukan pekerjaan yang jauh dari keahliannya. Demi menjaga kewarasannya, banyak yang memilih bertindak quiet quitting.

Fenomena quiet quitting muncul ketika melihat banyak karyawan yang terkena burn out akibat bertambahnya beban kerja. Mereka juga memilih membatasi ruang geraknya hanya pada pekerjaan yang sesuai dengan kewajibannya. Tak jarang, mereka berani menolak jika diberi pekerjaan selain tanggung jawabnya.

Tak sedikit orang yang setuju dengan tindakan ini. Namun, ada juga yang menganggap negatif jika terus dilakukan. Setidaknya ada lima hal yang perlu dipikirkan sebelum melakukan quiet quitting. Yuk, pahami kelimanya di bawah ini.

1. Diberikan kompensasi ketika lembur 

ilustrasi lembur kerja (pexels.com/cottonbro)

Seseorang yang memilih menjadi quiet quitter atau pelaku quiet quitting taat pada jam kerja. Mereka juga tidak segan-segan menolak jika harus lembur, sekalipun pekerjaannya belum selesai. Tindakan tersebut bisa dibenarkan jika perusahaan tidak memberikan kompensasi lembur kepada karyawannya.

Akan tetapi, lain cerita jika perusahaan menghargai karyawan yang bersedia lembur. Kamu tidak bisa menolak begitu saja, apalagi kalau pekerjaan tersebut harus segera selesai.

Sebelum kamu memutuskan menolak, tidak ada salahnya melihat hal itu. Selama ada imbal balik buat kamu, jangan berpikir untuk menolaknya.

Baca Juga: 5 Alasan Gak Perlu Malu Melakukan Quiet Quitting, Kerja Seperlunya!

2. Ada panggilan penting, tetapi tidak mau menerima panggilan di luar jam kerja

Ilustrasi tidak mengangkat telepon (pexels.com/Ono Kosuki)

Ada beberapa orang yang tidak begitu suka dihubungi untuk suatu pekerjaan ketika jam kerja sudah selesai. Mereka pasti memilih untuk menikmati kegiatan lain di luar jam kerja dan berpikir bahwa hal yang dilakukan sudah tepat untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan kerja dengan pribadi.

Namun, telusuri lagi posisimu saat ini di perusahaan. Jangan-jangan kamu memang sangat dibutuhkan dan harus memutuskan saat itu juga. Kalau memang kondisinya seperti itu, bukan masalah selama tidak keseringan.

3. Asal menolak tugas tambahan, padahal masih bisa didiskusikan lagi

ilustrasi menolak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Wajar jika langsung menolak pekerjaan yang bukan tanggung jawabmu, tapi coba teliti lagi. Perusahaan yang loyal kepada pegawainya akan mempertimbangkan usaha kita. Mereka tidak serta merta langsung memberi tugas tanpa memandang kualitas pegawainya.

Apabila perusahaan sering membebankan banyak tugas tanpa ada imbal balik. Barulah kamu bisa memutuskan untuk bekerja semampunya saja.

4. Tidak memperhatikan kondisi mental lebih dulu 

ilustrasi mempertimbangkan mental health (pexels.com/SHVETS production)

Sebagai seorang pekerja, kondisi mental sangatlah penting, agar tetap bisa nyaman dan senang dalam bekerja. Kamu pun perlu memiliki mental yang sehat. Berada pada kondisi work life balance yang juga terpenuhi.

Bukan berarti memaksakan diri, melainkan memahami kondisimu. Jika pekerjaan yang dilakukan sampai mengganggu kondisi mentalmu, maka tidak masalah untuk menjadi quiet quitter. Namun, beda lagi kalau perusahaan masih memberi libur dan memperhatikan kesehatan karyawannya.

Baca Juga: Perbedaan Fenomena Quiet Quitting dan Quiet Firing, Apa Saja?

Verified Writer

Puspita Diah

Trust your hunches. They're usually based on facts filed away just bellow the conscious level - DR. Joyce Brothers

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya