Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi goals (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Intinya sih...

  • Harapan menggerakkan tindakan yang masuk akal

  • Lingkungan memengaruhi bentuk dan ukuran mimpi

  • Batasan realistis membantu menghindari kekecewaan

Bermimpi sering dipandang sebagai langkah awal untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Banyak yang percaya bahwa impian bisa menjadi bahan bakar semangat, memberi arah dalam hidup, dan menjadi pengingat bahwa ada hal besar yang patut dikejar. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan tentang batasan antara harapan dan kenyataan. Apakah setiap mimpi harus bisa dicapai ataukah mimpi justru akan melukai ketika tidak dibarengi dengan pemahaman yang realistis?

Perdebatan soal idealisme dan realitas sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang memilih mengejar apa pun yang diinginkan, ada juga yang menyesuaikan impian dengan situasi yang mungkin saja terbatas. Maka, penting untuk memahami bahwa tidak semua mimpi harus disangkal hanya karena belum tentu tercapai. Namun, apakah untuk bermimpi kita tetap harus realistis? Berikut lima sudut pandang untuk melihat lebih jernih hubungan antara mimpi dan realitas.

1. Harapan menggerakkan tindakan yang masuk akal

ilustrasi goals (pexels.com/RDNE Stock project)

Ketika seseorang punya mimpi besar, biasanya ia akan terdorong untuk berusaha lebih keras. Namun mimpi yang tidak punya pijakan bisa mengarahkan seseorang ke jalan yang tidak rasional. Misalnya, ingin menjadi musisi internasional tapi tidak pernah latihan rutin, tentu akan membuat impian tersebut tinggal angan. Mimpi butuh arah yang bisa dilalui, bukan sekadar dibayangkan.

Realistis bukan berarti membatasi, tapi mengukur. Seseorang tetap bisa bermimpi setinggi mungkin, asalkan punya langkah-langkah yang logis untuk mendekatinya. Ini membantu membentuk kebiasaan yang sehat dalam proses pencapaian. Dengan kata lain, harapan yang dibingkai dengan kenyataan bisa jadi kombinasi yang kuat untuk bertumbuh.

2. Lingkungan memengaruhi bentuk dan ukuran mimpi

ilustrasi lingkungan pertemanan (pexels.com/Helena Lopes)

Tidak semua orang lahir dalam kondisi yang mendukung mereka untuk punya bermimpi besar. Faktor ekonomi, akses pendidikan, dan tekanan sosial bisa membuat seseorang merasa harus mengukur mimpinya lebih kecil. Maka, penting untuk tidak menghakimi bentuk mimpi orang lain hanya karena terlihat tidak spektakuler. Mimpi bersifat sangat pribadi dan kontekstual.

Dalam hal ini, realistis bukan berarti menyerah, tetapi memahami peta hidup sendiri. Bila seseorang berasal dari lingkungan terbatas, bukan berarti ia tidak boleh bermimpi besar. Hanya saja, rute menuju mimpi itu bisa berbeda dan mungkin lebih panjang. Menerima kondisi itu justru bisa membangun ketahanan diri dan fokus.

3. Batasan realistis membantu menghindari kekecewaan

ilustrasi kecewa (pexels.com/RDNE Stock project)

Seseorang yang terus bermimpi tanpa pernah mempertimbangkan batas diri, bisa mudah terjebak dalam rasa kecewa. Ketika kenyataan tidak sesuai ekspektasi, rasa gagal bisa tumbuh menjadi perasaan yang tidak sehat dan mengganggu harga diri. Terutama di era media sosial yang sering menampilkan kesuksesan instan, standar mimpi pun jadi tidak masuk akal.

Maka dari itu, mengenali batas diri penting agar mimpi tidak berubah menjadi beban. Ini bukan soal menurunkan standar, tapi memahami kapasitas dan waktu. Dengan begitu, seseorang bisa tetap optimis, tapi juga tahu kapan harus menyesuaikan arah tanpa merasa kalah. Mimpi tetap penting, tetapi arah dan tujuan bisa bergeser seiring pemahaman diri berkembang.

4. Realitas tidak harus mematikan imajinasi

ilustrasi imajinasi (pexels.com/Anna Shvets)

Sering kali, anjuran untuk realistis dianggap sama dengan permintaan untuk berhenti bermimpi. Padahal, mimpi tetap bisa hidup berdampingan dengan realitas. Imajinasi justru bisa menjadi jalan untuk menemukan solusi baru dan cara pandang yang segar terhadap masalah hidup. Mimpi yang dipadukan dengan akal sehat bisa menghasilkan inovasi baru yang tak pernah kamu sangka-sangka.

Seseorang bisa realistis dalam pendekatan tapi tetap idealis dalam visi. Ini seperti berjalan dengan kaki menapak tanah tapi mata mengarah ke cakrawala. Dalam prosesnya, akan ada penyesuaian, perubahan strategi, dan bahkan pergeseran target. Namun nilai dari sebuah mimpi tetap ada: membentuk arah dan identitas diri.

5.Value mimpi ditentukan oleh proses, bukan hasil akhir

ilustrasi proses (pexels.com/MART PRODUCTION)

Banyak orang menilai mimpi dari apakah ia tercapai atau tidak. Namun mimpi sebenarnya punya nilai dalam prosesnya. Ketika seseorang punya mimpi, ia cenderung membangun rutinitas, mengambil keputusan lebih hati-hati, dan bertumbuh sebagai pribadi. Semua itu tetap bermakna meskipun impiannya tidak sepenuhnya tercapai.

Realistis membantu seseorang untuk tidak menjadikan hasil akhir sebagai satu-satunya ukuran nilai diri. Bahkan ketika mimpi berubah di tengah jalan, proses yang dijalani tidak sia-sia. Justru di sanalah letak kekuatan dari mimpi yang realistis: ia tidak hanya bicara tentang masa depan, tapi juga memberi makna pada hari ini.

Mimpi tetap penting, tapi memahami batas dan arah, membuatnya lebih sehat untuk dijalani. Realistis bukan musuh dari bermimpi, melainkan alat bantu agar kamu tetap punya pijakan saat menatap langit. Sebenarnya bukan seberapa tinggi mimpi itu, tapi seberapa dalam kamu memahami alasan di baliknya dan langkah untuk mencapainya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team