6 Cara Guru Berperan Aktif Cegah Kekerasan Seksual di Sekolah

- Guru perlu menciptakan lingkungan kelas yang aman dan penuh rasa hormat bagi siswa
- Mengajarkan pendidikan seksualitas yang sesuai usia untuk melindungi siswa dari kekerasan seksual
- Menjadi figur yang dapat dipercaya dan tempat aman untuk bercerita bagi siswa korban kekerasan seksual
Isu kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih menjadi masalah yang kompleks dan sering kali tersembunyi. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi siswa untuk tumbuh dan belajar, terkadang justru menjadi ruang terjadinya pelanggaran yang serius terhadap hak dan martabat anak. Banyak kasus kekerasan seksual terjadi tanpa terdeteksi karena korban takut bicara atau pelaku berasal dari lingkungan yang dekat. Oleh karena itu, guru memiliki peran strategis dalam upaya pencegahan yang sistematis dan berkelanjutan.
Guru bukan hanya pengajar materi, tapi juga penjaga lingkungan belajar yang sehat, aman, dan bebas dari kekerasan. Peran aktif guru dalam pencegahan kekerasan seksual sangat dibutuhkan, terutama dalam menciptakan budaya sekolah yang menghargai hak anak dan membangun relasi yang sehat. Berikut enam cara guru berperan aktif cegah kekerasan seksual di sekolah, dimulai dari langkah paling sederhana hingga strategi berkelanjutan.
1. Menciptakan lingkungan kelas yang aman dan penuh rasa hormat

Langkah pertama yang bisa dilakukan guru adalah membangun suasana kelas yang aman secara psikologis, di mana setiap siswa merasa dihargai dan dilindungi. Lingkungan kelas yang hangat, bebas dari ejekan atau pelecehan, akan membuat siswa lebih nyaman untuk terbuka dan menyampaikan apa yang mereka alami. Guru dapat menetapkan aturan kelas bersama siswa yang menekankan pentingnya saling menghormati, gak menyentuh tanpa izin, dan menjaga batas pribadi.
Penting juga bagi guru untuk peka terhadap perubahan sikap siswa. Misalnya, siswa yang tiba-tiba menjadi pendiam, sering menyendiri, atau mudah marah bisa jadi sedang mengalami sesuatu. Guru yang peka akan lebih cepat mendeteksi sinyal-sinyal tersebut dan bisa bertindak lebih awal. Dengan menciptakan ruang yang aman secara emosional, siswa akan lebih berani bicara jika mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
2. Mengajarkan pendidikan seksualitas yang sesuai usia

Pendidikan seksualitas yang benar, bukan tabu, adalah bagian penting dari pencegahan kekerasan seksual. Guru bisa menyampaikan materi tentang tubuh, batasan pribadi, dan hak atas tubuh sendiri sesuai dengan usia dan perkembangan siswa. Untuk siswa SD, bisa dimulai dari pengenalan bagian tubuh yang gak boleh disentuh orang lain. Sementara di jenjang SMP dan SMA, pendidikan seksualitas bisa mencakup relasi sehat, konsen (persetujuan), dan risiko kekerasan seksual.
Sayangnya, masih banyak guru yang merasa gak nyaman membicarakan topik ini karena dianggap sensitif. Padahal, jika disampaikan dengan pendekatan yang tepat dan edukatif, pendidikan seksualitas akan menjadi tameng yang kuat bagi anak-anak dalam melindungi diri. Siswa akan memahami bahwa mereka berhak menolak sentuhan yang gak nyaman dan tahu harus bicara kepada siapa saat merasa terancam. Guru adalah figur yang tepat untuk menyampaikan informasi ini dengan pendekatan yang aman dan bertanggung jawab.
3. Menjadi figur yang dapat dipercaya dan tempat aman untuk bercerita

Salah satu alasan utama korban kekerasan seksual enggan melapor adalah gak tahu harus bicara kepada siapa atau takut gak dipercaya. Guru bisa menjadi tempat aman bagi siswa dengan membangun hubungan yang suportif dan gak menghakimi. Luangkan waktu untuk mengenal siswa secara personal, dengarkan mereka saat bercerita, dan jangan pernah meremehkan atau menertawakan keluhan yang mereka sampaikan, sekecil apa pun itu.
Guru juga perlu memberikan sinyal bahwa mereka siap membantu. Misalnya, dengan berkata, ‘Kamu bisa cerita ke saya kapan saja kalau ada sesuatu yang membuat kamu gak nyaman.’ Hal-hal kecil seperti ini bisa menumbuhkan rasa percaya yang besar. Saat siswa merasa ada guru yang bisa mereka andalkan, kemungkinan mereka untuk melapor dan mencari pertolongan menjadi jauh lebih tinggi. Peran ini sederhana tapi sangat berdampak dalam pencegahan kekerasan seksual di sekolah.
4. Melibatkan diri dalam kebijakan sekolah tentang perlindungan anak

Pencegahan kekerasan seksual gak cukup dilakukan secara individu, tetapi harus didukung oleh kebijakan sekolah yang kuat. Guru perlu aktif terlibat dalam penyusunan atau penguatan kebijakan anti kekerasan di sekolah. Misalnya, memastikan adanya SOP (standar operasional prosedur) pelaporan kasus, sistem penanganan, hingga pendampingan psikologis bagi korban. Jika sekolah belum memiliki kebijakan tersebut, guru bisa mengusulkan dan memprakarsai inisiatif perubahan.
Keterlibatan guru juga penting dalam memastikan bahwa seluruh warga sekolah memahami kebijakan tersebut, termasuk siswa dan orangtua. Sosialisasi bisa dilakukan melalui poster, sesi pembinaan, atau pertemuan wali murid. Ketika semua pihak mengetahui aturan dan jalur pelaporan yang jelas, maka ruang gerak pelaku menjadi lebih terbatas. Guru memiliki kekuatan kolektif untuk mendorong perubahan sistemik yang menjaga keselamatan semua siswa.
5. Melatih siswa mengenali dan menolak bentuk kekerasan seksual

Salah satu keterampilan penting yang perlu diajarkan kepada siswa adalah kemampuan mengenali tanda-tanda kekerasan seksual dan bagaimana menolaknya. Banyak anak gak sadar bahwa mereka sedang dilecehkan karena pelaku kerap menggunakan manipulasi atau dalih tertentu. Guru bisa melatih siswa melalui roleplay, cerita pendek, atau diskusi kelompok tentang situasi-situasi yang mengandung potensi kekerasan seksual.
Ajarkan kalimat-kalimat sederhana yang bisa digunakan siswa untuk menolak, seperti ‘Jangan sentuh saya!’, ‘Saya gak nyaman’, atau ‘Saya akan lapor guru.’ Latih juga keberanian mereka untuk membantu teman yang menjadi korban, dengan cara yang aman. Semakin terlatih siswa dalam mengenali dan menolak, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi korban. Guru gak harus menakut-nakuti, cukup membekali dengan informasi dan keterampilan yang membangun kepercayaan diri.
6. Bekerja sama dengan orangtua dan pihak luar sekolah

Upaya pencegahan akan lebih kuat jika didukung oleh kolaborasi antara guru, orangtua, dan pihak eksternal seperti LSM atau psikolog. Guru bisa mengadakan kelas parenting atau diskusi kelompok bersama orangtua untuk membahas pentingnya pendidikan seksualitas dan pencegahan kekerasan seksual. Orangtua perlu menyadari bahwa topik ini bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga dimulai dari rumah.
Sekolah juga bisa menjalin kerja sama dengan lembaga perlindungan anak atau konselor profesional untuk mengadakan pelatihan, seminar, atau pendampingan psikologis. Guru bisa menjadi penghubung antara sekolah dan lembaga tersebut jika menemukan kasus yang membutuhkan intervensi lanjutan. Ketika semua pihak bersatu, ekosistem perlindungan terhadap anak akan semakin kuat, dan risiko kekerasan seksual bisa ditekan secara signifikan.
Mencegah kekerasan seksual di sekolah bukan hanya tugas kepala sekolah atau guru BK, tetapi tanggung jawab semua guru sebagai pendidik dan pelindung siswa. Dari menciptakan lingkungan aman, memberikan edukasi seksualitas, hingga membangun hubungan yang penuh kepercayaan, semua bisa dimulai dari ruang kelas masing-masing. Tindakan kecil dan konsisten dari guru akan membentuk budaya sekolah yang menghargai hak anak dan menolak segala bentuk kekerasan.
Lebih dari sekadar mengajar mata pelajaran, guru juga mendidik nilai-nilai perlindungan, keberanian, dan harga diri. Cara guru berperan aktif cegah kekerasan seksual di sekolah perlu disebarluaskan agar tercipta ruang aman yang lebih masif. Dengan membekali siswa pengetahuan, membangun sistem yang responsif, dan menjalin kolaborasi luas, kita bisa mewujudkan sekolah yang benar-benar aman bagi setiap anak. Mari kita jadikan peran guru sebagai pelindung dan penjaga masa depan anak-anak dari segala bentuk kekerasan seksual.