Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Jebakan Karier HRD yang Jarang Dibahas, Wajib Tahu!

ilustrasi perempuan bekerja (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • HRD harus berperan sebagai penengah tanpa ruang netral, memicu stres kronis dan kehilangan identitas profesional.
  • Tekanan untuk selalu tampil positif dapat menumpuk emosi dan memicu burnout lebih cepat, sulit untuk jujur tentang perasaan sendiri.
  • Beban administrasi yang berlebihan bisa hambat pengembangan strategi people management yang efektif, serta membuat HRD kehilangan semangat kerja.

Profesi HRD sering terlihat glamor dari luar, seolah hanya berurusan dengan perekrutan atau training. Padahal, ada banyak dilema dan tekanan psikologis yang tersembunyi di balik meja kerja mereka. Seringkali, tanggung jawab yang besar membuat profesional HRD rentan terhadap burnout yang jarang orang sadari.

HRD juga berada di posisi yang sulit karena harus menyeimbangkan kepentingan perusahaan dan karyawan. Ketika konflik muncul, HRD sering jadi "penengah" yang menerima beban mental paling berat. Biar kamu lebih paham realitasnya, yuk, simak lima jebakan karier HRD yang jarang dibahas ini.

1. Jadi penengah yang gak punya ruang netral

ilustrasi mengobrol dengan rekan kerja (freepik.com/yanalya)

Sebagai HRD, kamu dituntut untuk berpihak pada kebijakan perusahaan, tapi juga harus menjaga kepercayaan karyawan. Kondisi ini sering membuat posisi HRD terasa serba salah, terutama saat ada konflik besar. Banyak HRD merasa emosinya terkuras karena selalu jadi orang pertama yang harus memediasi masalah.

Peran sebagai penengah ini bisa memicu stres kronis jika tidak dikelola dengan baik. Kamu bukan hanya sekadar mendengar keluhan, tapi juga menanggung beban psikologis dari kedua pihak. Dalam jangka panjang, ini bisa membuatmu merasa kehilangan identitas profesional karena terus terjepit di antara dua kepentingan.

2. Tekanan untuk selalu positif di depan karyawan

ilustrasi mengobrol dengan rekan kerja (freepik.com/freepik)

HRD sering dipandang sebagai representasi perusahaan, sehingga dituntut selalu tampil profesional dan tenang. Bahkan saat ada kebijakan yang sulit atau tidak populer, kamu tetap harus menjelaskannya dengan wajah ramah. Ini bisa menjadi jebakan yang melelahkan secara emosional.

Kamu mungkin merasa gak punya ruang untuk jujur tentang perasaan sendiri. Semua emosi harus ditekan demi menjaga citra profesional. Akibatnya, rasa lelah emosional menumpuk dan bisa memicu burnout lebih cepat daripada yang diperkirakan.

3. Beban administrasi yang bikin energi habis

ilustrasi perempuan membaca dokumen (freepik.com/KamranAydinov)

Banyak yang mengira pekerjaan HRD hanya berurusan dengan orang. Nyatanya, beban administratif seperti penggajian, kontrak kerja, hingga laporan rutin bisa memakan waktu lebih banyak daripada interaksi dengan karyawan. Ini bisa jadi jebakan karier karena fokus utamanya teralihkan.

Ketika terlalu sibuk mengurus dokumen, HRD jadi kehilangan kesempatan untuk mengembangkan strategi people management yang lebih efektif. Padahal, peran HRD seharusnya juga mencakup pengembangan budaya kerja yang sehat. Beban administrasi yang berlebihan bisa bikin potensi HRD terhambat dan malah membuatnya kehilangan semangat kerja.

4. Dilema etika yang sulit dihindari

ilustrasi berdiskusi dengan rekan kerja (freepik.com/freepik)

Masalah etika HRD adalah topik yang jarang dibicarakan secara terbuka. Misalnya, kamu harus mengikuti kebijakan perusahaan walau dalam hati merasa aturan itu tidak adil bagi karyawan. Dilema seperti ini bisa menimbulkan konflik batin yang berat.

Dalam kondisi tertentu, HRD bahkan bisa menjadi pihak yang disalahkan karena dianggap berpihak pada manajemen. Padahal, mereka hanya menjalankan tugas sesuai prosedur. Jika terus terjebak dalam dilema etika, profesional HRD bisa merasa kehilangan empati dan idealisme.

5. Rentan mengalami burnout karena beban mental berlapis

ilustrasi laki-laki burnout (freepik.com/prostooleh)
ilustrasi laki-laki burnout (freepik.com/prostooleh)

Banyak orang lupa bahwa HRD juga manusia yang punya emosi. Mendengar keluhan, menangani konflik, dan mengelola ekspektasi manajemen setiap hari bisa membuat mental mereka cepat terkuras. Burnout HRD adalah masalah nyata yang sering diabaikan perusahaan.

Burnout ini sering tidak terlihat karena HRD harus selalu tampak “kuat” di depan orang lain. Mereka jarang mendapat ruang aman untuk curhat atau mendapatkan dukungan emosional. Kalau dibiarkan, kondisi ini bisa mengganggu kinerja dan bahkan kesehatan mental secara serius.

HRD bukan sekadar penjaga aturan, tapi juga jembatan yang memastikan manusia di perusahaan tetap terhubung satu sama lain. Jika jebakan-jebakan karier ini dibiarkan, kualitas kerja dan kesehatan mental HRD bisa hancur. Yuk, mulai lebih peka dengan tantangan yang mereka hadapi dan ciptakan budaya kerja yang mendukung semua pihak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us