5 Hambatan Komunikasi Terbuka antara Atasan dengan Bawahan

Adanya prinsip asal bos senang bisa membahayakan

Komunikasi terbuka berarti orang-orang yang terlibat dalam suatu urusan dapat leluasa membicarakan ide, pendapat, dan masalahnya. Tidak ada perasaan takut-takut yang berujung pada menutupi hal-hal yang seharusnya disampaikan dengan gamblang. Dalam organisasi, komunikasi terbuka penting sekali untuk diterapkan serta menjadi kunci berhasil atau tidaknya rencana kerja.

Tanpa komunikasi terbuka, kepuasan setiap orang terhadap pekerjaannya serta interaksinya dengan rekan-rekan juga menjadi rendah. Dalam situasi kerja bareng, jangan sampai banyak hal dipendam. Membicarakan hal-hal penting dengan tujuan berbagi informasi, mencari solusi, atau mencegah kejadian yang tidak diinginkan mesti dilakukan.

Baik atasan maupun bawahan kudu sama-sama membiasakan komunikasi terbuka. Jika komunikasi terbuka hanya berasal dari salah satu pihak, hasilnya juga kurang baik. Tapi dalam usaha membudayakan gaya komunikasi ini memang ada hambatannya. Lima hambatan komunikasi terbuka antara atasan dengan bawahan berikut ini harus disingkirkan agar suasana bekerja lebih nyaman.

1. Takut dianggap kurang berkompeten

5 Hambatan Komunikasi Terbuka antara Atasan dengan Bawahanilustrasi suasana kerja (pexels.com/RDNE Stock project)

Dengan komunikasi terbuka, setiap orang di kantor hendaknya tidak menutupi kesulitan yang dialami saat mengerjakan tugas. Dengan begitu, rekannya bisa segera membantu. Akan tetapi, tak jarang baik bawahan maupun atasan sama-sama malu untuk mengakui ketidaktahuannya. 

Bawahan yang mestinya berhak atas arahan atasannya pun dapat merasa takut. Kalau-kalau menyampaikan kendalanya dalam menangani tugas bakal bikin atasan menilai kompetensinya kurang. Ia khawatir akan kehilangan posisi dan digantikan oleh orang lain yang memahami tugas dengan lebih baik.

Jika anak buah saja ragu buat menyampaikan masalah dalam pekerjaannya, apalagi atasan. Dia dipandang sebagai orang yang lebih pintar serta berpengalaman dibandingkan semua bawahannya. Padahal, atasan bisa saja kurang memahami apa yang terjadi di lapangan.

Terlebih ketika ia baru menduduki posisi tersebut. Seharusnya dia perlu bertanya pada anak buahnya yang menangani langsung bagian tersebut. Tapi harga dirinya dapat jatuh apabila bawahannya menjadi mentertawakannya di belakang. Jangan-jangan habis ini semua anak buah meragukan kemampuannya dan gak mau patuh pada instruksinya.

Baca Juga: 5 Tips Ampuh Melawan Rasa Kantuk dan Malas Saat Work From Home

2. Bawahan berprinsip asal atasan senang

5 Hambatan Komunikasi Terbuka antara Atasan dengan Bawahanilustrasi menghadap atasan (pexels.com/RDNE Stock project)

Berusaha menyenangkan atasan bukannya tidak boleh. Kalau atasan senang tentu suasana kerja juga bakal lebih nyaman bahkan bawahan dapat memperoleh bonus. Akan tetapi, pastikan usaha bawahan guna menggembirakan atasannya tepat.

Bukan dengan sekadar menutupi berbagai masalah di lapangan. Jika persoalan-persoalan serius tidak segera dibicarakan dengan atasan justru membahayakan kantor. Jangan pernah membuat laporan yang baik-baik saja demi menghindari kemarahan atasan.

Ia harus tahu kondisi yang sebenarnya. Atasan yang baik juga mesti siap mendengar kabar buruk, bukan cuma kabar yang menyenangkan. Telah menjadi tanggung jawabnya untuk memikirkan solusi dari berbagai masalah itu jika bawahan tidak mampu menanganinya. Lebih baik atasan tahu secepatnya ketimbang terlambat.

3. Atasan selalu berpikir bawahannya tidak perlu tahu

5 Hambatan Komunikasi Terbuka antara Atasan dengan Bawahanilustrasi suasana kerja (pexels.com/Kampus Production)

Terkadang atasan melakukan ini semata-mata untuk menjaga suasana kantor tetap kondusif. Dia tidak ingin anak buahnya panik jika ia menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai harapan. Namun, sikap atasan ini sama buruknya dengan prinsip bawahan pada poin sebelumnya, yaitu asal atasan senang.

Cepat atau lambat anak buah harus tahu keadaan yang sebenarnya. Bahkan bila situasinya berpotensi membahayakan mereka seperti bayang-bayang PHK. Pada titik tertentu, atasan memang boleh menahan dulu kabar buruk dengan harapan dapat teratasi sebelum sampai ke telinga anak buahnya.

Namun, hindari terus menutupi realitas yang bikin bawahan tidak mempersiapkan diri buat menghadapinya. Bahkan staf yang brilian bisa saja membantu atasan mengatasi persoalan tersebut. Sikap atasan yang terlalu tertutup meski ditujukan untuk melindungi bawahan dari kepanikan akhirnya malah berakibat lebih buruk.

4. Atasan jarang berada di kantor

5 Hambatan Komunikasi Terbuka antara Atasan dengan Bawahanilustrasi suasana kerja (pexels.com/MART PRODUCTION)

Makin tinggi jabatan tentu makin padat pula kesibukannya. Ketika bawahannya mengerjakan tugas dari kantor sepanjang hari, atasan mungkin harus bertemu dengan banyak kolega di luar. Atasan juga bisa memilih untuk lebih sering bekerja dari berbagai tempat.

Lain dengan bawahannya yang mesti tunduk pada aturan kantor. Akan tetapi, jarangnya atasan berada di kantor cenderung membuat komunikasi dengan anak buahnya gak berjalan lancar. Jangan berpikir kemajuan teknologi selalu bisa menjembatani perkara komunikasi ini.

Untuk bawahan dapat berbicara secara terbuka tanpa rasa sungkan yang berlebihan, mesti ada kedekatan fisik serta emosional antara atasan dengan mereka. Bila keduanya jarang bertemu, biasanya bawahan cuma membicarakan hal-hal yang di permukaan. Atasan juga tak dapat mengeceknya secara langsung sehingga masalah baru terungkap setelah kondisinya begitu parah.

5. Karakter atasan serta bawahan

5 Hambatan Komunikasi Terbuka antara Atasan dengan Bawahanilustrasi suasana kerja (pexels.com/Ahmed ツ)

Masalah komunikasi tidak bisa dipisahkan dari karakter orang-orang yang terlibat. Waspadai kalau atasan dan bawahan sama-sama pemalu serta irit bicara. Ini menjadi penyebab komunikasi tidak lancar. Percakapan selalu hanya pendek-pendek dan tak menggambarkan keadaan yang asli.

Atau, atasan banyak bicara tetapi suka mengintimidasi anak buahnya. Karakter ini tentu membuat bawahan berada dalam tekanan. Mereka kehilangan keberanian untuk berbicara dengan apa adanya. Jika karakter bawahannya pemalu atau penakut, idealnya atasan mampu membangun kedekatan dengan mereka dan menenangkan.

Dengan demikian, mereka lebih terdorong untuk menyampaikan berbagai permasalahan atau gagasan. Sedang atasan yang masih menjadikan bawahannya sebagai sasaran untuk ditekan dengan dalih agar kinerjanya lebih baik harus mengubah strateginya. Supaya komunikasi terbuka dapat terbentuk di kantor, psikis mereka mesti lebih dilonggarkan dari berbagai teror.

Adanya hambatan komunikasi terbuka antara atasan dengan bawahan tentu membuat kinerja maupun suasana bekerja jadi tidak nyaman. Padahal, komunikasi terbuka menggambarkan transparansi dalam suatu hubungan. Penting untuk atasan maupun bawahan membiasakan gaya komunikasi ini demi hasil kerja yang lebih baik, kepuasan pribadi, serta hubungan yang lebih dekat di antara mereka. Gaya komunikasi yang sebaliknya alias tertutup hanya akan memicu kesalahpahaman dan menghambat kemajuan kerja tim sehingga mesti dihindari.

Baca Juga: 5 Konsekuensi Jika Terlalu Dekat dengan Atasan, Terus Diandalkan!

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Penulis fiksi maupun nonfiksi. Lebih suka menjadi pengamat dan pendengar. Semoga apa-apa yang ditulis bisa memberi manfaat untuk pembaca. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Debby Utomo

Berita Terkini Lainnya