Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Risiko Fatal ketika Lingkungan Kerja Enggan Melakukan Evaluasi

ilustrasi lingkungan banyak tuntutan (pexels.com/Ivan Samkov)
ilustrasi lingkungan banyak tuntutan (pexels.com/Ivan Samkov)

Evaluasi harus dilakukan oleh semua kalangan. Tidak hanya dari individu saja, namun juga menyangkut lembaga atau organisasi. Namun demikian, masih terdapat lingkungan kerja yang enggan melakukan evaluasi. Mereka memilih tutup mata atas kekurangan yang dimiliki.

Apakah lingkungan kerja seperti ini akan berjalan mulus? Pada faktanya, enggan melakukan evaluasi merupakan kecerobohan fatal dari lembaga atau organisasi. Jika tidak kunjung ada kesadaran berbenah, sejumlah risiko buruk akan dihadapi. Apa saja itu? Simak artikel ini lebih lanjut.

1. Penurunan kualitas kerja secara drastis

ilustrasi terjebak toxic productivity (pexels.com/Karolina Grabowska)
ilustrasi terjebak toxic productivity (pexels.com/Karolina Grabowska)

Lingkungan kerja yang ideal salah satunya memiliki budaya evaluasi. Di samping mengakui kekurangan, juga bersedia melakukan perbaikan. Tapi realita yang terjadi, beberapa lingkungan kerja justru enggan melakukan evaluasi. Bahkan menganggap ini sebagai persoalan sederhana.

Sudah saatnya kita membuka mata atas risiko terburuk yang bisa saja terjadi. Penurunan kualitas kerja terjadi secara drastis. Tanpa evaluasi yang teratur, persoalan rumit akan terjadi secara berkelanjutan. Hal ini dapat mempengaruhi fokus dan konsentrasi.

2. Banyak tujuan bersama berakhir mangkrak

ilustrasi membawa banyak berkas (pexels.com/MART PRODUCTION)
ilustrasi membawa banyak berkas (pexels.com/MART PRODUCTION)

Lingkungan kerja selalu memiliki visi-misi bersama yang ingin dicapai. Baik visi-misi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk meraih keberhasilan secara menyeluruh, evaluasi memegang peranan penting dan harus dilakukan secara berkala.

Terdapat risiko buruk ketika lingkungan kerja tidak bersedia melakukan evaluasi. Tanpa disadari, visi-misi bersama banyak yang berakhir mangkrak. Kekurangan-kekurangan kecil yang seharusnya bisa diminimalisir justru berkembang menjadi hambatan utama.

3. Pola kerja tidak lagi efektif dan efisien

ilustrasi lingkungan kerja toksik (pexels.com/RDNE Stock Project)
ilustrasi lingkungan kerja toksik (pexels.com/RDNE Stock Project)

Banyak hal yang perlu diperhatikan dari lingkungan kerja. Termasuk sikap sedia melakukan evaluasi jika diperlukan. Baik evaluasi dalam skala kecil, maupun merombak visi-misi secara total agar relevan dengan tujuan baru.

Tapi yang mengherankan, justru terdapat lingkungan kerja yang tidak bersedia melakukan evaluasi. Cepat atau lambat, pola kerja tidak lagi efektif dan efisien. Terjadi tumpang tindih tanggung jawab yang membuat kinerja tidak bisa optimal.

4. Budaya kerja toksik akan mengambil kendali

ilustrasi lingkungan toxic (pexels.com/Yan Krukov)
ilustrasi lingkungan toxic (pexels.com/Yan Krukov)

Tanpa perlu dijelaskan lebih jauh, tentu kita sudah paham dengan budaya kerja toksik. Sikap saling menjatuhkan demi ambisi, maupun lempar kesalahan sudah dianggap wajar. Orang-orang di dalamnya menormalisasi budaya kerja yang merugikan satu sama lain.

Di sinilah risiko ketika lingkungan kerja enggan melakukan evaluasi. Cepat atau lambat, budaya kerja toksik akan mengambil kendali. Lingkungan kerja tidak lagi memiliki fokus meraih tujuan bersama. Namun, antar individu bersaing demi ambisi pribadi.

5. Keputusan manajemen yang tidak tepat

ilustrasi menghadapi konflik (pexels.com/Yang Krukau)
ilustrasi menghadapi konflik (pexels.com/Yang Krukau)

Evaluasi memang menjadi syarat mutlak jika ingin maju dan berkembang. Hal ini juga berlaku dalam lingkungan kerja. Suatu lembaga atau organisasi bersedia mencari tahu sisi kekurangan, untuk selanjutnya melakukan perbaikan dengan totalitas.

Namun, apa yang terjadi ketika lingkungan kerja cenderung meremehkan evaluasi? Di sinilah risiko buruk muncul. Keputusan manajemen yang dibuat sering tidak tepat. Tanpa evaluasi, keputusan seringkali didasarkan pada asumsi atau informasi yang tidak akurat.

6. Kesulitan mengukur kinerja lembaga atau organisasi

ilustrasi presentasi (pexels.com/Alena Darmel)
ilustrasi presentasi (pexels.com/Alena Darmel)

Setiap lingkungan kerja tentu mendambakan pencapaian yang lebih baik dari waktu ke waktu. Tapi semua kembali lagi pada evaluasi yang dilakukan. Apakah mampu mencari tahu sisi kekurangan dan memperbaiki. Atau malah menganggap remeh tentang upaya evaluasi.

Apa yang terjadi ketika lembaga atau organisasi tidak bersedia melakukan evaluasi? Salah satunya kesulitan mengukur kinerja. Tanpa evaluasi secara sistematis, sulit menilai efektivitas suatu program yang dijalankan. Pada akhirnya, tolok ukur yang diciptakan untuk keberhasilan tidak relevan.

7. Membentuk lingkungan kerja yang stagnan

ilustrasi perselisihan dunia kerja (pexels.com/Antoni Shkraba)
ilustrasi perselisihan dunia kerja (pexels.com/Antoni Shkraba)

Setiap lingkungan kerja tentu mendambakan kemajuan dalam waktu berkelanjutan. Visi-misi banyak yang tercapai secara optimal. Tapi fakta penting yang harus diketahui, kemajuan tidak bisa dipisahkan dari evaluasi.

Ketika lembaga atau organisasi tidak menyadari hal tersebut, tentu akan berubah menjadi lingkungan yang stagnan. Rencana dan strategi yang diterapkan tidak membawa hasil nyata. Alih-alih mengalami kemajuan, justru berjalan di tempat. Atau yang lebih buruk mengalami kemunduran.

Lingkungan kerja seharusnya  membudayakan evaluasi. Karena ini tonggak utama dari keberhasilan dalam jangka panjang. Jika lembaga atau organisasi memilih tutup mata atas hal tersebut, sejumlah risiko buruk akan muncul. Ini dapat menghambat kemampuan organisasi untuk beradaptasi dan berkembang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us