Upaya Work Life Balance ala Millennial dan Gen Z, Layak Ditiru!

Milenial dan gen Z saat ini masuk ke dalam golongan usia produktif. Generasi milenial sedang mendominasi dunia kerja, karena lebih berpengalaman. Sementara itu, generasi Z sebagai penerus mulai ikut mengambil peran. Kedua generasi ini merupakan calon pemimpin masa depan di semua industri perushaan.
Namun, Ron Cullimore menjelaskan dalam artikelnya di situs Manila Recruitment, milenial dan gen Z memiliki tekanan lebih besar yang membuat mereka rentan stres dan burnout. Adapun penyebabnya datang dari pengaruh politik, sosial, dan digital. Mereka mudah merasa jenuh saat dihadapkan dengan pekerjaan yang tidak menguntungkan.
Menanggapi isu itu, Evi C Waworuntu, Sandra J. R. Kainde, dan Deske W Mandagi dari Universitas Klabat merilis penelitian di laman jurnal akses terbuka, Society, pada Desember 2022. Dalam jurnal tersebut, ditemukan bahwa kepuasan kerja dan work life balance berpengaruh positif terhadap kinerja milenial dan gen Z. Bahkan, hasilnya cukup signifikan.
Istilah work life balance memiliki makna keseimbangan yang baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, sehingga tercapai kesejahteraan. Tentu hal itu menjadi dambaan tiap orang, mengingat ada hobi dan kehidupan sosial yang layak dinikmati. Milenial dan gen Z pun punya cara tersendiri untuk mencapai work life balance.
1. Perlunya menemukan pekerjaan yang cocok bagi milenial dan gen Z
Saat mengulik upaya work life balance, tantangan paling besar kerap datang dari pekerjaan yang bermasalah. Mencomot data dari jurnal yang sama, sekitar 24 persen karyawan milenial dan 40 persen karyawan gen Z dilaporkan ingin meninggalkan pekerjaan dalam kurun waktu dua tahun. Lagi dan lagi, kelelahan dan ketidakpuasan kerja disebut sebagai penyebab utamanya.
Menemukan pekerjaan yang cocok sangat penting bagi milenial dan gen Z. Mereka menyukai pekerjaan yang memberi pengaruh pada kelangsungan karier, selaras dengan nilai-nilai pribadi, lingkungan kerja yang sehat, dukungan emosional, serta fleksibilitas waktu dan tempat kerja. Kompensasi dan tunjangan juga termasuk pertimbangan penting meski bukan yang utama.
Skill mumpuni jadi aset berharga dalam mencari pekerjaan yang cocok. Milenial dan gen Z akan lebih andal mengerjakan tugas yang sesuai dengan kepiawaian mereka. Ketika menemukan pekerjaan yang cocok, beban yang ditanggung tidak akan terlalu berat. Hal ini juga berpengaruh besar pada produktivitas sehingga lebih mudah mengatur work life balance.
2. Tujuan karier menjadi perhatian khusus dalam mengatur skala prioritas
Masih merujuk tulisan Evi C Waworuntu dan kawan-kawan, gen Z dikatakan bersifat lebih idealis. Generasi kelahiran antara tahun 1997—2012 tersebut cenderung memilih menekuni pekerjaan yang bermakna sebagai bentuk motivasi diri. Mereka punya perhatian khusus terhadap nilai-nilai pribadi dan tujuan karier yang tinggi.
Meski tak sepenuhnya sama, laman Manila Recruitment sendiri menyebut baik milenial maupun gen Z sama-sama fokus pada karier, diri sendiri, dan keluarga. Pikiran mereka terbentuk untuk menjadi profesional demi mencapai tujuan yang realistis. Masalahnya, tak sedikit dari mereka yang masih kebingungan menentukan arah dan pilihan.
Akan tetapi, sifat realistis membuat milenial dan gen Z cepat sadar untuk menentukan tujuan. Tujuan karier yang jelas akan memudahkan mereka dalam mengantur skala prioritas. Mulai dari mencatat aktivitas, memilah hal-hal penting dan mendesak, lalu mengurutkannya secara seitematis. Dengan cara tersebut, aktivitas mereka akan lebih terorganisir.
3. Milenial dan gen Z jeli dalam menerapkan manajemen waktu
Milenial dan gen Z tumbuh dengan dorongan kuat untuk merasa diterima, penyesuaian diri, percaya diri, dan tentunya mengejar kesuksesan. Alasan itu kemudian melatarbelakangi mereka untuk memiliki waktu kerja yang fleksibel dengan dukungan emosional yang kuat. Fokus mereka akan terganggu jika terlalu lama menghabiskan waktu di tempat kerja.
Hal ini dijelaskan pula dalam laman Deloitte, bahwa milenial dan gen Z sangat memperhatikan fleksibilitas kapan dan di mana mereka bekerja. Kerja remote pun lebih disukai. Artinya, mereka cukup jeli menerapkan manajemen waktu. Di antaranya dengan membuat to-do list, menentukan batasan, menghindari multitasking dan distraksi yang menganggu.
Pola work-life pada dasarnya berputar dan saling terikat satu sama lain. Jika pekerjaan lancar, milenial dan gen Z bisa menikmati kehidupan pribadi dengan tenang. Begitu pula sebaliknya, jika kehidupan pribadi aman, maka bisa lebih fokus menyelesaikan pekerjaan. Efektivitas Manajemen waktu berperan menyeimbangkan keduanya.
4. Me time dan waktu dengan keluarga jadi motivasi utama
Masih merujuk laman Manila Recruitment yang memberi pemaparan tentang cara menghindari burnout. Salah satunya adalah dengan mengurangi penggunaan media sosial lantaran dapat memicu efek psikologis negatif yang dapat merugikan kesehatan mental. Tidak dapat dimungkiri, milenial dan gen Z tumbuh beriringan dengan pesatnya perkembangan teknologi.
Di samping itu, dukungan dari lingkungan dan keluarga berperan aktif dalam menguatkan emosional milenial dan gen Z. Mereka membutuhkan me time dan waktu dengan keluarga sebagai bentuk motivasi. Menekuni minat pribadi dan hobi sangat disarankan oleh seorang pelatih kehidupan di Massachusetts, Lynn Toomey, seperti yang dilansir dari laman Oregon Public Broadcasting.
Lebih lanjut, work life balance berarti memberi ruang untuk membangun kehidupan sosial. Bukan sebuah keegoisan apabila milenial dan ben Z ingin meluangkan waktu untuk orang-orang terdekat, khususnya keluarga. Mereka perlu rehat untuk melakukan kegiatan-kegiatan pribadi demi mengurangi stres seusai bekerja.
5. Kesehatan fisik dan mental jadi penunjang produktivitas milenial dan Gen Z
Ada sejumlah citra negatif yang melekat pada generasi milenial dan generasi Z. Perspektif kebanyakan masayarakat menganggap mereka sebagai generasi pemalas, cuek, ambisius, bahkan dicap manja. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata yang berbeda, milenial dan gen z sebenarnya sangat jeli dalam memenuhi kebutuhan diri.
Walaupun adakalanya dianggap egois, milenial dan gen Z nyatanya lebih aware terhadap kesehatan fisik dan mental. Lebih khsusus, mental menjadi prioritas nomor satu bagi mereka. Data survei dari Randstad pun membuktikan bahwa milenial dan gen Z enggan melakoni pekerjaan yang tidak membuat mereka bahagia.
Kesehatan pada dasarnya jadi modal utama untuk melakukan berbagai aktivitas. Fisik dan mental harus siap saat bekerja, saat quality time bersama keluarga, saat berolahraga, ataupun saat bersama teman-teman. Dengan kondisi yang prima, milenial dan gen Z bisa lebih fokus dan produktif.
Dalam upaya mencapai Work life balance, milenial dan gen Z pandai memilah apa yang mereka sukai, apa yang mereka butuhkan, dan apa yang cocok dengan nilai diri mereka. Selain itu, dua generasi ini mampu memanfaatkan era digital sebagai pondasi untuk kelangsungan karier masa depan.