Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi menumpuk barang (pixabay.com/Mediamodifier)

Tanpa disadari terkadang kita memiliki kebiasaan menumpuk barang-barang yang sebenarnya sudah tidak berguna di rumah. Alasanya karena barang tersebut sayang untuk dibuang atau masih ada kemungkinan untuk digunakan kembali. Akibatnya rumah terasa sempit oleh barang, berantakan dan terasa tak nyaman untuk ditinggali.

Padahal, lingkungan yang rapi dan minimalis bisa memberikan efek positif bagi kesehatan mental hingga meningkatkan produktivitas. Jika kamu ingin menghilangkan kebiasaan menumpuk barang tak berguna di rumah, maka artikel ini adalah bacaan yang tepat untukmu.

Berikut adalah lima cara hilangkan kebiasaan menumpuk barang bekas di rumah. Yuk, baca dulu sebelum praktik!

1. Tahan diri untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan

Ilustrasi berbelanja (pixabay.com/gonghuimin468)

Kebiasaan menumpuk barang tak berguna biasanya disebabkan oleh perilaku belanja yang impulsif, yaitu membeli sesuatu tanpa perencanaan yang matang dan tanpa manfaat yang jelas. Misalnya, membeli barang karena dinilai lucu atau karena sedang ada diskon, bukan karena membutuhkan barang tersebut. Akibatnya barang yang dibeli akhirnya tidak terpakai dan menumpuk di rumah, selain itu pengeluaran pun membengkak.

Agar tidak melakukan pembelian impulsif, buatlah daftar barang yang akan dibeli sebelum berbelanja dan komitmen untuk mengikuti daftar yang dibuat tersebut. Sebelum membeli barang yang diinginkan, pastikan barang tersebut benar-benar dibutuhkan dan memberi manfaat dalam kehidupanmu.

Dengan lebih sadar dan selektif dalam berbelanja, kita tidak hanya menghemat uang, tetapi juga menjaga rumah tetap rapi dan bebas dari barang-barang tak berguna.

2. Rutin menyortir barang yang tak dibutuhkan

ilustrasi buku bekas (pixabay.com/Adolesco)

Sisihkan waktu untuk melakukan sortir barang secara berkala, baik mingguan, bulanan atau setiap pergantian musim. Evaluasi setiap barang yang dimiliki, apakah masih dibutuhkan, masih layak, atau sudah tidak relevan dengan kebutuhan saat ini. Kamu bisa membuang barang-barang yang dinilai sudah tak berguna dan mendonasikan pada orang lain yang membutuhkan untuk barang-barang yang masih layak dipakai.

Menyingkirkan barang yang tidak lagi berguna juga memberi ruang bagi barang yang benar-benar dibutuhkan dan digunakan. Proses ini mencegah rumah dipenuhi barang-barang lama yang hanya memenuhi ruang dan menciptakan kesan semrawut.

Selain menciptakan suasana rumah yang lebih lapang dan nyaman, kebiasaan ini juga melatih kita untuk lebih sadar dalam memiliki dan menjaga barang. Dengan begitu, rumah tidak hanya menjadi tempat tinggal, tapi juga menjadi ruang hidup yang lebih teratur, ringan, dan menenangkan secara emosional.

3. Batasi tempat penyimpanan barang

ilustrasi keranjang penyimpanan (pixabay.com/Alexas_fotos)

Semakin besar ruang penyimpanan barang di rumah, semakin besar pula kecenderungan kita untuk terus menyimpan barang yang sebenarnya sudah tidak dibutuhkan. Ruang penyimpanan yang luas bisa menjadi jebakan yang membuat kita menunda-nunda proses decluttering dan akhirnya membiarkan barang-barang tak berguna menumpuk tanpa disadari.

Dengan membatasi ruang penyimpanan, kita dipaksa untuk lebih selektif dalam menyimpan barang. Kita jadi lebih sadar untuk hanya menyimpan barang yang benar-benar penting, sering digunakan, dan masih berfungsi dengan baik. Hal ini dapat mendorong kita untuk secara rutin mengevaluasi isi rumah dan mencegah munculnya kebiasaan menumpuk barang.

4. Terapkan prinsip satu barang masuk, satu barang keluar

ilustrasi barang bekas (pixabay.com/LindaLioe)

Salah satu cara sederhana untuk mencegah penumpukan barang di rumah adalah menerapkan prinsip, satu barang masuk maka satu barang harus keluar. Setiap kali kita membeli barang baru, maka pastikan bahwa ada satu barang yang harus keluar, baik itu dibuang, didonasikan ataupun dijual. Hal ini membuat jumlah barang di rumah tetap seimbang dan tidak terus bertambah tanpa kontrol.

Prinsip ini membantu kita berpikir dua kali sebelum menambah barang, karena ada konsekuensi yang harus dilakukan. Kita akan lebih fokus pada kualitas daripada kuantitas, dan lebih mempertimbangkan fungsi serta nilai dari setiap barang yang dimiliki.

5. Jangan menyimpan barang kenangan terlalu banyak

ilustrasi barang kenangan (pixabay.com/shell_ghostcage)

Kebanyakan orang menyimpan tiket lama, baju masa kecil, hadiah, atau kartu ucapan hanya karena sulit melepaskan kenangan yang melekat pada benda tersebut. Namun, jika dibiarkan menumpuk, barang-barang ini justru menjadi beban visual dan emosional yang menghambat kerapian rumah.

Menyimpan terlalu banyak barang kenangan bisa membuat rumah terasa sesak dan berantakan, terutama jika barang-barang tersebut jarang dilihat atau hanya disimpan karena alasan sentimental. Walaupun memiliki nilai emosional, tidak semua barang kenangan perlu dipertahankan dalam bentuk fisik.

Cara mengatasinya adalah dengan memilih beberapa barang kenangan yang paling berarti dan mewakili momen penting, lalu menyimpannya dengan rapi di kotak khusus atau album kenangan. Sisanya, kamu bisa mengabadikannya dalam bentuk foto digital sebelum dilepas.

Dengan menyimpan kenangan secara digital, kamu tetap bisa mengingat momen spesial tanpa harus mengorbankan banyak ruang di rumah. Langkah ini tidak hanya menjaga rumah tetap rapi, tetapi juga membantu kita belajar melepaskan dengan lebih bijak tanpa harus melupakan kenangan yang berharga.

Menumpuk barang tak berguna di rumah dapat menimbulkan banyak efek negatif, mulai dari rumah yang terasa sempit, berantakan, hingga memengaruhi kesehatan mental karena suasana yang tidak nyaman dan penuh tekanan.

Lima cara di atas bisa kamu coba jika kamu ingin menghentikan kebiasaan menumpuk barang tak berguna di rumah, sehingga rumah terasa lebih rapi dan nyaman ditinggali.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team