Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi stres bekerja (freepik.com)

Intinya sih...

  • Novel mengungkap dinamika beracun dan tekanan psikologi di tempat kerja modern
  • Buku-buku ini membongkar kekuasaan, manipulasi, dan perbudakan emosional di tempat kerja
  • Kisah-kisah ini menyoroti hubungan profesional yang dapat menghancurkan kesehatan fisik dan mental

Dunia kerja sering kali dibayangkan sebagai tempat yang profesional, teratur, dan penuh kesempatan untuk berkembang. Namun, di balik rutinitas rapat, meja kantor, dan target bulanan, ada sisi gelap yang jarang dibicarakan.

Beberapa novel dengan cerdas membongkar dinamika beracun dan tekanan psikologi dalam sistem kerja modern Melalui cerita-cerita yang mengguncang ini, para penulis tidak hanya mengungkap kenyataan di balik layar, tapi juga menggambarkan bagaimana pekerjaan bisa berubah menjadi bentuk perbudakan emosional dan mental.

Supaya bisa kamu jadikan referensi, berikut ini beberapa rekomendasi buku yang ungkap sisi gelap dunia kerja. Bikin kamu terbayang-bayang!

1. Promising Young Women – Caroline O'Donoghue

buku Promising Young Women (penguinrandomhouse.com)

Awalnya, novel Promising Young Women tampak seperti kisah ringan tentang kehidupan kerja di kota besar. Jane, seorang pekerja kantoran di London, terlibat dalam hubungan gelap dengan bosnya, sambil diam-diam menjadi penulis rubrik konsultasi daring. Namun seiring waktu, cerita berubah drastis menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap.

Jane mulai kehilangan kendali atas realitas, tubuhnya seolah membusuk, dan kebohongannya menumpuk sampai ia tak bisa lagi membedakan mana yang nyata dan ilusi. Buku ini menyajikan kisah tentang kekuasaan, manipulasi, dan kehancuran diri di bawah tekanan relasi yang tidak sehat di tempat kerja.

O’Donoghue membalut tema serius ini dengan gaya penulisan yang tajam dan mengganggu. Ini bukan sekadar drama perkantoran, melainkan kisah tragis tentang bagaimana hubungan profesional bisa menjelma jadi perang psikologis yang menghancurkan. Sangat relevan bagi siapa pun yang pernah merasa terjebak dalam dinamika kerja yang penuh tekanan.

2. Severance – Ling Ma

buku Severance (macmillan.com)

Di tengah dunia yang dilanda pandemik mematikan, Candace justru tetap bekerja di perusahaan penerbitan Alkitab, bahkan saat hampir semua orang menghilang. Dunia boleh hancur, tapi perusahaan tetap buka demi citra baik. Candace tetap datang bekerja, karena begitulah ia diajarkan, yakni setia pada pekerjaan, bahkan saat tidak masuk akal.

Severance secara satir mempertanyakan batas antara komitmen profesional dan kebutaan terhadap realitas. Karya Ling Ma terasa sangat relevan, terutama setelah dunia mengalami pandemi global. Severance menyajikan kritik tajam terhadap budaya kerja yang memuja produktivitas di atas segalanya.

Ada nada lucu, sinis, sekaligus menakutkan di dalam narasi yang sederhana ini. Novel ini berhasil menunjukkan bahwa yang lebih mengerikan dari virus adalah sistem kerja yang membuat kita percaya bahwa terus bekerja saat dunia runtuh adalah hal yang mulia.

3. Microserfs – Douglas Coupland

buku Microserfs (harpercollins.com)

Sekelompok programmer muda bekerja di perusahaan software raksasa, tinggal serumah, lalu pindah ke Silicon Valley demi proyek impian. Mereka menyimpan gangguan psikologis dan kebiasaan aneh. Satu hanya makan makanan dua dimensi, satu lagi kecanduan sirup obat batuk, yang lain terobsesi dengan olahraga hingga merusak tubuhnya sendiri.

Novel ini terasa seperti eksperimen sosial yang dibungkus dalam kisah teknologi. Saat diterbitkan pada 1995, Microserfs mungkin dianggap sindiran lucu terhadap dunia kerja di sektor teknologi. Namun kini, buku ini terasa seperti peringatan dini terhadap budaya kerja di era digital.

Microserfs menggambarkan bagaimana industri menciptakan tekanan ekstrem hingga memengaruhi kesehatan fisik dan mental karyawannya. Coupland menulis dengan jeli, menyisipkan kritik tajam terhadap ekspektasi tak manusiawi di balik layar kecanggihan teknologi.

4. The Candy House – Jennifer Egan

buku The Candy House (waterstones.com)

Dalam novel ini, perusahaan teknologi bernama Mandela menciptakan sistem yang memungkinkan orang menyimpan dan membagikan ingatan mereka secara digital. Hidup pun menjadi koleksi data yang bisa diakses dan dibagikan siapa saja. Karakter-karakter dalam novel ini berjuang menghadapi batas antara privasi, identitas, dan kenangan yang kini tak lagi eksklusif.

Setiap pilihan mereka berdampak besar karena bukan hanya hidup yang dipertaruhkan, tetapi eksistensi mereka sebagai manusia. Egan menyusun ceritanya lewat serangkaian kisah pendek yang saling terhubung, menciptakan dunia yang terasa dekat, tapi menyeramkan.

The Candy House seperti menampilkan wajah masa depan tempat kerja yang makin bergantung pada data, algoritma, dan kontrol terhadap pikiran. Novel ini adalah refleksi mengganggu tentang bagaimana teknologi bisa menjadikan manusia sebagai bayangan digital dari dirinya sendiri yakni abadi tapi kosong.

5. Piranesi – Susanna Clarke

buku Piranesi (goodreads.com)

Tempat kerja Piranesi bukan kantor biasa, melainkan sebuah bangunan besar misterius yang dipenuhi lorong dan patung. Ia mengabdikan hidupnya untuk mempelajari struktur itu, mencatat pasang surut air dan menjaga ketertiban ruang yang tak pernah ia pertanyakan.

Satu-satunya orang lain yang ia temui adalah "The Other," tokoh misterius yang memberinya tugas tapi menyembunyikan banyak hal. Lama-kelamaan, terungkap bahwa Piranesi tak hanya bekerja tetapi dikurung. Novel ini tidak menggambarkan tempat kerja dalam arti konvensional, tetapi metafora bagi keterikatan mental dan emosional pada pekerjaan.

Clarke menulis dengan gaya magis yang puitis, menciptakan suasana yang menyesakkan sekaligus memikat. Piranesi menunjukkan bagaimana seseorang bisa larut dalam kerja hingga kehilangan jati diri dan terasing dari kenyataan. Sebuah bacaan yang sunyi namun menghantui.

Kelima buku ini tidak sekadar bercerita tentang pekerjaan, tapi menggambarkan sisi tergelap dari dunia profesional. Semuanya memperlihatkan bagaimana pekerjaan bisa menjadi perang psikologis yang sunyi dan melelahkan. Setelah membaca buku ini, masihkah kamu menganggap tempat kerja adalah ruang yang netral dan aman?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorEmma Kaes