6 Sebab Murid Takut Bertanya, Guru Perlu Memancing Keberaniannya

Dalam kegiatan belajar mengajar diperlukan peran aktif dari peserta didik. Setelah guru menyampaikan materi di depan kelas, diskusi atau tanya jawab penting dilakukan. Dengan adanya tanya jawab akan terlihat tingkat pemahaman murid. Jangan sampai semua murid hanya diam seakan-akan mengerti, tapi ternyata belum memahami materi dengan baik.
Persoalan yang hampir selalu terjadi di kelas ialah banyaknya siswa yang pasif. Mereka tidak mau mengangkat tangan untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya. Nanti soal pemahaman ini baru tampak setelah ulangan harian atau mengerjakan tugas secara individual. Murid yang menyembunyikan pertanyaannya dan tak bisa belajar sendiri pasti nilainya jelek.
Di samping pengajar perlu terus memperbaiki cara mengajar supaya lebih mudah dimengerti oleh peserta didik, mereka juga mesti didorong agar berani bertanya. Sebagus apa pun penyampaian materi oleh guru, masih ada kemungkinan 1 atau 2 siswa belum menangkap maksudnya dengan jelas. Budaya berani bertanya kudu dibangun di kelas berapa pun.
Untuk itu, pengajar mesti terlebih dahulu mengetahui berbagai kemungkinan penyebab dari keengganan anak mengangkat tangan dan bertanya. Beberapa anak membutuhkan dorongan ekstra agar mau melakukannya demi kemajuan dalam proses belajarnya sendiri. Di bawah ini enam hal yang biasanya bikin murid urung bertanya.
1. Jumlah siswa terlalu banyak

Banyaknya murid di dalam kelas menyebabkan proses belajar mengajar menjadi kurang efektif. Kelas cenderung ramai terus. Konsentrasi siswa terpecah. Suara pengajar tidak sampai ke belakang dengan baik. Gambar, alat peraga, atau tulisan di papan juga kurang terlihat oleh murid yang duduk di belakang.
Keaktifan siswa dalam tanya jawab pun akan berkurang karena semua anak seperti saling menunggu. Dalam hati mereka sering ada harapan temannya saja yang menanyakan sesuatu. Makin lama mereka menanti adanya kawan yang mengangkat tangan dan bertanya, makin mereka ragu buat melakukannya.
Sampai jam pelajaran berakhir boleh jadi akhirnya tidak ada siswa yang bertanya. Ini mirip dengan ketika terjadi musibah di tengah kerumunan. Terjadi persebaran tanggung jawab sehingga setiap orang saling menunggu dan tak terdesak buat segera memberikan pertolongan. Lain dengan jika suasana lebih sepi. Sedikit orang yang kebetulan ada di situ mau tidak mau akan bergegas menolong. Begitu pula kelas yang kecil lebih membangkitkan keberanian murid untuk bertanya.
2. Takut dihafal guru dan menjadi sering ditunjuk

Siswa mungkin tidak takut untuk sekadar mempertanyakan hal-hal yang belum dimengerti. Mereka lebih khawatir terhadap akibat dari kesukaan mereka bertanya pada guru. Sedikit banyak pengajar pasti akan lebih mudah menghafal mereka daripada murid lain yang sama sekali tak pernah bertanya.
Kalau nama mereka sudah dihafal guru, nanti lebih sering ditunjuk buat mengerjakan soal di depan kelas. Efek tak mengenakkan begini membuat sebagian siswa mencari aman dengan tidak bertanya. Mending nanti mereka coba bertanya pada kawan yang dianggap lebih pandai.
Untuk mengatasi ketakutan begini, pengajar harus tetap membagi perhatiannya secara merata pada seluruh peserta didik. Siswa yang aktif bertanya barangkali itu-itu saja. Namun saat guru hendak meminta murid untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan soal di depan kelas, semuanya harus mendapatkan giliran.
3. Respons guru kurang baik

Meski semua pengajar memberikan kesempatan untuk murid bertanya, respons mereka sendiri atas pertanyaan itu belum tentu baik. Terkadang tanpa sadar guru malah seakan-akan menyudutkan siswa yang bertanya. Misalnya, dengan berkata bahwa ia tadi sudah menjelaskannya dan berarti murid tersebut tak memperhatikannya.
Tanggapan seperti di atas tentu membuat peserta didik malu di depan teman-temannya. Padahal, konsentrasi murid memang dapat terpecah oleh apa saja selama 60 sampai 90 menit pelajaran. Apalagi dalam situasi kelas, gerakan teman saja bisa seketika menurunkan fokusnya dalam menyimak penjelasan guru.
Berbeda dengan suasana les privat di mana hanya ada satu pengajar dan satu murid. Terlepas dari tadi ia menyimak atau tidak, lebih baik pengajar menggunakan kesempatan yang ada buat segera mengulang penjelasan. Tentu setelah guru terlebih dahulu meminta seluruh murid berkonsentrasi melihat ke depan.
4. Khawatir semua temannya sudah paham dan mentertawakannya

Ketahuan menjadi satu-satunya murid yang belum memahami materi juga terasa sebagai pengalaman buruk bagi anak. Terlebih jika ia sudah punya sifat kurang percaya diri. Sering kali pura-pura paham dipilihnya hanya karena takut ia bakal ditertawakan oleh kawan-kawannya. Namun, gak setiap kelas seperti ini.
Pengajar perlu peka terhadap kecenderungan murid-murid di suatu kelas melakukan perundungan. Selalu tekankan di setiap pertemuan bahwa siswa yang ingin bertanya tidak perlu ragu atau malu. Sebaliknya, murid-murid yang sudah memahaminya juga gak perlu mentertawakan.
Pengulangan penjelasan dapat membantu mereka juga untuk makin memahami materi tersebut. Atau, siswa yang merasa telah memahaminya dapat membantu pengajar buat coba menerangkannya pada teman-teman. Mengajak semua anak berpartisipasi dalam proses belajar mengajar meningkatkan toleransi mereka terhadap perbedaan kecepatan memahami materi.
5. Murid yang kritis kadang juga menjadi bahan ejekan

Murid yang kritis berbeda dengan siswa yang belum memahami materi. Justru murid yang kritis sudah sangat mengerti suatu materi sehingga penasaran dengan hal-hal yang belum dijelaskan atau tidak ada dalam buku. Siswa ini termasuk dalam kategori cerdas. Akan tetapi, apakah menunjukkan kecerdasannya di kelas selalu berakibat baik?
Belum tentu, tergantung teman-temannya menghargai kepandaiannya yang menonjol atau malah bersikap negatif. Kalau siswa cerdas berada di antara kawan-kawan yang kepandaiannya jauh di bawahnya dan perilakunya kurang baik, malah dia akan dirundung. Sikap kritisnya menjadi sulit diterima oleh teman sebaya.
Sekalipun pertanyaannya berkualitas, di mata murid-murid lain dia cuma terkesan sok. Dalam keadaan begini, peran pengajar amat menentukan. Guru harus mampu menenangkan suasana kelas dan mendorong siswa-siswa lain untuk menyimak tanya jawab ini. Tunjukkan dukungan pengajar pada murid yang kritis seperti dengan mengatakan pertanyaannya bagus sekali dan jawabannya penting diketahui oleh seluruh siswa.
6. Sifatnya pemalu dan pendiam

Di dalam satu kelas pasti ada bermacam-macam sifat anak. Ada anak yang mudah akrab dengan pengajar dan bertanya sudah seperti otomatis dilakukannya ketika tak tahu sesuatu. Namun, ada pula murid yang begitu pemalu serta pendiam. Sulit sekali mengukur pemahamannya akan materi yang disampaikan, kecuali dari hasil ulangan atau tugas.
Tapi mengetahuinya setelah itu tentu terbilang terlambat. Alangkah baiknya murid-murid dipastikan sudah memahami materi baru diuji dengan tugas atau ulangan sehingga mereka tak kesulitan. Pengajar perlu melakukan pendekatan khusus pada siswa yang pendiam dan pemalu.
Seperti dengan guru berkeliling ke meja-meja dan bertanya apakah murid mengalami kesulitan. Bila pengajar bisa sedekat ini, murid yang paling pemalu pun akan lebih berani menunjuk materi di bukunya yang belum dimengerti. Tapi ketika menjelaskannya nanti sekalian di depan kelas agar siswa lain ikut mendengarkan.
Ketakutan untuk bertanya yang dialami peserta didik bisa disebabkan oleh sifatnya sendiri, pembawaan guru, atau sikap teman-temannya. Perlahan-lahan biasakan seluruh murid untuk terbuka mengenai hambatan-hambatannya dalam belajar. Ruang diskusi di kelas mesti dibuka seluas-luasnya. Kalau siswa dapat lebih memahami pelajaran selama di sekolah, ia gak perlu les di rumah. Kehidupannya akan lebih seimbang antara belajar dan melakukan kegiatan lain.