5 Konsep yang Disenggol Novel Satire Jepang 'Convenience Store Woman'
Novel pendek yang kaya kritik sosial
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sudah baca novel Convenience Store Woman karya Sayaka Murata? Meski belum, setidaknya kamu mungkin sudah pernah mendengar judulnya berseliweran di linimasa. Maklum, novel Jepang ini tergolong populer dan sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Apa yang membuatnya jadi hits di kalangan penggemar fiksi? Ternyata ini tak jauh dari isu sosial yang ditangkap sang pengarang. Lewat lakonnya, Keiko, pembaca akan diajak menyelami tatanan dan tren yang berkembang dalam masyarakat Jepang.
Ia juga bukan tipe novel dengan plot dangkal, ada banyak konsep yang disenggol Murata lewat sudut pandang Keiko. Apa saja yang bisa kita tangkap sebagai pembaca? Berikut ulasan novel Convenience Store Woman.
1. Ekspektasi sosial
Sesuai dengan judulnya, Convenience Store Woman mengikuti sudut pandang seorang pegawai minimarket atau di Jepang dikenal dengan istilah combini. Keiko, sang lakon yang dimaksud, berusia 36 tahun yang artinya ia sudah bekerja di minimarket tersebut selama 18 tahun.
Waktu yang sangat lama untuk pekerjaan yang dianggap kebanyakan orang tidak bergengsi dan monoton. Orang-orang di sekitarnya pun gelisah dan mulai membujuk Keiko untuk mengubah nasibnya. Mereka ingin Keiko mengundurkan diri dan mencari pekerjaan lain yang lebih "baik".
Selain perkara karier, orang juga mulai resah dengan status Keiko yang jomblo sejak lahir. Sampai usianya yang ke-36, Keiko tidak pernah menjalin asmara dengan satu orang pun. Padahal, orang-orang seusianya sudah menikah dan punya anak. Di sinilah konsep ekspektasi sosial disenggol Murata. Terkadang, kita sudah puas dan merasa cukup, tetapi di mata orang lain tidak seperti itu.
Masih ada saja yang kurang dan harus dilakukan untuk bisa dapat status "sukses" (secara sosial). Ada semacam skenario yang terkonstruksi di masyarakat dan secara tidak langsung harus diikuti semua orang agar dianggap "normal" alias tidak menarik perhatian. Skenario itu adalah bersekolah, dapat pekerjaan yang mapan, menikah, punya anak, punya cucu, dan meninggal.
Masalah belum menikah yang dipermasalahkan oleh orang-orang di sekitar Keiko agaknya kontradiktif dengan perubahan dalam tatanan masyarakat Jepang. Ini terjadi karena menurut data Statista dari tahun 1960--2021, terjadi tren penurunan angka pernikahan di Jepang. Namun, itulah ekspektasi sosial yang tidak akan berhenti menghantui orang yang tidak mengikuti skenario sosial di atas.
Baca Juga: 5 Bahaya jika Masih Bertahan dalam Abusive Relationship
Baca Juga: 7 Tips Menulis Ulasan Buku, Booklovers Harus Tahu!
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.