TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menurut para Pakar, Ini Pentingnya Etika di Internet dan Dunia Digital

#IDNTimesLife Makin cakap digital, makin cakap etika budaya

Webinar Indonesia Women in Cybersecurity (IWCS) 'Etika di Internet'. Jumat (2/07/2021). IDN Times/Fajar Laksmita

Indonesia Women in Cybersecurity (IWCS) baru saja menggelar acara bertema 'Etika di Internet' pada Jumat (2/07/2021). Diskusi ini menghadirkan narasumber bidang terkait, khususnya pada bidang komunikasi dan informasi.

Berikut diskusi mengenai pentingnya etika di internet dan dunia digital yang telah kami rangkum. Simak selengkapnya di bawah, yuk!

1. Ada 64,50 juta jiwa pemuda di usia 16-34 yang perlu mendapat bimbingan ketika berselancar di internet

ilustrasi webinar etika di internet (pexels.com/Startup Stock Photos)

Deputi IV Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Femmy Eka Putri Kartika, yang mengurus peningkatan perempuan anak dan keluarga mengatakan, kita memiliki penduduk yang jumlahnya besar yakni 270, 20 juta jiwa. Sepertiga dari penduduk itu merupakan anak-anak dan sebagian besar memegang ponsel pintar dan gawai. 

Untuk pemuda sendiri, Indonesia memiliki 64, 50 juta jiwa, dengan rentang usia 16-34 tahun. 

"Apa-apa yang dilarang juga harus kita sampaikan kepada anak-anak kita. Seperti apa konten negatif yang tidak boleh disampaikan sama mereka, tidak boleh percaya hoax, cyber bullying karena putus cinta, mengintip, mematai, balas dendam, penyebaran foto, dan hate speech," terangnya.

2. Saring sebelum sharing

Webinar Indonesia Women in Cybersecurity (IWCS) 'Etika di Internet'. Jumat (2/07/2021). IDN Times/Fajar Laksmita

Direktur Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Infromatika (Kominfo) Dr. Ir. Bonifasius Wahyu Pudjianto, M.Eng mengatakan, masyarakat masih belum bijak dalam menggunakan internet, TIK, dan media sosial. Ia juga mengatakan beberapa netizen menganggap dunia siber berbeda dengan dunia nyata. 

Misalnya, seperti membuat akun palsu itu aman menurut mereka. Padahal, di Indonesia sendiri ada 2 juta kasus per tahun, yang mana satu hari rata-rata pihak Kominfo harus take down sekitar 500 kasus. Maka dari itu, ia mengatakan bahwa sebenarnya penyaringan utama berada di diri masing-masing. 

Selain itu, ia menyarankan untuk memahami batas usia pengguna media sosial, karena banyak di antara orangtua tidak tahu dan justru membuatkan akun anak di bawah batas usia. Kemudian ada recent updates dan saring sebelum sharing atau forward ke yang lain. 

Baca Juga: 7 Etika Menggunakan Media Sosial, Agar Berinteraksi Lebih Nyaman 

3. Perlu adanya adaptasi kurikulum luar negeri di sekolah mengenai literasi digital

Webinar Indonesia Women in Cybersecurity (IWCS) 'Etika di Internet'. Jumat (2/07/2021). IDN Times/Fajar Laksmita

Pendiri Drone Emprit and Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi, Ph.D, menekankan untuk membuat kurikulum kewarganegaraan tetap terkait etika di internet. Menurutnya, masalah besar kita adalah low digital literacy mulai dari anak-anak hingga orangtua. 

Ia memaparkan perihal negara Eropa seperti Finlandia, Denmark, Jerman, dan Swedia yang sudah memiliki literasi bagus dan menjadi warga negara digital. Menurut Fahmi, itu terbentuk dari pendidikan semesta, yang  mana sudah diajarkan mulai dari Playgroup, Kindergarten, SD, SMP, dan SMA. 

Di Amerika sendiri, kurikulum sudah diadaptasi dan digunakan oleh 1 juta guru. Sejumlah 60 persen sekolah di Amerika sudah menerapkan itu dari mulai Kindergarten hingga jenjang selanjutnya. 

"Seminar digital itu bagus, literasi oke, tapi saya belum melihat itu sampai di core-nya anak TK, SD, SMP, SMA dan stagnan aja di acara itu. Jadi kita perlu solusi yang real. Waktu itu saya diskusi, sebenarnya kurikulum sudah ada, terkait dengan IT. Itu tinggal dimasukkan di sana, gak perlu nambahin lagi," terangnya. 

4. Selain literasi dan edukasi, perlu adanya verifikasi cepat dan penegakan hukum melalui bukti dalam penanggulangan hoax

Webinar Indonesia Women in Cybersecurity (IWCS) 'Etika di Internet'. Jumat (2/07/2021). IDN Times/Fajar Laksmita

Ada berbagai respons berbeda dari setiap negara terkait dengan hoax. Direktur Pengendalian Informasi, Investigasi, dan Forensik Digital, Deputi IV, Pembentukan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Bondan Widiawan S.Kom., M.Si. menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi negara Uni Eropa terkait respons terhadap disinformasi hoax. Sebagian dari negara Uni Eropa menanggapi hal tersebut dengan lebih kalem, karena mereka lebih menjunjung kebebasan berekspresi atau menyampaikan pendapat. 

Namun lain lagi di Jerman dan Eropa menanggapinya dengan cukup keras, bahkan di Italia ada Undang-undang yang keras. Sementara itu, negara Thailand menunjukkan respons yang tidak begitu keras. Brazil sendiri hampir mirip di Indonesia, yang karakter masyarakatnya lebih memilih mencari informasi di media sosial alih-alih di media mainstream.

Menariknya, Singapura memiliki posisi Global Cybersecurity Index nomor satu di ASEAN. Mereka memiliki proteksi, produk hukum yang mengatur informasi elektronik di Singapura, serta melakukan reduksi penggunaan internet terkait hoax.

Baca Juga: Sering Dilupakan, Ini 5 Etika Berkomentar di Media Sosial

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya