TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

8 Logical Fallacy saat Berargumen yang Wajib Mahasiswa Tahu

Biar jalan pikiranmu runtun waktu sampaikan pendapat

ilustrasi mengerjakan tugas kelompok (pexels.com/RF._.studio)

Pernahkah kamu sedang berargumen dan ia secara tiba-tiba menyerang dirimu secara personal ketimbang menyerang argumenmu? Ataukah kamu pernah berkata bahwa kamu menyukai tinggal di desa dan lawan bicaramu langsung menyimpulkan bahwa kamu membenci kota? Jika iya, maka kamu sudah bertemu dengan apa yang disebut sebagai “logical fallacy.”

Logical fallacy – atau sering juga disebut “sesat pikir” – adalah kesalahan dalam membentuk logika berpikir sehingga tercipta argumen yang tidak benar. Logical fallacy mudah dijumpai di mana saja, baik dalam percakapan sehari-hari hingga debat antara para ahli.

Apa saja logical fallacy yang sering muncul? Berikut delapan logical fallacy yang wajib mahasiswa tahu.

Baca Juga: 8 Jenis Logical Fallacy yang Harus Diketahui, Biar Obrolanmu Fokus!  

1. Ad hominem

ilustrasi orang mencatat keuangan (pexels.com/Karolina Grabowska)

Bayangkan kamu sedang berada di kelas pada tahun ajaran baru. Kelasmu ingin memilih bendahara dan seseorang mengajukan nama Tono. Namun, John menentang pengajuan itu. Ia beranggapan bahwa Tono berasal dari keluarga tidak mampu sehingga pasti tidak tahu cara mengelola uang yang baik.

Anggapan itu merupakan contoh ad hominem fallacy. Sesat pikir ini menjatuhkan argumen atau posisi seseorang hanya melalui serangan personal dan bukan menggunakan logika.

Pada contoh, John menyerang latar belakang Tono. Padahal, masih ada kemungkinan bahwa Tono sudah belajar teori-teori mengelola uang dan punya kemampuan mengurus keuangan yang lebih baik dibanding teman-temannya.

2. Straw man

ilustrasi sukarelawan (pexels.com/RODNAE Productions)

Apakah kamu pernah melihat orang-orangan sawah? Mereka dibentuk menyerupai sesuatu dan tampak mudah untuk dijatuhkan, bukan? Itulah kenapa sesat pikir yang satu ini disebut “straw man.”

Seseorang yang menggunakan fallacy ini akan membuat argumen yang didasari penafsiran yang salah atau hiperbola terhadap argumen lawan. Mereka akan menafsirkan argumen lawan menjadi sesuatu yang salah selama mudah dijatuhkan.

Contohnya, dalam sebuah organisasi, kamu dan temanmu mengajukan ide untuk melakukan kegiatan amal. Temanmu mempunyai ide untuk memberikan sumbangan kepada sekolah.

Namun, kamu berpikir untuk lebih baik mendahulukan sumbangan bagi korban bencana gempa karena kebutuhan mereka lebih mendesak. Jika temanmu memiliki logical fallacy straw man, maka ia akan menuduh bahwa kamu tidak peduli pada pendidikan karena telah menentang idenya.

Baca Juga: 12 Jenis 'Logical Fallacy' yang Membuat Obrolan Tak Jelas Hasilnya

3. Slippery slope

ilustrasi berdiskusi dengan guru (pexels.com/Kampus Production)

Apakah kamu pernah bertemu dengan guru yang terlalu ketat menjaga aturan? Misalnya, seorang anak bernama Budi baru saja mengalami kecelakaan sehingga ia tidak bisa mengerjakan tugas sekolah. Gurunya tidak mengizinkan Budi untuk mendapat perpanjangan waktu mengumpulkan tugas.

Alasannya adalah, jika ia memberikan keringanan bagi Budi, maka teman-teman yang lain akan merasa iri dan ikut menuntut keringanan yang sama. Kemudian, anak-anak di kelas lain akan ikut protes, dan pada akhirnya kebijakan di sekolah akan diganti.

Guru itu menunjukkan sesat pikir slippery slope. Ia berpikir bahwa suatu tindakan atau kejadian akan mengakibatkan kejadian lainnya dan kejadian itu akan berakibat pada kejadian-kejadian lain yang terlalu mengada-ada.

4. Bandwagon fallacy

ilustrasi menggunakan laptop (unsplash.com/Bench Accounting)

Dalam Bahasa Inggris, istilah “jumping on the bandwagon” digunakan untuk mendeskripsikan tindakan ketika seseorang mengubah opini mereka hanya karena opini yang baru itu juga dipegang oleh orang-orang lain. Kalau dalam Bahasa Indonesia, istilahnya adalah “ikut-ikutan.” Sesat pikir ini juga disebut sebagai “appeal to popular opinion fallacy” atau “ad populum fallacy.”

Contohnya, memiliki laptop sebagai pelajar adalah hal yang penting. Tidak masalah apabila kamu meminta laptop kepada orang tuamu karena tugas sekolahmu mengharuskan itu. Namun, kamu akan menggunakan bandwagon fallacy apabila kamu menginginkan laptop hanya karena teman-temanmu yang lain juga mempunyai laptop.

5. Appeal to ignorance

ilustrasi belajar bersama teman (pexels.com/Armin Rimoldi)

Kamu sedang bercerita kepada John mengenai Jane. Kamu ceritakan mengenai betapa seringnya Jane mengganggumu sehingga kamu menjadi merasa muak dan kesal. Namun, bukannya bersimpati, John justru berkata, “Aku yakin Jane orang yang baik. Buktinya dia selalu berbuat baik kepadaku.”

Perkataan John adalah bukti appeal to ignorance. Ia berpikir bahwa sesuatu pasti benar karena ia tidak pernah melihat adanya bukti bahwa itu salah. Atau sebaliknya, layaknya orang yang tidak percaya alien karena belum pernah melihatnya, orang yang menggunakan sesat pikir ini akan berpikir bahwa sesuatu pasti salah karena belum ada bukti bahwa itu benar.

6. Causal fallacy

borgol (unsplash.com/niu niu)

Sesuai namanya, causal fallacy menggabungkan dua fakta berbeda dan menjadikan mereka seakan-akan berhubungan sebagai sebab-akibat. Penghubungan ini tentunya tidak didukung dengan fakta yang meyakinkan.

Contohnya adalah pemerintah membuat aturan untuk mengurangi rokok di masyarakat. Tidak beberapa lama setelah aturan itu keluar, tingkat kriminalitas meningkat. Kamu tidak bisa serta-merta berpikir bahwa tingkat kriminalitas bertambah karena adanya aturan pengurangan rokok. Jika kamu berpikir begitu tanpa adanya fakta pendukung, maka kamu memiliki causal fallacy.

7. Appeal to hypocrisy

ilustrasi dua orang bertengkar (pexels.com/Liza Summer)

Argumen appeal to hypocrisy menyinggung kesalahan orang lain yang sama dengan kesalahan yang ia lakukan. Pada awalnya, pola pikir ini mungkin terdengar bisa menyelamatkan si pembicara dari kesalahan. Namun, pada sebenarnya, argumen itu tetap tidak bisa menghapus kesalahan yang diperbuat.

Sebagai contoh, bayangkan John tepergok menggunakan narkoba oleh orang tuanya. Alih-alih mengaku salah, ia justru membela diri dengan berkata, “Tapi kan ayah dan ibu juga dulu mencoba narkoba.” Appeal to hypocrisy yang diberikan John bukanlah argumen yang bagus, karena bagaimanapun ia tetap bersalah karena telah menggunakan narkoba.

Baca Juga: Mengenal Planning Fallacy dan Cara Menghindarinya

Verified Writer

Helmi Elena

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya