TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Kenyataan Pahit yang Dialami Orang Afrika Selatan di Era Apartheid

Mereka terpenjara di negeri sendiri! #IDNTimes

potret anak-anak sekolah di Soweto memprotes sistem Apartheid (storymaps.arcgis.com)

Membedakan orang hanya karena ras, warna kulit, atau agama merupakan sikap yang buruk. Hari ini, jika ada orang yang diperlakukan rasis, akan ada banyak sekali orang yang membelanya. Namun, tahukah kamu jika dahulu tindakan seperti ini pernah dijadikan kebijakan pemerintahan suatu negara?

Dilansir SA History, Apartheid, dalam bahasa Afrika berarti keterpisahan, merupakan ideologi yang diterapkan di Afrika Selatan oleh The National Party setelah mereka duduk di kursi pemerintahan tahun 1948 hingga tahun 1994. Selama masa itu, orang-orang kulit hitam yang merupakan penduduk asli Afrika mengalami diskriminasi di negara sendiri dan harus menjalani kehidupan yang buruk selama puluhan tahun.

Seburuk apa? Berikut 7 kenyataan pahit yang dialami orang Afrika Selatan di era Apartheid!

1. Semua orang dikelompokkan berdasarkan warna kulit

ilustrasi masyarakat Afrika Selatan di era Apartheid (world101.cfr.org)

Sistem Apartheid dimulai dengan Undang-Undang Pendaftaran Penduduk yang disahkan pada tahun 1950. Menurut undang-undang tersebut, semua warga Afrika Selatan harus diklasifikasikan ke dalam satu dari tiga kelompok yang dibuat berdasarkan warna kulit yaitu hitam, berwarna, dan putih.

Untuk masuk ke kelompok hitam, seseorang harus diakui oleh suku dan rasnya. Bisa dibilang, hampir semua penduduk asli Afrika Selatan diklasifikasikan ke dalam kelompok hitam yang dikenal juga dengan nama Bantustan atau Bantu. Kelompok berwarna biasanya terdiri dari anak hasil pernikahan campuran, orang India, dan etnis Asia lainnya.

Terakhir adalah kelompok putih, kelompok minoritas yang terdiri dari orang kulit putih yang tinggal di Afrika Selatan. Untuk masuk ke kelompok putih, modal warna kulit saja tidak cukup. Seseorang juga harus berasal dari kedua orang tua yang berkulit putih dan diterima keberadaannya oleh orang kulit putih lainnya.

2. Orang dari kelompok Bantu dan berwarna dipaksa untuk pindah ke kota kecil

ilustrasi situasi di Afrika Selatan di era Apartheid (newstalk.com)

Bukan hanya mengelompokkan warganya sesuai dengan warna kulit, pemerintah Afrika Selatan saat itu juga memisahkan tempat hidup warganya. Orang-orang dari kelompok putih yang notabene merupakan kelompok minoritas tinggal di kota besar seperti Cape Town dan menguasai 80 persen wilayah.

Sementara kelompok putih bisa hidup nyaman di kota besar, kelompok berwarna dan kelompok Bantustan yang merupakan penduduk asli Afrika Selatan harus rela dipindahkan ke kota kecil seperti Soweto dan wilayah pedesaan lainnya. 

Baca Juga: Rasisme di Papua, Koalisi Kemanusiaan: Aparat kian Arogan!

3. Di luar kota pun, mereka tidak diperbolehkan memiliki rumah sendiri 

potret rumah kelompok Bantustan dan berwarna di kota kecil Soweto (sahistory.org.za)

Sejak tahun 1961 hingga 1994, ada sekitar 3,5 juta orang yang dipindahkan secara paksa ke desa dan tanah pinggiran. Di desa dan tempat tinggal yang baru pun, orang-orang dari kelompok Bantustan tidak bisa memiliki tanah dan properti atas namanya sendiri.

Bahkan, jika mereka punya uang, orang-orang dari kelompok putih yang memiliki sebagian besar tanah tidak akan bersedia menjualnya, apalagi memberikannya secara cuma-cuma. Sebagai gantinya, para Bantustan ini harus menyewa tanah ke masyarakat kulit putih dan mendirikan rumah sederhana yang jauh dari nyaman.

4. Kelompok Bantustan dan berwarna tidak bisa mengenyam pendidikan yang sama

potret anak-anak di sekolah khusus Bantustan dan kelompok berwarna saat jam makan siang (zinnedproject.org)

Menurut Undang-Undang Pendidikan Bantustan yang disahkan tahun 1953, orang Bantustan dan kulit berwarna tidak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang kulit putih. 

Pemerintah bahkan menjadikan sembilan dari sepuluh universitas yang ada di Afrika Selatan sebagai sekolah khusus kelompok putih. 

Baca Juga: Heboh Stasiun Televisi Korea Rasis ke Indonesia di Olimpiade Tokyo

5. Mereka bahkan tidak bisa pergi kemana pun mereka mau 

potret passbook atau dompas (timeslive.co.za)

Di era Apartheid, hampir seluruh wilayah Afrika Selatan dikuasai oleh orang kulit putih sehingga membuat pergerakan orang dari kelompok lain jadi sangat terbatas. Pemerintah bukan hanya melarang orang dari kelompok lain untuk tinggal di wilayah kulit putih, tapi juga melarang mereka untuk masuk ke wilayah ekskusif ini.

Orang dari kelompok lain harus selalu membawa passbook atau yang dikenal dengan nama dompas kemana pun mereka pergi, terutama saat ingin masuk ke wilayah kulit putih. Dompas ini berisi data diri, latar belakang, sidik jari, dan informasi lainnya.

Nantinya, petugas akan memeriksa dompas tersebut. Jika lolos, maka orang dari kelompok berwarna dan Bantustan bisa masuk. Jika tidak, mereka akan langsung ditangkap.

6. Pernikahan campuran adalah hal yang ilegal 

ilustrasi pernikahan campuran (timetoast.com)

Ketika kita sudah jatuh hati, kita tidak akan peduli latar belakang suku, agama, atau etnis pasangan kita. Lucunya, pemerintah Afrika Selatan pada saat itu peduli. Menurut Undang-Undang Amoralitas tahun 1950, pernikahan beda ras adalah hal yang ilegal.

Akibatnya, banyak pasangan beda ras malah ditangkap dan dihukuman penjara. Tidak sampai di situ saja, anak-anak hasil pernikahan beda ras ini juga sering dipisahkan dari orang tuanya hanya karena kulit anak ini berbeda dari ibu dan ayahnya.

Baca Juga: Lewis Hamilton Jadi Korban Rasisme Usai Insiden GP Inggris

Verified Writer

Siti Marliah

Find me on 📷 : instagram.com/sayalia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya