Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sultan Ageng Tirtayasa (commons.wikimedia.org/Adam Ahmat)

Intinya sih...

  • Sultan Ageng Tirtayasa, pahlawan dari Kesultanan Banten yang sukses dalam perdagangan dan melawan VOC di Batavia.
  • Tirtayasa lahir pada 1631 dan menjadi Sultan Banten keenam, memajukan kesultanan dari segi ekonomi, politik, dan pertahanan.
  • Melalui strategi perang gerilya, Tirtayasa melawan monopoli perdagangan VOC hingga akhirnya ditangkap dan wafat di penjara.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa mungkin tidak se-populer deretan pahlawan nasional lain, seperti Pangeran Diponegoro, Kapitan Pattimura, Pengeran Diponegoro, Bung Tomo, dan lain-lain. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa merupakan pahlawan yang berasal dari Kesultanan Banten.

Ia dikenal sebagai kepiawaiannya dalam memimpin kesultanan Banten, hingga mencapai puncak kejayaannya. Khususnya dalam melakukan perubahan ekonomi di jalur perdangangan yang terbilang sangat sukses dan menjadi pesaing berat VOC di Batavia. Penasaran dengan perjuangannya Sultan Ageng Tirtayasa di Banten? Yuk, simak di sini!

1. Latar belakang keluarga

Ilustrasi raja (pexels.com/Pixabay)

Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma. Ayahnya menjabat sebagai sultan Banten kelima (periode 1640-1650) dan ibunya adalah anak dari Pangeran Jayakarta. Kakeknya yang bernama Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Khadir juga merupakan sultan Banten periode 1596– 1651.

Tirtayasa lahir pada 1631 dengan nama asli Abdul Fatah. Setelah lahir, ia langsung mendapat julukan Pangeran Surya, yang diambil dari bahasa Sanskerta yang artinya matahari terbit. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati.

Tidak lama kemudian, menyusul sang kakek yang meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651. Setelah itu pun ia langsung diangkat sebagai Sultan Banten keenam dengan gelar Sulthan 'Abdul-Fattah al-Mafaqih, pada usia 20 tahun. 

2. Kejayaan di bidang perdagangan

Ilustrasi perdagangan (pexels.com/Quintin Gellar)

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651-1683, yang pada periode ini, Kerajaan Banten mengalami kemajuan pesat dieluruh sektor, mulai dari politik, pendidikan, sosial, serta budaya dan agama Islam, hingga perdagangan, yang membuat Banten mandiri dari segi ekonomi. Salah satu terobosan ekonominya ialah pengenaan cukai terhadap kapal yang singgah di Banten. 

Perdagangan juga menjadi penopang perekonomian. Ia mendukung pertanian sebagai cara untuk mensejahterakan rakyatnya dengan membangun sistem irigasi besar. Tirtayasa memajukan Kesultanan Banten dengan maksimal, seperti memperluas wilayah perdagangan hingga Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Bahkan, Banten menjalin hubungan diplomatik yang baik dengan Turki, Inggris, Aceh, Makassar, Arab, dan kerajaan lain. Banten juga dijadikan tempat perdagangan internasional yang mempertemukan pedagang lokal dengan pedagang Eropa.

Dari sisi pertahanan, ia membangun armada laut untuk melindungi perdagangan, hingga menguatkan bangunan keraton yang ia perbarui dengan berkolaborasi bersama arsitektur Lucas Cardeel.

3. Perjuangan melawan kependudukan VOC

Ilustrasi perang (pexels.com/Mikhail Nilov)

Tak hanya sukses dari sisi perdagangan, Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi perang yang terpercaya. Sejalan dengan perjuangan kakeknya menantang pendudukan VOC, Tirtayasa melanjutkan peperangannya melawan VOC dengan menggencarkan strategi perang gerilya. Bahkan, ialah yang mengatur perang gerilya melawan posisi Belanda di Batavia. 

Pada masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. VOC juga melakukan blokade terhadap kapal dagang dari Cina dan Maluku ke Banten yang sangat merugikannya. Tirtayasa menolak perjanjian monopoli ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Di tahun 1656, perang gerilya Tirtayasa terhadap VOC dilakukan, yang dimulai dengan cara melakukan sabotase dan perusakan kebun tebu dan teh, serta pabrik-pabriknya. Di tambah lagi, kerjaan Banten juga berhasil memblokade dan menguasai sejumlah kapal VOC .

4. Polemik, politik adu domba, dan wafatnya Tirtayasa

Ilustrasi perang (pexels.com/Kaique Rocha)

VOC seakan tidak pernah kehabisan ide menguasai dan melawan balik Tirtayasa. Mereka pun menjalankan strategi politik adu domba yang dikenal dengan devide et impera. VOC memengaruhi anak pertama dari Tirtayasa, yaitu Pangeran Abdul Kahar (Sultan Haji) untuk menggulingkan pemerintahan ayahnya. 

Diketahui, Sultan Haji memang seringkali menolak perlawan ayahnya terhadap VOC. Strategi adu domba pun berhasil. Pada 1682, mulailah perang antara Tirtayasa dan Sultan Haji. Pasukan VOC menyerang salah satu istana di Banten, yaitu Keraton Surosowan, yang akhirnya berhasil dikuasai oleh Sultan Haji, dengan VOC yang menjadi pendukung terbesarnya. 

Setelah berhasil menguasai istana, Sultan Haji mengirimkan surat kepada Tirtayasa yang berisi ajakan perdamaian. Hal ini membuat Tirtayasa kembali ke istana. Namun, ternyata ini jebakan.

Pada tahun 1683,  Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Batavia. Tirtayasa pun wafat di dalam penjara pada tahun 1692 dan dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja Banten.

Hingga akhir hayatnya, sosok Sultan Ageng Tirtayasa menantang bentuk-bentuk penjajahan. Ambisi dan tekadnya memajukan Banten dari segala sektor patut ditiru. Ditambah lagi, prinsip dan keberaniannya melawan VOC menjadi sosok pahlawan yang mengajarkan kita agar tidak takut melawan ketidakadilan. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team