Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Wahidin Soedirohoesodo (dok. Museum Kemdikbud)
Ilustrasi Wahidin Soedirohoesodo (dok. Museum Kemdikbud)

Dokter Wahidin Soedirohoesodo terkenal sebagai pelopor semangat kebangsaan kita. Dia adalah tokoh yang mengilhami lahirnya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Hari lahir organisasi Budi Utomo itu kemudian kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Meskipun Dokter Wahidin bukanlah termasuk pendiri Budi Utomo, peranannya sangatlah penting.

Selama beberapa tahun sebelum kelahiran organisasi itu, ia sudah merintis jalan untuk kelahiran organisasi tersebut. Dengan gigih dia berkeliling Pulau Jawa menyebarluaskan gagasan untuk memajukan pendidikan. Simak biografi Wahidin Soedirohoesodo di bawah ini

1. Biografi Wahidin Soedirohoesodo

Ilustrasi dokter Wahidin Soedirohoesodo (dok. Museum Kemdikbud)

Mengutip e-buku Wahidin Soedirohoesodo Sang Dokter Bangsa oleh Yayan Rika Harari, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dokter Wahidin Soedirohoesodo lahir di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta pada 7 Januari 1852. Desa Mlati terletak sekitar 8,5 km ke arah utara dari pusat Kota Yogyakarta. Ayahnya bernama Arjo Sudiro, tetapi karena jenggotnya yang lebat ia sering dipanggil “Mbah Kruwis”.

Dokter Wahidin adalah anak kedua dari dua bersaudara, ia mempunyai seorang kakak perempuan. Keluarga Arjo Sudiro cukup terpandang di desanya. Konon, mereka berasal dari Bagelen, Jawa Tengah. Pak Arjo Sudiro adalah seorang “ronggo”, yaitu pembantu wedana (semacam camat) untuk bidang tertentu.

Dalam menjalankan tugasnya, seorang ronggo mendapat hak mengelola tanah yang disebut “tanah lungguh” (lahan tanah sebagai imbalan atas kedudukan). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penduduk setempat juga menganggap ayah Wahidin sebagai petani yang makmur.

Akan tetapi, yang istimewa dari Pak Arjo Sudiro bukanlah kedudukan ataupun kekayaannya, melainkan pendapatnya tentang pendidikan. Beliau memandang bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, Wahidin dan kakaknya dimasukkan ke sekolah desa yang biasa disebut sebagai sekolah angka loro, yang artinya ‘sekolah yang nomor dua’.

Di sekolah dasar angka loro itu Wahidin kecil belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah itu didirikan oleh pemerintah kolonial (penjajah) sekadar untuk memberantas buta huruf. Masa belajarnya tiga tahun. Istilah bahasa Belanda-nya adalah De Scholen der Tweede Klasse.

Setelah masuk sekolah, mulai tampaklah kepandaian Wahidin. Dia dapat menerima pelajaran dengan cepat, bahkan menjadi murid terpandai di kelas. Kepandaian Wahidin membuat guru-gurunya terkesan. Mereka kemudian memberi menyarankan kepada ayah Wahidin agar putranya melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi.

Anjuran guru-guru itu diterima dengan baik oleh ayah Wahidin. Hal itu sangat sesuai dengan keinginannya. Wahidin sendiri sangat gembira mendengarnya. Oleh karena itu, pada 1864, dalam usia 12 tahun, Wahidin masuk ke Sekolah Rakyat Rendah Eropa (Eurepeesche Lagere School—ELS).

Sekolah itu terletak di kota Yogyakarta. Masuknya Wahidin di ELS tidak lepas dari bantuan Frits Kohle. Dia adalah suami kakak perempuan Wahidin. Dia orang Belanda dan menjadi administratur perkebunan tebu di Wonolopo, Sragen.

Di ELS Wahidin diakui sebagai anak yang pandai. Padahal, banyak orang Eropa di ELS mengira bahwa anak-anak bumiputra itu pastilah bodoh. Anak-anak itu sering diejek jika tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas. Mereka dicibir, “Kamu inlander (pribumi) bodoh, tempatmu bukan di sini, tetapi di kampung sana.” Wahidin pun tak luput dari ejekan seperti itu.

Akan tetapi, Wahidin tidak merasa gusar diejek. Dia tetap belajar dengan tekun. Kemudian, terbuktilah bahwa kepandaiannya tidak kalah dibandingkan dengan anak Eropa, anak priayi tinggi, atau putra para bangsawan. Wahidin dapat menerima pelajaran dengan baik dan menyelesaikan sekolah dasar ELS-nya.

Wahidin lalu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu di Tweede Europese Lagere School atau Sekolah Dasar Eropa Kedua. Wahidin lulus dari tingkat itu dengan hasil sangat memuaskan. Dia mendapat predikat uitmuntend artinya ‘terbaik’.

Wahidin remaja sangat gembira dengan hasil yang dicapainya. Dia masih ingin melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, ia bersekolah lagi di Batavia, di Sekolah Dokter Jawa yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan.

Sekolah Dokter Jawa didirikan di Weltevreden (Jakarta) tahun 1851. Pada 1902, setelah mengalami banyak perkembangan, Sekolah Dokter Jawa berganti namanya menjadi School Tot Opeleiding Voor Inlandse Arsten (STOVIA).

Wahidin masuk ke Sekolah Dokter Jawa pada tahun 1869. Dia tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran. Wahidin memang telah menguasai bahasa Belanda dengan baik. Terbukti, dia lulus dengan cepat. Dia tidak perlu waktu tiga tahun untuk lulus, tetapi hanya 22 bulan.

Karena kepandaiannya itu, Wahidin kemudian diangkat sebagai asisten guru (Asistent Leerar) pada 1872. Karena ingin lebih berguna bagi masyarakat luas, dia memutuskan untuk berhenti menjadi asisten guru dan kembali ke tempat asalnya, Yogyakarta.

Wahidin bekerja sebagai pegawai kesehatan pemerintah kolonial. Walaupun telah bekerja pada pemerintah, Wahidin tidak pernah melupakan nasib rakyat. Dia terus berpikir dan berusaha bagaimana memajukan kehidupan mereka.

2. Mempelopori gerakan pendidikan dan kebangsaan

Ilustrasi lukisan Dokter Wahidin Soedirohoesodo (dok. ANTARA/Suci Nurhaliza)

Dokter Wahidin semakin prihatin melihat penderitaan dan keterbelakangan bangsanya. Dia bertekad untuk melakukan aksi yang lebih nyata dan terencana. Ada dua hal pokok yang akan diperjuangkan Dokter Wahidin.

Pertama, memberikan pendidikan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Kedua, menggugah kesadaran kebangsaan mereka. Dokter Wahidin ingin menyadarkan masyarakat bahwa mereka adalah saudara sebangsa.

Oleh karena itu, semua harus bahu-membahu meraih kemajuan. Sebagai bagian dari aksi itu, Dokter Wahidin kemudian membuat majalah berkala Retno Dhoemilah pada Mei 1895. Terbitnya tiap hari Selasa dan Jumat.

Majalah itu dibuat bersama kawannya, orang Belanda, yang bernama F.L. Winter. Adapun badan usaha yang menerbitkannya ialah Firma H. Buning yang beralamat di Kota Yogyakarta.

Nama Retno Dhoemilah berarti ‘permata yang bercahaya’. Majalah itu diharapkan menjadi sesuatu yang sangat berharga seperti permata. Cahayanya memberikan penerangan kepada bangsanya untuk mencapai kemajuan.

Majalah Retno Dhoemilah, pada tahun awal dipimpin oleh F.L. Winter. Pada 1901 Dokter Wahidin menggantikan F.L. Winter sebagai kepala redaksi Retno Dhoemilah. Setelah memimpin redaksi itu, Dokter Wahidin lebih mudah menyuarakan kepentingan bangsanya.

Dokter Wahidin Soedirohoesodo semakin giat menyebarluaskan pemikirannya tentang pendidikan dan kebangsaan. Salah satunya adalah usulan untuk membentuk lembaga beasiswa (studiefonds) untuk anak-anak miskin bumiputra. Gagasan itu akan dikampanyekannya secara langsung dengan berkeliling Pulau Jawa.

Pada akhir tahun 1907 Dokter Wahidin singgah di sekolahnya dulu, Sekolah Dokter Jawa. Dia ingin beristirahat sejenak dalam perjalanan kelilingnya. Tidak ada tujuan khusus di sana kecuali beristirahat.

Namun, Soetomo dan Soeradji, dua orang pelajar muda di STOVIA mendengar berita kedatangannya. Timbul niat dalam diri mereka untuk mengundang Dokter Wahidin dalam suatu pertemuan. Mereka ingin mendengarkan cerita perjalanan Dokter Wahidin, juga mengetahui pikiran-pikirannya secara langsung.

Saat mendengarkan cerita Dokter Wahidin, mereka sangat tergugah oleh semangat dokter tua itu. Soetomo, yang kelak juga menjadi tokoh pergerakan nasional, sangat terkesan oleh sosok Dokter Wahidin.

3. Terbentuknya organisasi Budi Utomo

Ilustrasi dokter Wahidin Soedirohoesodo (dok. tangkapan layar e-book Wahidin Soedirehoesodo Sang Dokter Bangsa)

Lima bulan setelah kunjungan Dokter Wahidin ke STOVIA, para pelajar STOVIA yang tergugah dengan semangat Dokter Wahidin, kemudian, mendirikan sebuah organisasi pemuda. Nama organisasi itu adalah Budi Utomo. Arti dari nama itu ialah ‘pikiran dan segenap daya upaya yang luhur’.

Organisasi itu bertujuan untuk meringankan beban perjuangan bangsa Jawa dan memajukan pendidikan serta kerohanian mereka. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada Minggu pagi, 20 Mei 1908, di aula STOVIA.

Berdirinya Budi Utomo itu disambut dengan gembira. Mereka yang menyaksikan peristiwa di STOVIA itu membawa beritanya ke sekolah masing-masing. Gegap gempita para pelajar Jawa menyambutnya. Sebagian dari mereka, bahkan, kemudian mendirikan Budi Utomo di tempatnya masing-masing.

Soetomo mengakui bahwa lahirnya Budi Utomo tidak bisa lepas dari kepeloporan Dokter Wahidin. Selain itu, tidak boleh pula dilupakan peranan teman-temannya. Mereka, antara lain, adalah Goenawan Mangoenkoesoemo, Gondo Soewarno, Goembreg, Mohammad Saleh, Soeradji, dan Soelaiman.

Mereka sangat kompak. Terbukti, saat Soetomo hendak dikeluarkan dari STOVIA karena Budi Utomo dikhawatirkan akan melawan Belanda, mereka beramai-ramai membela Soetomo.

4. Warisan Dokter Wahidin Soedirohoesodo

Ilustrasi Wahidin Soedirohoesodo (dok. Museum Kemdikbud)

Dokter Wahidin Soedirohoesodo telah meninggalkan kita sebagai bangsa lebih dari seratus tahun. Namun, kita sebagai penerus bangsa mendapatkan warisan semangat dan keteladanan dari beliau, di antaranya sebagai berikut.

  • Semangat kebangsaan yang tidak pernah padam
  • Semangat pantang menyerah dalam berusaha
  • Nasihat mengenai arti pentingnya pendidikan
  • Teladan untuk rela berkorban demi tujuan luhur
  • Teladan untuk bergaul di masyarakat secara baik
  • Semangat untuk menghargai seni dan budaya sendiri
  • Teladan untuk hidup sederhana
  • Teladan untuk menjadi dermawan

Masih banyak warisan keteladanan Dokter Wahidin Soedirohoesodo yang lain. Kita semua bisa memperoleh warisan itu. Caranya ialah dengan mencontoh sikap dan cara hidup beliau yang luhur.

Itulah tadi biografi Wahidin Soedirohoesodo lengkap dengan peranannya. Jadi sekarang kamu sudah tahu ‘kan? Semoga artikel ini menambah wawasan baru, ya.

Editorial Team