Ilustrasi dokter Wahidin Soedirohoesodo (dok. Museum Kemdikbud)
Mengutip e-buku Wahidin Soedirohoesodo Sang Dokter Bangsa oleh Yayan Rika Harari, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dokter Wahidin Soedirohoesodo lahir di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta pada 7 Januari 1852. Desa Mlati terletak sekitar 8,5 km ke arah utara dari pusat Kota Yogyakarta. Ayahnya bernama Arjo Sudiro, tetapi karena jenggotnya yang lebat ia sering dipanggil “Mbah Kruwis”.
Dokter Wahidin adalah anak kedua dari dua bersaudara, ia mempunyai seorang kakak perempuan. Keluarga Arjo Sudiro cukup terpandang di desanya. Konon, mereka berasal dari Bagelen, Jawa Tengah. Pak Arjo Sudiro adalah seorang “ronggo”, yaitu pembantu wedana (semacam camat) untuk bidang tertentu.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang ronggo mendapat hak mengelola tanah yang disebut “tanah lungguh” (lahan tanah sebagai imbalan atas kedudukan). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penduduk setempat juga menganggap ayah Wahidin sebagai petani yang makmur.
Akan tetapi, yang istimewa dari Pak Arjo Sudiro bukanlah kedudukan ataupun kekayaannya, melainkan pendapatnya tentang pendidikan. Beliau memandang bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, Wahidin dan kakaknya dimasukkan ke sekolah desa yang biasa disebut sebagai sekolah angka loro, yang artinya ‘sekolah yang nomor dua’.
Di sekolah dasar angka loro itu Wahidin kecil belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah itu didirikan oleh pemerintah kolonial (penjajah) sekadar untuk memberantas buta huruf. Masa belajarnya tiga tahun. Istilah bahasa Belanda-nya adalah De Scholen der Tweede Klasse.
Setelah masuk sekolah, mulai tampaklah kepandaian Wahidin. Dia dapat menerima pelajaran dengan cepat, bahkan menjadi murid terpandai di kelas. Kepandaian Wahidin membuat guru-gurunya terkesan. Mereka kemudian memberi menyarankan kepada ayah Wahidin agar putranya melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi.
Anjuran guru-guru itu diterima dengan baik oleh ayah Wahidin. Hal itu sangat sesuai dengan keinginannya. Wahidin sendiri sangat gembira mendengarnya. Oleh karena itu, pada 1864, dalam usia 12 tahun, Wahidin masuk ke Sekolah Rakyat Rendah Eropa (Eurepeesche Lagere School—ELS).
Sekolah itu terletak di kota Yogyakarta. Masuknya Wahidin di ELS tidak lepas dari bantuan Frits Kohle. Dia adalah suami kakak perempuan Wahidin. Dia orang Belanda dan menjadi administratur perkebunan tebu di Wonolopo, Sragen.
Di ELS Wahidin diakui sebagai anak yang pandai. Padahal, banyak orang Eropa di ELS mengira bahwa anak-anak bumiputra itu pastilah bodoh. Anak-anak itu sering diejek jika tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas. Mereka dicibir, “Kamu inlander (pribumi) bodoh, tempatmu bukan di sini, tetapi di kampung sana.” Wahidin pun tak luput dari ejekan seperti itu.
Akan tetapi, Wahidin tidak merasa gusar diejek. Dia tetap belajar dengan tekun. Kemudian, terbuktilah bahwa kepandaiannya tidak kalah dibandingkan dengan anak Eropa, anak priayi tinggi, atau putra para bangsawan. Wahidin dapat menerima pelajaran dengan baik dan menyelesaikan sekolah dasar ELS-nya.
Wahidin lalu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu di Tweede Europese Lagere School atau Sekolah Dasar Eropa Kedua. Wahidin lulus dari tingkat itu dengan hasil sangat memuaskan. Dia mendapat predikat uitmuntend artinya ‘terbaik’.
Wahidin remaja sangat gembira dengan hasil yang dicapainya. Dia masih ingin melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu, ia bersekolah lagi di Batavia, di Sekolah Dokter Jawa yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia pada masa penjajahan.
Sekolah Dokter Jawa didirikan di Weltevreden (Jakarta) tahun 1851. Pada 1902, setelah mengalami banyak perkembangan, Sekolah Dokter Jawa berganti namanya menjadi School Tot Opeleiding Voor Inlandse Arsten (STOVIA).
Wahidin masuk ke Sekolah Dokter Jawa pada tahun 1869. Dia tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran. Wahidin memang telah menguasai bahasa Belanda dengan baik. Terbukti, dia lulus dengan cepat. Dia tidak perlu waktu tiga tahun untuk lulus, tetapi hanya 22 bulan.
Karena kepandaiannya itu, Wahidin kemudian diangkat sebagai asisten guru (Asistent Leerar) pada 1872. Karena ingin lebih berguna bagi masyarakat luas, dia memutuskan untuk berhenti menjadi asisten guru dan kembali ke tempat asalnya, Yogyakarta.
Wahidin bekerja sebagai pegawai kesehatan pemerintah kolonial. Walaupun telah bekerja pada pemerintah, Wahidin tidak pernah melupakan nasib rakyat. Dia terus berpikir dan berusaha bagaimana memajukan kehidupan mereka.