Sebelum Terkenal Seperti Sekarang, Penyair Joko Pinurbo Pernah Bakar Ratusan Puisinya

Kesabaran adalah kunci jadi sastrawan

Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.

Penikmat sastra sudah pasti kenal dengan penggalan puisi tersebut. Joko Pinurbo. Nama itu memang menggema di balik lahirnya himpunan puisi yang memperkaya katalog karya-karya sastra pasca-Orde Baru. Tak dipungkiri, buku-buku puisi yang dilahirkan sejak 1999 hingga sekarang, yakni mulai “Celana” hingga “Tahi Lalat”, digemari para penyuka sajak.

Sastrawan berdarah Jawa ini dikenal sebagai penyair yang produktif. Namun siapa sangka di balik kecerdasannya melahirkan sejumlah himpunan puisi, ia pernah berada di titik terendah.

Joko Pinurbo pernah membakar puisi-puisi buatannya.

 Sebelum Terkenal Seperti Sekarang, Penyair Joko Pinurbo Pernah Bakar Ratusan Puisinyapojokseni.com

Joko Pinurbo, dalam usianya yang belum mencapai kepala tiga kala itu, telah menulis puluhan hingga ratusan puisi. Namun ia tak percaya diri dengan karyanya. Puisi-puisi yang ia tulis dalam proses belajarnya dibakar begitu saja. Terlebih kala tiga penerbit sempat menolak antologi puisinya.

Kendati demikian ia tak pernah putus asa. Dalam sebuah perbincangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu, Jokpin—begitulah ia akrab disapa—menganggap lika-liku yang harus dijalani ini sebagai waktu berproses melahirkan karya.

“Kuncinya hanya menanti kesabaran”, kata Jokpin saat itu.

Jokpin mengaku tak menyesali keputusannya menghanguskan puisi-puisi yang dibakar di masa lampau itu. Jangankan menyesal, memikirkan kembali pun tidak. Memang beberapa puisi ada yang masih diingat, tapi hanya sebatas dikenang, tak ingin ditulis kembali, bahkan dibukukan.

Baca Juga: 9 Sastrawan Tanah Air yang Berhasil Bikin Kita Tergila-gila dengan Puisi

Akhirnya lahirlah buku pertama berjudul Celana.

 Sebelum Terkenal Seperti Sekarang, Penyair Joko Pinurbo Pernah Bakar Ratusan Puisinyaflickr.com
dm-player

Setelah sekian lama bersabar, Jokpin akhirnya bisa menerbitkan buku puisi pertamanya. Kisahnya tak diduga-duga. Kabarnya ia lolos proyek Adikarya IKAPI. Cerpen pertama, berjudul Celana, pun lahir dan dikenal publik. Bukan main senangnya pria Taurus itu. Kesabaran alumnus Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma tersebut berbuah baik. Celana, yang semula berjudul Ranjang, kesohor hingga kini.

Celana lahir pada 1999 dengan 74 halaman. Buku pertama milik sastrawan yang kerap menyisipkan unsur “nakal” di tiap tulisannya ini diterbitkan oleh Indonesia Tera. Di tahun-tahun selanjutnya, ia makin aktif menulis puisi.

Puisi gubahannya berbeda dengan gaya yang dilahirkan para penyair lain. Memang tiap-tiap penulis punya pembawaan sendiri. Namun beberapa puisi Jokpin terkenal berbentuk sebuah cerpen mini. Temanya juga tak melulu berada dalam satu garis benang merah. Ia mengakui hal itu. Meski demikian, justru inilah yang menjadi ciri khasnya.

Buku pertama seorang penulis itu penting.

 Sebelum Terkenal Seperti Sekarang, Penyair Joko Pinurbo Pernah Bakar Ratusan PuisinyaDok.Pribadi/Francisca Christy Rosana

Menilik jalan panjangnya menerbitkan sebuah buku, Jokpin meminta penyair-penyair muda tak patah arang buat berkarya. Proses kreatif itu tak instan. Ada banyak lembah yang harus dituruni dan gunung yang wajib didaki.

“Jangan mudah menyerah. Saya ingat, momentum yang tepat itu tibanya tidak jelas. Maka, tiap penulis pasti diuji dengan kesabaran,” tuturnya.

Untuk itulah sebenarnya karya pertama seorang penulis itu sangat penting karena di situlah sejarah itu muncul dan akan dikenang sepanjang hayat. Karya pertama seorang penyair—atau penulis—yang dibukukan sungguh menunjukkan jati dirinya. Gaya penulis yang murni dan sangat orisinal muncul mana kala buku pertamanya lahir.

 Sebelum Terkenal Seperti Sekarang, Penyair Joko Pinurbo Pernah Bakar Ratusan Puisinyamakassarwriters.com

Di beberapa kesempatan, buku-buku pertama penulis ternama yang sudah tak dicetak ulang itu dilelang dengan harga yang fantastis. Fenomena ini muncul akibat budaya literasi pembaca Indonesia yang sedikit eksentrik. Mereka enggan mengoleksi buku pertama penulis saat nama penulis itu baru muncul.

Namun, buku pertama ini bakal dicari-cari pada saat nama penulis mulai naik daun dan buku pertamanya tak diterbitkan serta tak lagi dijual di pasaran.

Untuk itu, ia mengimbau para penikmat sastra untuk mengoleksi buku para penulis muda yang belakangan bermunculan.

Baca Juga: Mengenal Sosok Ayu Utami, Ibu yang Melahirkan Sastra Wangi Indonesia

Topik:

Berita Terkini Lainnya