aktivitas membaca buku (Pexels/Julia Avamotive)
Alasan lain yang bikin orang kembali membaca buku adalah kehadiran kecerdasan buatan atau AI. Meski sering diromantisasi dan dianggap sebagai alat untuk mempermudah pekerjaan manusia, kita tak bisa mengabaikan kelemahan dan risiko AI. Terutama dalam mempengaruhi kemampuan kognitif (menganalisa dan menyelesaikan masalah secara independen) dan literasi (membaca dan menulis).
Membaca sumber yang kredibel dan bersumber dari sesama manusia seperti buku pun dilihat sebagai jalan ninja melawan ketergantungan kita terhadap mesin dan hasil instan. Masalahnya, tidak seperti AI yang bisa diakses secara luas bahkan tanpa biaya, tak banyak buku dan sumber literatur yang bisa diakses secara gratis. Keterbatasan akses ini yang butuh dijawab. Adakah upaya dari stakeholders untuk mewadahi minat baca yang sedang naik?
Di negeri sendiri, komitmen ini nampaknya belum ada. Tak ada subsidi maupun penurunan pajak buku, pun keberadaan dan fasilitas perpustakaan publik di berbagai kota/kabupaten tidak merata. Tak pelak, menjadi pembaca di negeri ini layak disebut sebuah keberanian dan resiliensi tiada batas.