Butter (instagram.com/4thestatebooks)
Muncul sejak 1920-an, genre ini memang sedikit banyak didasari oleh masalah-masalah sosial yang berkembang di Jepang dari era ke era. Sudah disinggung sebelumnya, isu-isu seperti ketimpangan, kemiskinan, dan korupsi jadi motif yang sering dipakai penulis, terutama setelah Perang Dunia II saat Jepang berusaha bangkit dari keterpurukan.
Menariknya, pada 1980--1990-an, seiring dengan munculnya penulis-penulis perempuan, isu dinamika keluarga dan diskriminasi gender mulai menginvasi novel crime fiction Jepang. Cara masyarakat Jepang memandang perempuan lewat peran dan stigma jadi elemen tambahan yang menambah kedalaman cerita.
Hal lain yang tak kalah sering kita temukan adalah kejahatan yang dilakukan anak di bawah umur juga sering mewarnai novel Jepang. Dalam realitasnya, ini adalah polemik dan kekhawatiran publik mengingat anak-anak itu akan mudah terbebas dari hukuman karena status mereka sebagai minor.
Secara tak langsung, novel-novel crime fiction bisa jadi media nonkonvensional untuk mengenal kultur dan tatanan sosial Jepang. Seperti kita tahu, Jepang punya aturan dan norma yang sedemikian spesifik dan kaku. Itu salah satu bahan diskusi menarik karena implikasinya bisa sangat multifaset.