IDN Times Xplore/Rewilders_SMAN 1 Godean
“It is good to remember that the planet is carrying you.”
― Vandana Shiva
Manusia adalah hewan, yang dianggap eksklusif karena memiliki tridaya; cipta, rasa, dan karsa. Padahal sejatinya tidak lebih daripada yang dipikirkan. Eksklusivitas yang dimiliki tidak pernah secara benar diterapkan sehingga memicu tindakan yang tidak didasari oleh konsep tridaya. Perlu adanya keselarasan dan sinergisitas karena setiap tindakan memiliki relasi, baik itu dengan sesama maupun alam.
Kutipan dari Vandana Shiva, seorang cendekiawan dan aktivis lingkungan asal India, memberikan pemahaman bahwa manusia harus menyadari, ialah yang menjadi bagian dari alam, bukan sebagai penguasa alam. Beliau merupakan salah satu pelopor gagasan ekofeminisme, melalui gabungan ekologi dan feminisme yang secara garis besar menyatakan bahwa alam tidak mengenal hierarki, dan setiap problematika ekologi yang terjadi adalah ancaman bersama, bukan sekadar masalah biologis.
Membincangkan pengertian ekofeminisme, maka akan ada dua akar kata yang bisa disorot, yaitu ekologi dan feminisme. Ekologi adalah kajian yang menitikberatkan pada hubungan timbal balik antar sesama di lingkungan alam, hewan, dan tumbuhan. Kemudian, Ekofeminisme merupakan perspektif yang menghubungkan antara penindasan terhadap perempuan dengan kerusakan lingkungan. Keduanya sama-sama menjadi korban dari sistem dominasi, baik patriarki maupun kapitalisme, yang memandang alam dan tubuh perempuan sebagai objek untuk dieksploitasi. Sebagai sebuah gagasan, ekofeminisme baru muncul di tahun 1970-an, diciptakan oleh Francoise d’Eaubonne tahun 1974 dan diteorisasikan oleh Ynesta King tahun 1977. Konferensi ekofeminisme baru dilakukan tahun 1980 di Amerika Serikat (Mongabay, 2022).
Ekofeminisme menekankan bahwa relasi dengan alam harus dibangun atas dasar penghargaan dan perawatan. Manusia diajak untuk lebih peka terhadap praktik-praktik yang mencemari ekosistem, sekaligus menyadari bahwa keadilan sosial tidak bisa dipisahkan dari keadilan ekologis. Dengan kata lain, ekofeminisme memperluas makna feminisme. Ekofeminisme bukan hanya perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender, melainkan perjuangan agar seluruh umat manusia mampu hidup selaras dengan lingkungan yang menopang keberadaannya.
Ekofeminisme menjadi penting bukan karena romantisasi hubungan perempuan dengan alam, melainkan karena tawaran kesadaran baru. Kesadaran bahwa eksploitasi tanpa batas hanya akan mempercepat kehancuran, sedangkan penghargaan terhadap alam akan menciptakan ruang hidup yang lebih adil dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Survei yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta melalui Survei Nasional (2024) menunjukkan sebanyak 78,2% Gen Z memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. Namun, juga ditemukan bahwa dalam penerapan secara individunya, perempuan lebih proaktif melalui tindakan sederhana seperti membawa tumbler, tempat makan, dan sedotan yang bukan sekali pakai. Dibandingkan dengan laki-laki yang cenderung berfokus pada aspek teoritas dari isu lingkungan yang terjadi.
Menggarisbawahi data tersebut, walaupun Gen Z memiliki kesadaran akan isu lingkungan yang tinggi, fokus perhatian dan penerapannya masih saling berketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Ekofeminisme mengedepankan relasi seluruh kosmos yang diibaratkan sebagai jaring-jaring kehidupan, baik itu perempuan maupun laki-laki dituntut untuk tidak hanya peduli tapi juga menginisiasikan gerakan yang mencakup prinsip pengetahuan dan aksi nyata dalam kehidupan sehari-harinya.
Peranan generasi saat ini, alias Gen Z akan turut berdampak besar apabila dilakukan secara persisten. Didukung oleh keberadaan media sosial sebagai sarana untuk menyuarakan problematika ekologi, yang secara mudah menjangkau berbagai kalangan hanya dengan satu unggahan. Selaras dengan fakta dari hasil survei The Gen Z Activism Survey oleh United Way of the National Capital Area (2024) yang menyatakan bahwa 66% Gen Z cenderung melaksanakan aktivisme melalui media sosial. Gen Z memanfaatkan hashtag, kolaborasi dengan akun komunitas, serta kerja sama dengan tenaga eksternal untuk mentransformasikan perhatian online dari media sosial menjadi kebiasaan dan kebijakan nyata.
Adapun fenomena media sosial yang masih menjadi sorotan hingga saat ini, yakni munculnya paham ‘Nenengisme’. Fenomena ini berawal dari sebuah fanpage “Marxisme Indonesia” yang berubah menjadi akun pribadi milik Neneng Rosdiyana. Perubahan ini semakin menarik perhatian netizen setelah aktivitas akun Neneng kerap membagikan kegiatannya sebagai pegiat komunitas bernama Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari. Tak hanya itu, dalam unggahan terkait kerja pertanian dan perkebunan yang ia bagikan, Neneng juga menambahkan caption nyentrik yang seringkali berkaitan dengan paham Marxisme, paham Karl Marx yang amat mengkritisi kapitalisme. “Di Marxisme tanah untuk rakyat! Di KWT Mentari tanah untuk nanam bayam!” merupakan salah satu unggahan Neneng yang paling disoroti. Dari banyaknya gagasan Neneng, netizen melahirkan paham ‘Nenengisme’, yang merupakan perpaduan antara filosofi ecological marxisme dan ekofeminisme.
Neneng membagikan kegiatan pemberdayaan perempuannya dalam sektor pertanian sekaligus menentang patriarkat yang menyebabkan kerusakan sosial dan ekologi. Berkaitan dengan paham ekofeminisme, paham ‘Nenengisme’ mengajak masyarakat untuk lebih tahu diri, mengingat bahwa manusia adalah bagian dari ekosistem, dan bukan penguasanya.
Gagasan Neneng membuka jalan bagi praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sama seperti fenomena ‘Nenengisme’, gabungan paham ekofeminisme ini dapat diterapkan dalam praktik sosialis di mana saja, tak terkecuali di lingkungan pendidikan. Ekofeminisme sendiri menjadi gagasan yang open minded bila ditujukan bagi Gen Z. Diterjemahkan ke dalam konteks lingkungan sekolah, permasalahan sampah biologis yang selama ini cenderung dipandang sebagai masalah pribadi perempuan menjadi persoalan yang relevan jika dilihat dari kaca ekofeminisme. Di mana permasalahan sampah pembalut kerap kali terikat stereotip gender, padahal sejatinya merupakan persoalan ekologi dan budaya bersama.
Titik fokus persoalan utama bukan terletak pada siapa penggunanya, melainkan pada dampak ekologis setelah pembalut tersebut dibuang. Dalam hal ini, jika dianalogikan sama seperti sampah popok bayi, tidak hanya berdampak bagi keluarga yang punya bayi, tetapi semua orang yang menjadi victim permasalahan ekologi.
Sementara di Indonesia, jumlah sampah pembalut diperkirakan mencapai 26 ton per harinya. Jadi membayangkan dalam satu tahun penuh, sudah terdapat 9.490 ton sampah pembalut sekali pakai. Menurut penelitian dari Stockholm University, plastik di dalam bungkus pembalut membutuhkan waktu sekitar 500 hingga 800 tahun untuk bisa terurai. Artinya, sampah pembalut sekali pakai memakan waktu lebih lama untuk berubah menjadi bahan yang tidak lagi berbahaya dibandingkan dengan sampah plastik botol yang membutuhkan waktu antara 70 hingga 450 tahun untuk terurai. Sampai saat ini, meskipun rata-rata perempuan Indonesia sudah mengetahui bagaimana cara pengelolaan sampah pembalut dengan benar, upaya pengelolaan tersebut menjadi sia-sia sebab hal sesederhana SOP (Standar Operasional Prosedur)-nya bahkan belum ada.
Adapun, contoh masalah pembalut di sekolah menengah atas di Indonesia dapat dilihat dari aspek paling sederhana, yakni fasilitas pembuangannya. Sampah pembalut sering kali masih tercampur dengan sampah umum organik dan anorganik, yang mana sangat berbahaya karena dapat terjadi penumpukan sampah yang berpotensi menimbulkan bau tidak sedap, menjadi sarang kuman dan bakteri penyebab penyakit, serta menghasilkan cairan lindi (leachate) di TPA. Permasalahan tersebut semakin parah apabila kesadaran ekologis siswi akan cara membuang pembalut dengan benar masih rendah. Di sinilah peran siswa diperlukan, seharusnya siswa memiliki inisiatif untuk terlibat langsung dalam pengelolaan sampah pembalut lewat edukasi, advokasi, desain sistem pengelolaan, atau inovasi teknologi ramah lingkungan.
Ekofeminisme hadir menawarkan sudut pandang yang menjembatani isu ini. Kesadaran kolektif di lingkungan sekolah diperlukan untuk mendorong awareness dari berbagai kalangan, mencakup seluruh warga sekolah. Sekolah dapat menjadi ruang strategis untuk memulai langkah awal terkait bagaimana cara Gen Z membuka diri akan permasalahan ini, sehingga sampah pembalut di sekolah bukan sekadar persoalan wanita saja, melainkan persoalan budaya membuang yang belum terbentuk, dan masih adanya stigma masyarakat yang membuat siswi enggan memperlakukan limbah menstruasi secara benar.