IDN Times Xplore/Deadliners_SMAK Immanuel Pontianak
Hayo ngaku, siapa di sini yang hobinya suka beli baju baru padahal baju lama di lemari masih banyak yang belum terpakai? Tapi, emangnya salah ya beli baju baru? Ditambah harganya murah dan modelnya cantik, siapa sih yang tidak tergiur? Beli baju baru itu gak salah kok, tapi ... setiap kali kamu membeli baju kekinian dengan harga murah, pernahkah terlintas dalam pikiranmu bahwa ada satu sudut kecil di Bumi yang menangis karenanya?
Industri fashion bukan sekadar tentang gaya dan penampilan. Di balik layar, ia menyumbang 10% emisi karbon global, lebih besar dari gabungan emisi penerbangan internasional dan transportasi laut (UNEP, 2023). Ini bukan sekadar angka, ini adalah kenyataan pahit yang terjadi di balik gemerlap diskon dan tren fashion terkini.
Fast fashion merupakan konsep di dunia fashion yang membuat produk serta fashion style dengan cepat tersedia dan siap dipakai, tetapi cepat berganti. Dalam proses serba cepat ini, fast fashion menghadirkan beragam pilihan busana trendi yang selalu mengikuti perkembangan zaman dan tentunya ditawarkan dengan harga terjangkau. Baju keren dengan harga murah, siapa sih yang gak mau? Tapi teman-teman tahu gak sih? Dibalik fenomena tersebut, ada potensi kerusakan alam serius yang bisa merusak ekosistem kehidupan. Industri ini mendorong konsumsi tekstil masif yang berdampak serius pada lingkungan. Mulai dari limbah kimia hasil pewarnaan yang mencemari sungai, serta emisi karbon yang tidak ramah lingkungan. Semua ini terjadi hanya demi pakaian yang mungkin akan dibuang setelah beberapa kali dipakai.
Ironisnya, Indonesia tidak luput dari dampak ini. Tren pakaian murah menjamur di pasar daring, dari brand global hingga lokal yang mengikuti jejak sistem produksi cepat. Laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 mencatat peningkatan signifikan limbah tekstil domestik akibat konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, Indonesia juga menjadi tujuan pakaian bekas impor ilegal yang mencemari pasar dan menciptakan persaingan tidak sehat bagi UMKM lokal.
Limbah tekstil adalah momok berikutnya. Pada 2022, berdasarkan data dari SIPSN (Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) KLHK, tekstil menyumbang sekitar 2,54 persen dari total sampah nasional yang diestimasikan mencapai 1,7 ribu ton per tahun. Mirisnya lagi, hanya sedikit saja dari sampah tekstil tersebut yang dapat didaur ulang. Sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap isu ini masih sangat rendah. Survei Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa 65% remaja Indonesia membeli pakaian baru setidaknya sebulan sekali, dengan alasan harga terjangkau dan mengikuti tren. Mereka tidak sadar bahwa setiap kali mengklik “checkout” di e-commerce, mereka turut menyumbang pada krisis lingkungan yang semakin parah.
Lalu, mengapa fast fashion masih begitu digemari? Jawabannya kompleks. Budaya konsumtif yang dipicu oleh media sosial memainkan peran besar. Platform seperti TikTok dan Instagram dipenuhi konten #haulfashion yang mendorong pembelian impulsif. Di sisi lain, edukasi tentang dampak lingkungan dari fast fashion masih sangat kurang. Di tengah gempuran tren digital dan minimnya edukasi lingkungan, siklus konsumsi yang terus berulang (beli, pakai, dan buang). Pola inilah yang perlahan-lahan menjadikan fast fashion bukan sekadar isu gaya hidup, melainkan krisis global yang menimbulkan kerusakan nyata bagi lingkungan dan masyarakat.